Mongabay.co.id

Sengketa Lahan Warga Transmigrasi vs Perusahaan Sawit Indonusa Berlarut

 

 

 

 

Warga transmigrasi Desa Pandan Sejahtera, Kecamatan Geragai, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi, memagar areal 21 persil lahan usaha II Transmigrasi pada 25 Maret lalu. Salah seorang dari mereka, Muhammad Kasim. Saat itu, Kasim mewakili anaknya yang tak bisa hadir.

Warga juga pasang pancang di tanah seluas 18 hektar, di lahan usaha (LU) II warga transmigrasi yang ditanami sawit oleh PT Indonusa Agromulia, dengan alasan masuk kelolaan perusahaan.

Warga juga menyetop panen sawit pekerja perusahaan. Lahan itu bagian lahan usaha II transmigrasi berdasarkan peta rancang kapling Subdin PKTP Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi Jambi.

Perusahaan melaporkan Kasim ke Polres Tanjab Timur dengan tuduhan pendudukan lahan tanpa hak. “Ada tiga kali saya dipanggil. Sebagai warga negara yang baik saya datang,” katanya, baru-baru ini.

Pada 9 Juni 2020, terbit surat penetapan tersangka. Lelaki 61 tahun ini jadi tersangka terjerat UU Perkebunan.

Sejak upaya warga mempertahankan lahan Maret lalu, berulang kali Kasim mendantangi kantor polisi. Pada 7 Agustus, panggilan kedua dia diperiksa sebagai tersangka. Kasim datang bersama penasehat hukum dari Walhi Jambi.

“Sampai sekarang belum tahu kemana arahnya. Saya sendiri bingung salahnya dimana? Waktu kejadian saya cuma gantikan anak gotong royong,”katanya.

 

 

***

Rusmiyati, istri Kasim, duduk dan berteduh dari terik matahari siang di bawah tanaman sawit di sebelah rumahnya. Dia sibuk dengan tumpukan buah pinang di depannya.

Setiap hari, Rusmi bangun pagi. Setelah pekerjaan rumah selesai, dia mulai membelah pinang dan melepas dari kulit. Kemudian dia jemur pinang, setelah kering baru ditimbang dan jual ke pengepul.

Dalam satu hari Rusmi dan anaknya bisa selesaikan sekitar 20 kg. Satu kilogram dia dapat Rp1.800. Kerja pinang ini lumayan membantu pendapatan untuk keperluan sehari-hari keluarga Rusmi.

“Kalau cuma ngandalin LU I mana cukup untuk kebutuhan, mau dak mau ya cari kerja tambahan biar dapur tetap ngebul,” katanya.

Keluarga Rusmi dan Kasim, hanya bisa mengolah lahan di lahan usaha I. LU II, masuk klaim perusahaan meski secara hak, lahan itu masuk peta transmigrasi tahun 2005.

“Harusnya kami sudah bisa nanam, tinggal nunggu berapa tahun bisa nyicip hasilnya. Sekarang, malah jadi tambah sulit.”

Nairin, lelaki 53 ini senasib Rusmi dan keluarga. Dia transmigran lokal penempatan 2001.

 

Lahan warga transmigrasi yang digarap perusahaan. Foto” Dedy Nurdin

 

Persil lahan transmigrasi LU II seluas satu hektar bagian Nairin juga dikuasai perusahaan tak secara utuh. Bagian depan lahan ditanami sawit oleh Indonusa. Separuh lagi, dia tanami sawit dan pinang.

“Dulu, pernah ditanami, tapi habis semua waktu dibersihkan perusahaan. Cuma separuh bagian belakang yang bisa dimanfaatkan, sekarang usia tanaman sekitar 1,5 tahun,” katanya.

Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, Nairin mengambil upah membuat keranjang dari rotan. Untuk satu keranjang ayah tiga anak ini mendapat upah Rp20.000. Kalau tak ada kegiatan lain, sehari dia bisa mengerjakan empat sampai lima keranjang.

“Kita cuma nerusin, dan mendapat upah dari yang punya usaha kerajinan. Itu tidak cukup, ini karna ada corona anak-anak libur jadi pengeluaran berkurang. Kalau tidak, pontang panting juga. Karna satu SD, yang satu lagi SMA,”katanya.

