- Para nelayan warga Pulau Kodingareng, Kecamatan Sangkarrang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan mengaku sulit menangkap dan menjual ikan terutama ikan kerapu dan ikan tenggiri sejak Februari 2020. Kesulitan itu karena terdampak aktivitas penambangan pasir laut kapal Queen of the Netherlands milik PT. Royal Boskalis Internasional
- Aktivitas penambangan pasir laut itu membuat air laut menjadi keruh, gelombang tinggi, dan kerusakan ekosistem laut, yang membuat tangkapan ikan nelayan berkurang sangat drastis
- Warga Pulau Kodingareng bersama berbagai LSM yang tergabung dalam Koalisi Nasional Selamatkan Laut Indonesia sejak Juli 2020 sampai saat ini melakukan aksi secara konsisten menuntut penghentian dan pencabutan izin penambangan pasir laut yang dilakukan PT Boskalis.
- Berbagai pihak terkait penambangan pasir laut seperti PT Pelindo IV, Dinas ESDM Sulsel dan Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah menyatakan penambangan pasir laut oleh PT Boskalis sudah sesuai aturan pada lokasi yang telah ditetapkan, tidak melanggar hukum dan telah memiliki Amdal yang mensyaratkan mitigasi kerusakan lingkungan
Bulan Februari 2020 menjadi bencana bagi warga Pulau Kodingareng, Kelurahan Kodingareng, Kecamatan Sangkarrang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Selain mengeluhkan sulitnya menjual hasil tangkap ikan di masa pandemi COVID-19, hadirnya penambangan pasir laut di wilayah tangkap nelayan menambah masalah baru. Nelayan pancing dan nelayan pemanah sulit mendapatkan hasil tangkap.
Perahu nelayan masih berjejer rapi di pinggir pantai Pulau Kodingareng, pada pagi hari di akhir bulan Agustus 2020. Pemandangan seperti ini tidak biasanya. Banyak nelayan memilih untuk tidak melaut selama penambangan pasir di perairan Spermonde berlangsung. Namun, sebagian nelayan tetap memaksakan diri untuk melaut untuk mencari nafkah bagi keluarganya.
baca : Asa Nelayan Pulau Kodingareng ditengah Pandemi Corona
Rustam, salah satu nelayan di Pulau Kodingareng, sekitar pukul 05.00 WITA bergegas untuk pergi melaut. Tujuannya ke Copong, salah satu wilayah tangkap andalan ikan Tenggiri bagi nelayan dari Pulau Kodingareng. Selama kurang lebih delapan jam, Rustam memilih pulang lebih awal.
“Pukul 05.00 pagi berangkat. Saya hanya dapat 2 ekor ikan lanjawa dan kerapu kecil, ini hanya untuk dimakan. Tidak sebanding dengan pengeluaran. Hanya jalan-jalan. Kata orang Makassar tenai tawa (tidak ada bagian),” ujar Rustam.
Rustam mengaku, sejak lima bulan terakhir sulit mendapatkan ikan tenggiri dan kerapu merah. Adanya aktivitas pengerukan pasir laut oleh kapal Queen of the Netherlands milik PT. Royal Boskalis Internasional di wilayah tangkap ikan perairan Spermonde menjadi penyebab utama.
“Sebelumnya, 5 sampai 7 ekor ikan tenggiri lebih mudah didapatkan. Sekarang susah carinya. Biar satu ekor tidak dapat ini. Ini pengaruhnya pengerukan pasir Boskalis. Karena air keruh, karang di bawah hancur-hancur ki karena dikeruk. Airnya tambah dalam dan ombaknya tambah besar,” keluhnya.
baca juga : Derita dan Asa Nelayan Sulsel di Tengah Pandemi COVID-19 (bagian 1)
Hal senada dirasakan Hamzah, nelayan Pulau Kodingareng lainnya. Dia pulang melaut sejauh 12 mil dari perairan Copong ke Langkai, lebih jauh dari biasanya dengan hasil sedikit.
“Saya hanya dapat ikan cepa-cepa lima ekor. Sudah dijual 50 ribu di pengumpul. Itu ji di dapat dan berdua memancing selama satu hari,” ujar Hamzah.
Sejak empat bulan terakhir, Hamzah mengaku sulit mendapatkan hasil tangkap di laut. Terutama ikan Tenggiri, ikan kualitas ekspor yang harganya lumayan tinggi dari jenis ikan lainya. “Tidak dapat umpan, sudah lama tidak dapat tenggiri. Empat bulan mi lebih begini terus. Rata-rata penghasilan sehari hanya Rp50-70 ribu. Bahkan kadang tidak ada. Ongkos jalan-jalan, hanya menutupi pembeli bahan bakarnya saja,” katanya.
