Mongabay.co.id

Obituari: Gunawan Wiradi, Guru Reforma Agraria Itu Telah Berpulang

 

 

Di tengah tantangan berat mewujudkan gerakan reforma agraria sejati, terlebih setelah kehadiran UU Cipta Kerja, kabar duka datang. Guru besar, tokoh gerakan reforma agraria, Gunawan Wiradi berpulang pada Senin, 30 November 2020 sekitar pukul 19.35 WIB.

Tokoh kelahiran 26 Maret 1934 ini begitu banyak menyumbangkan gagasan dan pikiran mengenai reforma agraria di Indonesia. Beberapa buku Wiradi, antara lain, Reforma Agraria, Perjalanan yang Belum Berakhir, Masa Cerah dan Masa Suram di Pedesaan Jawa dan Reforma Agraria.

Kemudian, buku Enam Dekade Ketimpangan, Wiradi menulis bersama Dianto Bachriadi. Ada juga Sosiologi Agraria, Menilik Demokrasi dan Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria serta lain-lain.

Iwan Nurdin, Ketua Dewan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sangat berduka dengan kepergian GWR, begitu beliau biasa disapa. Iwan dan Wiradi cukup dekat.

Dalam surat terakhir yang ditulis Wiradi jelang meninggal dunia, beberapa nama dia sebutkan antara lain, Iwan Nurdin, Dewi Kartika dan Idham Arsyad.

“Tadi malam dibacakan surat wasiatnya. Dia menyampaikan, beberapa ucapan terimakasih. Ya saya terharu juga ada nama saya di sana. Padahal kami ini apa jasanya? Yang ada justru jasa beliau ke kami yang begitu besar. Beliau sangat konsisten memperjuangkan agenda reforma agraria. Harusnya kami yang berterimakasih kepada beliau,” kata Iwan.

Di surat wasiat itu dia sebutkan mengenai pandangan-pandangannya mengenai reforma agraria, termasuk soal buku-buku yang pernah dia tulis.

 

 

Sanak keluarga, rekan dan pegiat gerakan agraria mengantarkan Gunawan Wiradi ke peristirahatan terakhir. Foto: KPA

 

***

Setelah menamatkan pendidikan di SMA Negeri di Solo pada 1953, Wiradi melanjutkan pendidikan ke Fakultas Pertanian, Universitas Indonesia—kini Institut Pertanian Bogor.

Sebagai pemuda cerdas, Wiradi mendapatkan beasiswa penuh dari pemerintah. Pendidikan strata satu dia selesaikan pada 1963 tepat saat IPB berdiri. Menariknya, skripsi yang Wiradi tulis mengenai politik pertanian, diterjemahkan dalam bahasa Inggris berjudul “Land Reform in a Javanese Village, Ngandaan.” Ketertarikan pada isu reforma agraria sudah dia miliki sejak masih muda.

Pada 1972, dia jadi peneliti lapangan dalam proyek Survey Agro Ekonomi (SAE) Departemen Pertanian. Kakak tingkat empat angkatan, Prof Sajogjo, tempat belajar dan sosok yang dia hormati.

Pada 1975, Wiradi mendapatkan beasiswa dari A/D/C dan melanjutkan studi ke Universiti Sains Malaysia (USM) di Penang, Malaysia. Selesai 1978.

Pada 1994, Wiradi bersama beberapa tokoh, seperti Soedino M. P. Tjondronegoro, Maria Roewiastuti, Noer Fauzi Rachman, Dianto Bachriadi, mendirikan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

“Saya menjumpai karya-karyanya di Yogyakarta melalui terbitan KPA, Pustaka Pelajar hingga Insist 90-an akhir. Kemudian, berkesempatan nyantri dengan beliau di KPA secara langsung,” kata Iwan.

Iwan mengandaikan Wiradi bak sumur ilmu pengetahuan dengan air tak habis-habis. “Setiap bertemu, diskusi atau ngobrol biasa, selalu ada saja yang tertinggal di relung hati, sebuah kesan pribadi dan rasa yang menjadi pertinggal.”