Saat ini, Nairin hanya mengandalkan lahan usaha I transmigrasi terdiri dari 0,25 hektar pekarangan dan 0,75 hektar lahan usaha yang sudah dia tanami sekitar 94 sawit.

Meski harga buah sawit cukup tinggi, namun tak mencukupi karena kondisi buah sedang turun. Dia pun menanam pinang di sela lahan dengan harapan bisa jadi penghasilan tambahan.

Lahan usaha II baru dia peroleh sekitar tahun 2005 seluas satu hektar untuk satu keluarga tak tak langsung digarap, dengan alasan masih fokus membenahi lahan pertama.

“Di awal juga kebutuhan banyak, tidak langsung ditanam. Kebanyakan warga trans cari upah lain, ada jadi tukang gali sumur, buruh bangunan, maka LU II tidak langsung ditanami.”

Tak disangka, pada 2009 perusahaan masuk dan membersihkan lahan. Beberapa tanaman yang sempat ditanam pun rata dengan tanah.

Nairin dan warga lain sempat protes namun tak digubris perusahaan dengan alasan sudah ada izin.

Perusahaan pernah menawarkan kerjasama dengan pola kemitraan, mereka menolak. Ada juga tawaran ganti rugi lahan, juga warga tolak. Nilai ganti rugi terlalu murah. ”Tawaran ganti rugi hanya Rp15 juta itu dapat apa, lahan belukar saja Rp20 juta itu pun kalau ada,”katanya.

Purwadi, Kepala Desa Pandan Sejahtera mengatakan, desa mereka merupakan pemekaran dari Desa Pandan Makmur, Kecamatan Geragai pada 2001 lewat program transmigrasi pemerintah pusat.

Sebanyak 300 keluarga datang dari berbagai daerah menempati lahan transmigrasi. Antara lain Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. “Ada juga dari Aceh, masuk dari transmigrasi lokal. Saya, Pak Nairin, Pak Kasim itu transmigrasi lokal,” katanya.

Masing-masing keluarga dapat jatah dua hektar. Dengan rincian lahan usaha I satu hektar, terdiri dari 0,25 hektar untuk lahan pekarangan rumah dan 0,75 hektar lahan usah.

Untuk lahan usaha II bersumber dari peta rancang kapling pada 2005 dengan luas satu hektar untuk satu keluarga yang dibagikan pada 2006. Indonusa Agromulia, anak usaha Indonusa Group masuk pada 2009.

Indonusa Agromulia mendapatkan izin lokasi berdasarkan SK Bupati Tanjung Jabung Timur Nomor 378/2007 seluas 10.670 hektar di Kecamatan Geragai. Mereka dapatkan IUP tertanggal 8 Juni 2010 seluas 6.095 hektar dengan status operasional.

Purwadi mengatakan, HGU perusahaan baru terbit pada Juni 2013. Atas dasar itulah perusahaan menanam di lahan II milik warga. HGU perusahaan juga tidak diketahui kepala desa sebelum Purwadi, hingga ada indikasi tanam dulu sebelum izin HGU keluar.

“HGU 2013 Juni aparat kepala desa tidak tahu, Semestinya, ada peran desa karna itu bersentuhan dengan lahan masyarakat untuk menghindari tumpang tindih penguasaan lahan,”katanya.

Dari HGU dan izin perusahaan juga tidak tertera jelas posisi lahan itu berada hingga memicu peluang tumpang tindih penguasaan lahan. Di Desa Pandan Sejahtera, Indonusa Agromulia menanam seluas 508 hektar.

“Maka kami berani mengklaim karna ada peta ini. Desa dibuka warga transmigrasi di lahan belukar sampai tertata sesuai peta transmigrasi.”

Transmigrasi luas 600 hektar dengan pekarangan untuk 300 keluarga. “Kok bisa kurang lahan itu. Berarti ditindih HGU,” kata Purwadi.

Sebagai kepala desa, dua sudah berulang kali mengundang perusahaan duduk di kantor desa mencari solusi, namun tak pernah ditanggapi.

“Lahan ini sudah jelas untuk masyarakat. Alas hukum juga jelas, harusnya tidak berat untuk melepaskan ini, karna perusahaan nakal ya begini jadinya.”