Perairan Copong Lompo, Copong Caddi dan Bonemalonjo adalah salah satu wilayah tangkap nelayan yang sangat dijaga kelestariannya bagi nelayan Pulau Kodingareng. Bagi nelayan wilayah ini adalah emas bagi nelayan, karena tempat ikan berkumpul terutama ikan Tenggiri.
Mas’ud, nelayan Pulau Kodingareng mengaku di lokasi Copong adalah wilayah tangkap nelayan terutama ikan Tenggiri turun temurun sejak nenek moyangnya. Namun, enam bulan terakhir sejak penambangan pasir laut masuk di wilayah itu, semua berubah dengan cepat.
“Saya turun (melaut) jam 05.30 subuh, balik jam 04.00 sore. Cari ikan di Copong, tapi tidak dapat. Sekarang musimnya ikan tenggiri di bulan 8 hingga 10, tapi sulit sekali dapat ikan. Paling dapat 1-2 ekor. Biasa 7 hari tidak dapat, 1 hari dapat. Lebih banyak tidak dapatnya sekarang. Keruh air karena penambang pasir. Luar biasa ini penambang pasir, sangat merusak,” tambahnya.
perlu dibaca : Nasib Nelayan Kala Perusahaan Tambang Keruk Pasir di Perairan Sangkarrang
Nelayan Kodingareng Mencari Keadilan
Hadirnya penambangan pasir laut yang dilakukan kapal Queen of the Netherlands milik PT. Royal Boskalis Internasional untuk proyek strategis nasional Makassar New Port (MNP) di wilayah tangkap nelayan pulau Kodingareng mengusik rasa ketidakadilan bagi nelayan. Nelayan pun bersuara. Mereka bersikukuh menolak keras penambangan pasir laut.
Sebanyak 4.526 jiwa yang terdiri dari 1.081 Kepala Keluarga (KK) di Kelurahan Kodingareng. Dari 950 nelayan yang tercatat di Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Makassar hampir semua merupakan nelayan pencari ikan tenggiri. Di bulan April hingga Agustus, biasanya hasil tangkap ikan tenggiri meningkat, bisa sampai enam ekor bahkan lebih. Namun di tahun ini situasinya berbeda, aktivitas tambang pasir laut membuat nelayan kesulitan mendapat hasil tangkapan, maksimal hanya dua ekor ikan tenggiri/hari.
Aktivitas penambangan pasir laut di perairan Sangkarrang, Makassar, membuat air laut menjadi keruh, gelombang tinggi, dan kerusakan ekosistem laut. Hal itu membuat hasil tangkap nelayan Kodingareng berkurang drastis, bahkan dalam satu hari tidak mendapatkan ikan.
Ismail, salah satu nelayan dan tokoh masyarakat pulau Kodingareng, Kecamatan Kepulauan Sangkarrang, Kota Makassar menyesalkan kebijakan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yang tidak melakukan sosialisasi dan musyawarah kepada nelayan pulau Kodingareng terkait rencana penambangan di wilayah tangkap nelayan.
“Seandainya ada sosialisasi, tidak mungkin dikasih (diizinkan) lokasi disitu. Tempat penyimpanan uang nelayan Pulau Kodingareng disitu. Sebelum adanya penambangan, memasuki bulan 8 hingga 9 nelayan mulai menabung dengan cara beli emas hasil penjualan ikan Tenggiri yang melimpah,” ujar Ismail, saat ditemui di Pulau Kodingareng, akhir Agustus 2020 lalu.
Bagi Ismail dan nelayan Pulau Kodingareng, wilayah Copong merupakan wilayah tangkap nelayan yang wajib dipertahankan. Copong merupakan jantungnya nelayan pancing secara turun temurun.
“Piring ta’ disitu, di Copong. Kalau musim Tenggiri, banyak penghasilan nelayan disitu. Sekarang Copong tinggal nama, karena sudah tidak kelihatan. Keruh. Keruh sekali. Sejak penambangan berlangsung. Kami masyarakat Kodingareng minta hentikan ini penambangan pasir. Supaya kami tetap sejahtera. Karena selama ini kami sejahtera. Setelah penambangan di Copong, penghasilan sudah merosot,” keluhnya.
perlu dibaca : Tambang Pasir Laut di Makassar Rampas Ruang Hidup Nelayan
Aliansi Selamatkan Pesisir (ASP) Makassar bersama Koalisi Nasional Selamatkan Laut Indonesia mencatat 6 (enam) praktik intimidatif baik secara verbal dan non verbal oleh aparat Polairud Polda Sulawesi Selatan yang terjadi sejak Juli – September 2020. Praktik tersebut diikuti oleh tindak kekerasan hingga penangkapan dan penahanan masyarakat/nelayan Kodingareng yang dilakukan aparat kepolisian.