Dia mengatakan, banyak pelajaran dia dapatkan dari sosok Wiradi. Wiradi banyak mengajarkan hidup sederhana, tetap konsisten memperjuangkan agenda reforma agraria di Indonesia.

“Dia mengajarkan dengan contoh. Ketika dia berbicara dan memberikan teladan, orang itu mengerti bahwa apa yang dia bicarakan keluar dari lubuk hatinya. Bukan hanya pengetahuan, juga kebijaksanaan. Dia memang guru bagi semua orang,” katanya.

Ketika Wiradi berulangtahun, dia sempat meminta tulisan soal pandangan-pandangan beberapa rekan mengenai kehidupannya. Menurut Iwan, itu sangat membekas dalam ingatan.

Mereka sering bercakap melalui sambungan seluler untuk berdiskusi mengenai kondisi reforma agraria terkini.

“Terkadang dia menelepon, mengajak ngopi, merokok bersama karena memang dia perokok. Kalau mengapresiasi tulisan-tulisan kita, sikap-sikap kita atau memberikan pandangan-pandangan alternatif itu sangat bijak.”

 

Wiradi sangat konsisten memperjuangkan agenda reforma agraria. Pandangan Wiradi mengenai reforma agraria tak hanya level Indonesia, juga jadi rujukan negara-negara lain, seperti India, Filipina dan lain-lain.

“Di Indonesia, belum ada yang bisa menggantikan sosok pak Wiradi. Yang sesuai ucapan, dan tindakan dari sana muncul penghormatan dari khalayak. Apa yang dia ucapkan dan dilakukan, itu seiring.”

Iwan terakhir bertemu Wiradi Mei lalu. Selama masa pandemi, komunikasi antara dia dengan almarhum, lebih banyak melalui jaringan virtual seperti zoom meeting atau telepon.

“Sudah lama tidak bertemu beliau. Selama pandemi, kita terus-terusan zoom meeting. Bahkan, sampai sebulan lalu saat pelatihan akademi reforma agraria di KPA, dia masih memberikan pandangan. Waktu itu, peserta dari seluruh Indonesia melalui zoom meeting,” katanya.

Sebelum meninggal, kata Iwan, Wiradi sering mengeluh sakit. Ada plek di paru-parunya. Beberapa waktu lalu sempat ada masalah di saluran pencernaan dan menjalani operasi beberapa kali.

“Terakhir, dia sesak napas lalu dibawa ke rumah sakit. Biasa kan ke RS PMI. Karena penuh, dibawa ke RS Mulia. Teman-teman mengontak untuk dicarikan rumah sakit yang mempunyai ruangan ICU lebih bagus. Kemudian kami mengontak beberapa rumah sakit di Jakarta dan Depok.”

Eko Cahyono, kata Iwan, bilang, ada rumah sakit di Bogor kebetulan sudah siap. “Supaya mudah menjenguk dan menjaganya. Ya sudah di Bogor. Ketika ambulans mau berangkat menuju rumah sakit yang lebih lengkap, beliau sudah nggak ada.” Wiradi dimakamkan di kampung halamannya di Solo, Jawa Tengah.

Kalau kata-kata Wiradi yang membekas di ingatan Iwan adalah, dalam setiap optimisme, selalu ada selipkan pesimisme agar tetap waspada dan kritis. Sebaliknya, dalam setiap perjuangan berat sampai muncul pesimisme, tetap selipkan optimis.

Sebelum mendirikan KPA, pada 1991, Wiradi bikin Yayasan Akatiga (Pusat Analisis Sosial) di Bandung. Sejak itu, dia juga aktif di beberapa lembaga, seperti dewan pakar KPA dan Bina Desa.

Noer Fauzi Rachman, pakar agraria mengatakan, begitu sedih dengan kepergian Wiradi. Dia banyak menjelajahi studi agraria lewat Wiradi. Wiradi adalah guru baginya.

“Saya nggak pernah ada dalam kelasnya tapi saya berguru sama dia. Salah satu cara berguru saya itu adalah seluruh tulisan dia. Itu saya rangkai jadi buku “Reforma Agraria, Urusan yang Belum Selesai” terbit tahun 1999. Menurut saya, dia pemikir orisinil tentang reforma agraria,” katanya.