 

Mediasi tanpa hasil

Sebagai upaya penyelesaian sengketa antara warga transmigrasi dengan Indonusa Agromulia, pemerintah sempat memediasi. Sapril, Sekda Tanjung Jabung Timur mengatakan, sudah memfasilitasi pertemuan kedua belah pihak sebanyak 17 kali sejak 2014 sampai dengan 2019.

Sapril menunjukkan sejumlah dokumen hasil pertemuan, seperti Rabu 9 Oktober 2019 dihadiri Staf Kepresidenan RI dan perwakilan dari Kementerian Desa PDT dan Transmigrasi serta perwakilan Kementerian ATR/BPN.

Rapat itu atas laporan belasan warga Desa Pandan Sejahtera. Pertemuan itu juga membahas aspek legalitas bahwa Desa Pandan Sejahtera merupakan eks pemukiman transmigrasi terletak di Kecamatan Geragai, penempatan 2001 dengan 300 ke;uarga.

Pembangunan eks UPT Desa Lagan Simpang Pandang didukung legalitas satu penyerahan tanah dari Gubernur Jambi No 5953425/81 tertanggal 21 November 1981 seluas 26.000 hektar. SK hak pengelolaan (HPL) menteri tertanggal 21 Januari 1984 seluas 12.000 hektar.

 

Lahan sengketa warga dan perusahaan. Foto: Dedy Nurdin

 

Pada pertemuan itu, salah satu tuntutan warga Desa Pandan Sejahtera meminta pengukuran lahan usaha II yang sudah bersertifikat hak milik (SHM). Juga pengembalian lahan sesuai peta rancang kapling 2005 karena perolehan masing-masing diduga tidak sama berdasarkan sertifikat yang terbit dan diterima masyarakat.

Namun hal ini ditolak Indonusa Agromulia. Perusahaan, kata Sapril berpegang pada kesimpulan rapat oleh tim penyelesaian sengketa lahan Tanjab Timur tertanggal 8 Oktober 2015. Salah satu kesimpulan rapat tim itu, sengketa kedua belah pihak tidak dapat disepakati untuk proses lebih lanjut akan menempuh jalur hukum.

Kesimpulan lain pertemuan itu, tim Kementerian Desa PDT dan Transmigrasi meminta peta hasil pengukuran BPN Tanjab Timur pada 2009 untuk proses penerbitan sertifikat.

Tim Kementerian transmigrasi mengacu pada UU No 29/2009 dan PP No 3/2014 bahwa lahan transmigrasi seluas dua hektar tetapi dalam pelaksanaan pengukuran dan penerbitan sertifikat dapat lebih atau kurang sesuai kondisi lapangan.

“Yang dimaksud eksisting di sini kondisi lapangan seperti ada sungai. Kan tidak mungkin sungai juga dihitung. Maka, bisa lebih bisa kurang,”ucap Sapril.

Dari hasil pertemuan itu juga tidak ada tumpang tindih lahan antara perusahaan dengan lahan usaha II transmigrasi, “Pada pertemuan itu juga disepakati, BPN bersedia menata kembali kepemilikan lahan usaha warga Desa Pandan Sejahtera,” katanya.

Meski dianggap tidak ada permasalahan secara dokumen, namun fakta lapangan di lahan usaha II transmigrasi tetap tak bisa tergarap karena sudah ada perusahaan beroperasi.

Sapril menyarankan, warga menempuh jalur hukum. Pasalnya, mediasi sudah berulang kali namun tak ada kesepakatan bersama kedua pihak.

 

Apa kata perusahaan?

M Hatta, Humas Indonusa Agromulia membantah kalau perusahaan menyerobot lahan usaha II transmigrasi warga Desa Pandan Sejahtera.

Perusahaan garap lahan, katanya, berdasarkan pelepasan hak dari masyarakat ke perusahaan melalui Koperasi Sawit Resa Jaya yang diketahui kepala desa pada 2008.

“Sebelum pengelolaan lahan harus ada pelepasan hak pola kemitraan, baru diajukan ke pemerintah daerah berupa izin lokasi dulu, baru izin prinsip. Ini ada verifikasi pemda untuk mengecek kebenaran. Bukan ujuk-ujuk harus dari HGU,” katanya.