“Peristiwa tersebut terjadi ketika nelayan dan sejumlah masyarakat Kodingareng melakukan aksi penolakan terhadap kegiatan penambangan PT Royal Boskalis Internasional guna mempertahankan ruang hidup mereka,” ujar Edy Kurniawan Wahid, koordinator Bidang Hak atas Lingkungan Hidup, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Makassar, 27 September 2020.
Edy mengatakan kehadiran aparat Negara, yang diharapkan dapat mengambil langkah yang tepat untuk mencegah, menyelidiki, menghukum, atas praktik kejahatan bisnis dan penyalahgunaan wewenang yang diduga dilakukan oleh Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah bersama koleganya saat menerbitkan izin terkait aktivitas tambang pasir laut maupun pembangunan proyek Makassar New Port, malah menjadi bagian dalam mendukung perusakan lingkungan dan membungkam suara masyarakat melalui praktik kriminalisasi dan intimidasi.
Edy menjelaskan tuntutan nelayan Kodingareng merupakan hak untuk tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata karena memperjuangkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, dilindungi oleh pasal 66 UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Serangkaian aksi protes nelayan Kodingareng meski dipandang sebagai wujud perjuangan untuk mempertahankan lingkungan hidup yang baik dan sehat, karena kegiatan tambang pasir yang telah nyata merusak ekosistem laut dan menghilangkan ruang hidup dan mata pencaharian utama nelayan tradisional,” terangnya.
baca juga : Aksi Penolakan Nelayan dan Sengkarut Tambang Pasir Laut di Makassar
Wilayah Tangkap Ikan Nelayan
Sedangkan Direktur Walhi Sulawesi Selatan, Muhammad Al-Amin mengatakan tambang pasir laut yang dilakukan PT. Boskalis telah menimbulkan dampak kerusakan luar biasa bagi lingkungan pesisir dan kondisi sosial-ekonomi nelayan terutama di wilayah Galesong Raya dan di Pulau Kodingareng.
Data WALHI Sulsel, sejak tanggal 13 Februari 2020, kapal Queen of the Netherlands milik PT. Boskalis Internasional, yang memiliki kapasitas 33.423 Gross Ton (GT) mulai melakukan penambangan pasir laut di perairan Bonemalonjo. Pasir laut hasil tambang ini digunakan untuk keperluan reklamasi Makassar New Port (MNP) tahap II. Pembangunan MNP yang digawangi oleh PT. Pelindo memiliki luas 1.428 ha yang akan direncanakan selesai pada tahun 2025.
PT Royal Boskalis adalah kontraktor pemenang tender penyediaan pasir untuk kepentingan reklamasi yang menambang di wilayah konsesi sejumlah perusahaan lokal di Sulsel, seperti PT Banteng Laut Indonesia.
Saat ini, nelayan Pulau Kodingareng masih kukuh menentang aktivitas penambangan pasir laut oleh PT Boskalis di wilayah tangkap ikan mereka sejak dulu, yaitu Coppong Caddi, Coppong Lompo dan Bonemalonjo yang sudah diberi nama sejak dulu oleh masyarakat Pulau Kodingareng.
“Pemberian nama-nama lokal ini menunjukkan betapa kuatnya relasi nelayan dengan wilayah tangkapnya. Dan ini juga merupakan tanda bahwa di lautan yang begitu luas, ada daerah tertentu yang dijadikan wilayah tangkap andalan karena kelimpahan sumber daya ikannya,” ungkap Al-Amin.
baca : Rugikan Nelayan, Walhi Sulsel Tuntut Penghentian Tambang Pasir dan Pembangunan Makassar New Port
Sejak penambangan dilakukan PT Boskalis, nelayan Pulau Kodingareng mulai merasakan dampaknya. Air laut di sekitar wilayah penambangan menjadi keruh sehingga membuat hasil tangkapan nelayan berkurang drastis, terutama nelayan-nelayan yang mencari ikan tenggiri dan nelayan rawe yang mencari ikan-ikan karang.