Oji, biasa disapa mengatakan, lintasan berpikir Wiradi sangat panjang. Sejak era kolonialisme hingga kini. Oji merasa mewarisi cara berpikir dengan lintasan panjang itu dari sosok Wiradi.

Menurut Oji, dia juga pemikir yang memiliki suatu keragaman ruang. Jadi bukan hanya lintasan panjang, juga ruang berbeda-beda. “Ruang besarnya, misal, Jawa, luar Jawa. Atau pedesaan dan perkotaan, dia punya imajinasi ruang itu. Dia itu tahu perbedaan-perbedaan norma dan sistem pengaturan kepemilikan tanah di perbedaan ruang-ruang ini. Antara yang terjadi di Jepang, India, Korsel dan di Indonesia, dia itu bisa membanding-bandingkan ruang itu.”

Wiradi gigih memperjuangkan agenda reforma agraria. Dia juga memiliki kemampuan analitik dalam berteori hingga bisa menjelaskan teori dengan fasih.

“Jadi punya macam-macam pisau yang bisa dipakai. Kehebatan dia juga mempunyai kemampuan menyampaikan gagasan dengan baik. Dalam mengajar atau presentasi di seminar dan diskusi misal, itu sangat bagus. Dia tahu retorika. Hingga bisa menimbulkan daya tarik. Itu magnet di dalam forum.”

Tak heran, kepiawaian Wiradi menyampaikan gagasan itulah, hingga dia pun punya murid lintas generasi. “Mulai dari generasi saya sampai generasi yang baru-baru ini, yang baru lulus sekarang. Dia bisa mempunyai lintasan murid sebagai tanda bahwa dia bisa bercakap-cakap dengan perbedaan generasi.”

Menurut Oji, kesederhanaan Wiradi dalam kehidupan sehari-hari merupakan bentuk kecerdasan paling tinggi. Hal ini terlihat dari cara penyampaian gagasan, meskipun mengenai topik berat, tetapi Wiradi bisa sampaikan dengan cara sederhana.

“Dengan kesederhanaan dia bisa mendidik murid-muridnya mempunyai komitmen untuk keadilan sosial.”

 

Gunawan Wiradi, pada perayaan HUT ke 86 pada 2018. Foto: Dewi Kartika, dari laman Facebook Gunawan Wiradi

 

Pengalaman berkesan selama berinteraksi dengan Wiradi bagi Oji adalah saat merangkai tulisan-tulisannya jadi sebuah buku. Lewat tulisan-tulisan itu, kata Oji, jelas memperlihatkan, Wiradi mempunyai cara berpikir sistemik. Meskipun tulisan-tulisan itu tampil di berbagai macam naskah berbeda-beda.

“Saya merangkai itu bukan sekadar bab satu makalah ini, bab dua dan seterusnya. Itu saya gunting ulang makalahnya. Saya rangkai. Itu sangat berkesan bagi saya adalah satu interaksi antara saya dengan dia. Sampai dia pernah bilang begini, “Oji sebenarnya ini buku bersama. Bukan buku dia saja” Dia itu humble sekali.”

Wiradi juga yang mendorong Oji menyelesaikan pendidikan doktoral di Environmental Science Policy and Management di University of California, Berkeley.

“Dia punya andil besar dalam kehidupan saya.”

Oji bilang, terakhir bertemu Wiradi pada Kamis lalu. Saat itu, Oji memberi buku terbarunya berjudul, “Nanos Digantum Insidentes.”

Saat itu, Oji bilang respon Wiradi sangat baik menyambut buku barunya.

Pada perjumpaan terakhir, Wiradi, mengaku mulai kesulitan memenuhi banyak permintaan dari berbagai pihak untuk menulis maupun jadi pembicara.

Eva Bande, aktivis perempuan gerakan reforma agraria juga Ketua Gugus Tugas Reforma Agraria Sigi mengatakan, Wiradi adalah tokoh utama reforma agraria. Baginya, Wiradi adalah pahlawan agraria Indonesia. Tokoh inspiratif kaum muda yang mengabdikan diri bagi perwujudan reforma agraria.