Hatta bilang, Indonusa sejak awal menawarkan kemitraan dengan pola 50:50. Ada ketentuan harus dipenuhi petani mitra, katanya, pertama, ada legalitas lahan, apakah berbentuk surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah (sporadik) atau surat keterangan tanah (SKT) yang dikeluarkan kepala Desa.

Kedua, masyarakat yang bermitra harus memiliki badan hukum karena perusahaan tidak bisa melakukan kemitraan dengan orang-perorang, atau persona.

Jadi, katanya, terbentuklah badan hukum yaitu koperasi dengan nama Koperasi Sawit Resa Jaya. Kesepakatan atau perjanjian kerjasama ini melalui koperasi pada 2009. “Seluruh masyarakat satu dusun, namanya Dusun Rejo Sari, Desa Pandan Sejahtera, menyetujui, luas kemitraan sekitar 500 hektar.”

Menurut dia, pengajuan kemitraan masuk ke koperasi dulu, kemudian pengurus koperasi akan memverifikasi. Setelah persyaratan calon mitra terpenuhi, harus ada pernyataan persetujuan calon petani plasma.

Setelah semua tahapan proses di koperasi selesai dan diketahui kepala desa maupun camat, lalu Indonusa mengeluarkan surat bukti serah terima dokumen asli dari perusahaan kepada petani melalui koperasi.

“Artinya, kalau yang bersengketa perusahaan dan masyarakat, memang ada sedikit kekeliruan. Tapi fakta kita yang melakukan pengelolaan lahan. Artinya, pengelolaan itu dilakukan satu pintu oleh perusahaan,”kata Hatta.

Dalam perjanjian antara koperasi dengan perusahaan, katanya, diatur cukup jelas.”Kalimatnya begini, ketika terjadi persoalan yang timbul terhadap obyek lahan yang dimitrakan kepada perusahaan persoalan hukum itu akan menjadi tanggung jawab pihak yang memitrakan atau koperasi.”

 

Memasuki Desa Transmigrasi Pandan Sejahtera. Foto: Dedy Nurdin

 

Pada 2014, kata Hatta, ada permohonan mediasi dari warga Desa Pandan Sejahtera melalu Pemerintah Yanjung Jabung Timur oleh sekda kala itu dijabat Sudirman. Kemudian terbentuk Tim Penyelesaian Konflik Kabupaten yang melibatkan berbagai instansi terkait.

Setelah pemeriksaan obyek perkara, diduga ada lahan masyarakat bersentuhan dengan HGU perusahaan. “Kurang lebih hanya tujuh hektar, ini diduga karena masyarakat mengklaim langsung, mempatok-patok dia.”

Pada pertemuan yang difasilitasi pemerintah daerah saat itu, perusahaan minta agar hadirkan pengurus koperasi dan kepala Desa lama. Hatta mengatakan, saat itu Kasim dan Bagong, warga yang mengajukan mediasi tidak mau memperlihatkan dasarnya, hanya memperlihatkan peta rancang kapling.

Sampai 2015, kembali mediasi, namun tak ada kesepakatan. Dari kesimpulan rapat, katanya, para phak yang merasa dirugikan dapat menempuh jalur hukum secara perdata maupun pidana.

Menurut Hatta, Indonusa Agromulia bukan perusahaan pola inti plasma tetapi kemitraan selama satu siklus. Setelah itu, lahan kembali kepada masyarakat. “Kita tetap mengacu pada keputusan pemda, kalau merasa tidak puas digugat saja ke perdata untuk membuktikan fakta hukum.”

Pada 2017, katanya, Kasim dan warga lain memasukkan alat berat dan menggali kanal. Mereka lapor ke polisi atas tindakan perusakan dan penyerobotan lahan HGU dan kemitraan. Kasus tak berlanjut.

Pada 25 Maret, Kasim bersama warga lain kembali menduduki lahan dan menyetop panen perusahaan. Indonusa Agromulia melaporkan kembali Kasim ke Polres Tanjung Jabung Timur.

“Laporan kepolisian atas pendudukan lahan tanpa izin mengacu pada UU Perkebunan Pasal 55.”