“Saat ini nelayan di Pulau Kodingareng Lompo itu masih menyatakan sikap menolak keberadaan tambang pasir laut. Nelayan tidak membutuhkan konpensasi dari Pemerintah maupun perusahaan. Yang mereka butuhkan adalah kegiatan tambang pasir laut berhenti total dan meninggalkan wilayah tangkap nelayan,” ujar Muhammad Al-Amin, Jum’at, 10 Juli 2020 lalu.
Pada 13 hingga 14 Agustus 2020, puluhan istri nelayan Kodingareng memilih tidur di pelataran jalan tepat di depan pintu gerbang kantor Gubernur Sulawesi Selatan. Pujiati, salah satu istri nelayan mengungkapkan, aksi bermalam di depan kantor Gubernur ini buntut kekecewaan nelayan karena tidak mendapat respon baik dari Gubernur Nurdin Abdullah atas protes penolakan tambang pasir laut yang dilakukan kapal milik PT. Royal Boskalis.
“Gubernur Nurdin Abdullah hanya janji. Pemerintah jaga jarak. Tidak pernah datang ke sini (Pulau Kodingareng). Minta solusi tapi tidak direspon. Kami mengeluhkan masalah ini selama penambangan. Bahkan menginap dua malam di depan kantor Gubernur, tapi tidak ditemui. Bantu kami bagaimana solusinya,” kata Pujiati.
baca juga : Tolak Tambang Pasir Laut, Manre Didakwa Penghinaan Mata Uang
Izin Tambang Pasir Laut Kilat
Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Nasional Selamatkan Laut Indonesia terdiri dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Wahli), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) juga mendesak Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah agar menghentikan dan mencabut izin tambang pasir laut di wilayah tangkap nelayan.
Hasil temuan Koalisi Nasional Selamatkan Laut Indonesia, ada dugaan konflik kepentingan dalam proses pemberian izin. Ditemukan ada relasi dan koneksi antara pelaku penambangan dengan keluarga dan kolega Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah.
“Apa yang koalisi temukan. Pertama, ada dugaan konflik kepentingan, karena ada relasi/koneksi. Ada bukti-bukti yang memberikan kesimpulan. Ada hubungan antara pelaku izin pertambangan dengan keluarga atau dinasti politik, lingkaran politik Gubernur Nurdin Abdullah di Sulawesi Selatan. Itu ditunjukkan dan diperlihatkan bagaimana anak dari Gubernur menjadi penghubung antara si pemilik bisnis ini dengan gubernur. Bahkan juga, masuk dalam struktur pemenangan tim lebah pasangan Nurdin – Sudirman pada Pilgub lalu,” ungkap Merah Johansyah, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), pada 24 Juli 2020
Selain itu, temuan lain Koalisi Nasional Selamatkan Laut Indonesia menunjukkan dalam proses pemberian izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), salah satunya adalah PT Banteng Laut Indonesia (BLI) dinilai sangat kilat. Dari pengesahan atau persetujuan kerangka acuan ke izin lingkungan itu kurang lebih waktu pembahasannya hanya 48 hari dan tidak melibatkan masyarakat lokal Kodingareng.
Setelah mempelajari Amdal dan dokumen perizinannya PT Banteng Laut Indonesia terbilang sangat cepat. Perusahaan didirikan tanggal 28 Mei 2019, disahkan oleh Kemenhumham 28 Mei 2019, lalu bulan Desember 2019 itu sudah dapat izin usaha pertambangan.
“Silsilahnya itu, dapat izin lokasi 31 Juli, tanggal 1 Agustus dapat IUP. 7 Agustus dapat izin usaha pertambangan eksplorasi, 29 Oktober dapat persetujuan kerangka acuan, lalu 6 Desember dapat izin lingkungan. Begitu sangat cepat prosesnya. Dibandingkan dengan amdal-amdal yang lain. Kenapa PT. Banteng Laut Indonesia diterbitkan izin lingkungannya begitu kilat dan cepat?” kata Muhammad Al-Amin, Direktur Esksekutif WALHI Sulsel.
Data WALHI Sulsel menemukan, dari 12 izin tambang di wilayah tangkap nelayan, 4 diantaranya berstatus produksi. Dan dua perusahaan yakni PT Banteng Laut Indonesia dan PT Nugraha Indonesia Timur ini yang dilaporkan oleh Koalisi Selamatkan Laut Indonesia karena diduga rangkap jabatan. Sebagaimana yang diatur dalam UU No.5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan atau Persaingan Usaha Tidak Sehat.