“Tiap zaman dinamika perjuangan agraria bahkan aktivisnya pun silih berganti, tetapi Gunawan Wiradi tetap kokoh berdiri sebagai tonggak penopang gerak maju reforma agraria. Beliau adalah obor penerang jalan gelap reforma agraria Indonesia.”

Dia begitu kehilangan sosok mulia ini. “Kita harus jadikan kehilangan ini sebagai kehadiran semangat baru untuk terus menyalakan obor penerang yang telah dinyalakan almarhum. Persatuan kaum pergerakan untuk menghadapi sengkarut masalah agraria adalah keharusan.”

Eva membaca buku-buku Wiradi. Bahkan, dia sempat mengetik beberapa naskah catatan tangan Wiradi soal reforma agraria untuk jadi buku.

“Saya sering mendengar rekaman dari berbagai diskusi di mana almarhum jadi pembicara. Kepakaran beliau sudah level digjaya, sekali saja orang menyerap ilmu beliau tentang reforma agraria berhadapan langsung, orang itu akan merasa seakan-akan telah memahami reforma agraria berikut seluk beluknya beberapa jam kemudian.”

Khalisah Khalid, Kepala Desk Politik Walhi Nasional mengatakan, sangat kehilangan sosok Wiradi. Wiradi, merupakan tokoh reforma agraria dengan dedikasi tinggi.

“Dia guru yang selalu mau menemani kita belajar dan selalu jadi pengingat reforma agraria yang sejati itu seperti apa. Kemudian, selalu nggak bosan cerita sejarah UU Pokok Agraria. Bagaimana perjuangan bisa menjalankan agenda reforma agraria yang benar, yang landasan UU Pokok Agraria. Itu paling berkesan.”

Wiradi juga mengajarkan rendah hati. “Kalau kita ngobrol sama dia, beliau itu menempatkan setara. Padahal kita tahu pemikiran-pemikirannya luar biasa.”

Bagi Alin, sosok Wiradi meninggalkan legacy sangat penting dalam pemikiran reforma agraria. Ia bisa jadi bekal bagi generasi muda melanjutkan cita-cia reforma agraria sejati.

Salah satu kontribusi besar Wiradi, menurut Alin adalah mengkonsolidasikan gerakan lingkungan hidup dan reforma agraria. Sebelumnya, gerakan lingkungan hidup selalu dianggap ecofasis seperti terkait kawasan konservasi yang justru makin memunculkan banyak konflik agraria.

“Dengan landasan mengacu kepada UU Pokok Agraria, itu bisa jadi pijakan mengkonsolidasikan gerakan reforma agraria dan gerakan lingkungan hidup itu sesungguhnya gerakan yang nyatu.”

Jadi, kata Alin, salah satu dorongan perbaikan tata kelola di lingkungan hidup juga terkait dengan mengatasi ketimpangan struktur penguasaan agraria. Otu konsen banget Pak Wiradi.” Dengan begitu, kontribusi pemikiran Wiradi bukan hanya untuk gerakan agraria, juga lingkungan hidup. Dengan begitu, saat ini gerakan reforma agraria bukan hanya jadi agenda gerakan agraria seperti KPA atau serikat tani, juga gerakan lingkungan hidup.

Rukka Sambolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, Wiradi merupakan tokoh teladan yang tak pernah sedikit pun berpaling dari perjuangannya. Dia teguh sampai napas terakhir memperjuangkan agenda reforma agraria sejati.

Rukka memang tak langsung berinteraksi dengan Wiradi tetapi AMAN bekerjasama dengan KPA, merupakan gagasan ideologi Wiradi. Wiradi juga melahirkan Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) dan buku putih sebagai ruang konsolidasi antara gerakan masyarakat adat dan petani.

Bagi Rukka, generasi saat ini bisa belajar soal konsistensi. “Soal konsistensi, setia pada perjuangan. Nggak ada kompromi, beliau yang paling berduka ketika reforma agraria itu jadi seperti yang sekarang ini oleh pemerintah.”

Selamat jalan guru reforma agraria… Pemikiran mu akan terus hidup…

 

***

Keterangan foto utama: Gunawan Wiradi. Foto: Sajogjo Institute

 

Exit mobile version