“Setelah proses berjalan kita menyampaikan kepada Pak Kasim, dasarnya apa? Pak Kasim bilang, perusahaan beli lahan transmigrasi, harusnya itu tak boleh dijuabelikan. Pak Kasim cs tidak bermitra, obyek yang dia klaim benar tapi kita punya petani plasma. Lebih bagus upaya hukum, melakukan gugatan siapa yang memiliki obyek lahan. Yang ada legalitas yang bermitra bukan Pak Kasim.”

 

 

Kekeliruan proses hukum

Sahuri Lasmadi, pakar hukum pidana Universitas Jambi, menilai, ada kekeliruan dalam proses hukum kepada M Kasim. Dalam rumusan hukum, hukum publik tidak bisa masuk ke wilayah privat, begitu juga sebaliknya.

Dalam perkara M Kasim dan para petani memiliki alas hak untuk menggarap lahan sesuai SK Transmigrasi hingga dapat dikatakan wilayah privat.

“Kalau dilaporkan ke pidana ini pelanggaran. Ini sama saja pelanggaran HAM. Karna ini urusan privat, punya alas hak dan patut dilindungi.”

Meskipun perusahaan punya alas hak sama, tidak bisa memaksakan proses penyelesaian hukum lewat pidana. Persoalan ini, katanya, masuk hukum privat maka proses hukum lewat perdata.

Jadi, harus ada pembuktian hak untuk mengelola lahan lewat pengadilan. Sahuri bilang, penyelesaian perkara pidana merupakan solusi terakhir setelah ada pembuktian lewat pengadilan perdata.

Dalam sengketa ini, katanya, pemerintah daerah harus berperan sebagai mediator, mengambil jalan tengah dengan mendorong penyelesaian lewat pembuktian hak secara hukum.

Dia menyayangkan, ketika pemidanaan petani dibiarkan terjadi di tengah pandemic. Apalagi, katanya, kedua pihak memiliki dasar penguasan lahan atas izin pemerintah.

“Karena tidak mungkin ujuk-ujuk perusahaan masuk kalau tidak ada izin pemerintah, begitu juga masyarakat tidak mungkin menguasai lahan kalau tidak ada dasar hukum yang dikeluarkan pemerintah,”kata Sahuri.

Sekali lagi dia tekankan, dalam kasus ini tak ada hubungan dengan polisi. “Harus ada yang menerangkan sejarah dan proses kepemilikan masyarakat maupun perusahaan. Ini kita bicara tentang keadilan kepada masyarakat.”

Rudiansyah, Direktur Eksekutif Walhi Jambi menilai, ada kekeliruan administrasi dalam laporan, sampai penetapan Kasim sebagai tersangka. “Kalau mengacu pada Surat Edaran Mahkamah Agung harus pembuktian dulu secara perdata. Karna, petani transimgrasi juga memiliki alas hak berupa SK Kementerian Desa dan Transmigrasi soal pencadangan areal transmigrasi.”

Kalau nanti Kasim dinyatakan bersalah terkait penguasaan obyek, katanya, harus jadi evaluasi menyeluruh terhadap proses pengalokasian wilayah transmigrasi.

Dia merasa aneh, kalau transmigrasi tidak ada subyek dan obyek akurat. Dalam perkara Kasim, katanya, Kementerian Transmigrasi seharusnya bisa mendudukkan perkara pada daerah atau dinas terkait.

Walhi Jambi mencatat ada delapan kasus kriminalisasi di Jambi dalam 10 tahun terakhir. Laporan pengaduan semua merujuk pada UU Perkebunan dan sektor kehutanan menggunakan UU P3H.

Bagaimana nasib Kasim dan warga Desa Pandan Sejahtera? Lahan usaha II Kasim dan warga lain pun masih sengketa. Berbagai upaya mereka lakukan belum ada hasil.

“Sampai ke gubernur saya sendiri yang bawa surat permohonan, tapi malah dilempar sana-sini. Akhirnya, dikembalikan lagi ke kabupaten. Cuma gitu aja, tidak ada kejelasan kemana kami mengadu,” kata Kasim.

 

 

*Dedy Nurdin, wartawan Tribun Jambi. Berita ini atas dukungan Mongabay Indonesia.

 

Keterangan foto utama: Warga Desa Pandan Sejahtera, panen sawit. Foto: Dedy Nurdin

 

Exit mobile version