“Dua izin itu yakni PT Banteng Laut Indonesia dan PT Nugraha Indonesia Timur. Direksi dua perusahaan itu dimiliki oleh orang yang sama berikut komisaris dan pemilik sahamnya pun juga sama. Makanya setelah kami telusuri siapa orang-orang itu, ternyata memang mantan tim sukses Nurdin Abdullah,” terang Al-Amin.
Selain itu, tender lokasi pengerukan pasir untuk proyek Makassar New Port (MNP) oleh PT Pelindo IV dengan memilih PT Banteng Laut Indonesia diduga bermasalah.
Menanggapi dugaan itu, PT Pelindo IV melalui DVP Corcom & Secretariat Anna Maryani mengatakan sebelum lokasi penambangan ditetapkan oleh pemerintah sudah melalui proses kajian yang mendalam, apakah tidak merusak lingkungan seperti terumbu karang dan lain sebagainya.
Menurut Anna, lokasi menambangan pasir yang dilakukan PT Boskalis sudah sesuai dengan penetapan zonasi dalam Perda No.2/2019 tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (ZWP3K) Provinsi Sulawesi Selatan. Penambangan juga telah memiliki Amdal yang mensyarakatkan mitigasi dampak penambangan.
“Kalaupun ada dampak atau masalah yang ditimbulkan pada nelayan, kami sungguh minta maaf. Namun sekali lagi kami sampaikan, penambangan pasir tidak pernah keluar dari lokasi yang telah ditentukan. Karena lokasi itu sebelumnya telah melalui berbagai kajian para ahli dari lingkungan hidup dan pemerintah,” ujar Anna melalui Whatshapp, Sabtu 3 Oktober 2020.
Tidak Melanggar Aturan
Sebelumnya, Kepala Bidang Mineral dan Batubara (Minerba) Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sulsel, Djemi Abdullah, pada 4 Juli 2020 menjelaskan bahwa Boskalis adalah perusahaan yang bergerak di bidang penimbunan yang dikontrak oleh Pelindo IV untuk pembangunan MNP, tidak terkait dengan perizinan tambang.
“Karena ia (Boskalis) tak memiliki lokasi tambang mereka membeli di perusahaan lokal yang ada di Takalar. Saya belum tahu persis izin apa yang dimiliki namun yang pasti dia ada kontrak dengan Pelindo,” katanya.
Menurutnya, sejumlah perusahaan pemegang IUP tempat Boskalis ‘membeli’ pasir ini beroperasi di wilayah yang telah ditetapkan oleh Perda RZWP3K dan telah memenuhi syarat untuk melakukan penambangan.
“Selama ini tidak ada yang terlanggarkan Boskalis dalam operasionalnya karena bagi kami yang tak boleh adalah membeli barang tambang dari tempat yang tidak berizin, sementara Boskalis membeli barang dari tempat yang berizin. Kalau dia beli dari tempat tak berizin maka berat pidananya. Yang kami kejar memenuhi ketentuan adalah pemegang IUP bukan Bioskalis-nya,” jelas Djemi.
Sedangkan dalam beberapa siaran pers, Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah bersikukuh menyatakan, penambangan pasir di pesisir Selat Makassar itu sudah memenuhi prosedural dan tak melanggar. Bahkan, katanya, tak merusak lingkungan.
Polemik tambang pasir laut di wilayah tangkap nelayan di kepulauan Spermonde Makassar masih berlanjut. Desakan dari masyarakat terutama nelayan Pulau Kodingareng maupun masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Nasional Selamatkan Laut Indonesia untuk menghentikan izin dan aktivitas tambang pasir juga masih terus dilakukan.
Warga Pulau Kodingareng yang mayoritas bekerja sebagai nelayan terus mengalami masalah ekonomi. Hasil tangkapan yang terus menurun, bahkan menghilang. Hal ini membuat hutangnya menumpuk hingga puluhan juta.
“Hutang saya sudah mencapai Rp20-an juta. Maka dari itu, Gubernur harusnya peka dengan masalah yang dialami para nelayan di Pulau Kodingareng. Kami pun meminta Bapak Nurdin Abdullah tidak mengorbankan para nelayan, dan menghentikan penambangan pasir laut di wilayah tangkap nelayan,” harap Rizal, salah satu nelayan Pulau Kodingareng.
*Nurdin Amir. Jurnalis Lontar.id Sulawesi Selatan. Artikel ini didukung oleh Mongabay Indonesia