Mongabay.co.id

Antimikroba Itu Bermanfaat atau Berbahaya untuk Perikanan Budi daya?

 

Penggunaan antimikroba yang sembarangan dalam produksi perikanan budi daya, dinilai berbahaya karena bisa menyebabkan kematian pada komoditas yang sedang dikembangkan. Obat yang bertujuan untuk menghentikan infeksi, justru menjadi resisten jika tidak tepat penggunaannya.

Antimikroba sendiri adalah obat yang di dalamnya terdapat berbagai organisme seperti virus, bakteri (bios/biotik), jamur, dan protozon atau parasit. Kandungan di dalam antimikroba tersebut penting karena bisa menjadi obat untuk mengobati infeksi pada komoditas perikanan.

Mengingat pentingnya antimikroba untuk mengobati infeksi pada komoditas perikanan yang diakibatkan serangan organisme jahat, maka penggunaannya menjadi penting untuk dilakukan oleh para pembudi daya ikan. Namun, antimikroba yang akan digunakan juga harus dalam jumlah yang tepat.

Direktur Jenderal Perikanan Budi daya Kementerian Kelautan dan Perikanan (DJPB KKP) Slamet Soebjakto menjelaskan, penggunaan antimikroba dalam budi daya perikanan sudah sering dilakukan para pembudidaya ikan, karena dalam proses produksi sering terkendala dengan penyakit infeksius.

Namun demekian dia mengingatkan, penggunaan antimikroba pada produksi perikanan budi daya untuk komoditas air payau, air tawar, dan air laut harus dilakukan dengan bijak dan pemakaian dengan cara yang tepat. Hal itu, agar tidak timbul resisten terhadap penggunaan antimikroba.

Resistensi antimikroba sendiri tidak lain adalah ketidakmampuan antimikroba untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroba dan mengakibatkan antimikroba tidak bisa menghentikan infeksi pada komoditas perikanan. Penyebab timbulnya resistensi, karena penggunaan antimikroba yang tidak tepat atau berlebihan.

Slamet mengakui, penggunaan antimikroba secara berlebihan akan mempercepat laju resisten bakteri menjadi kebal terhadap antibiotik. Resiko tersebut akan muncul dan terus bertambah, ketika penggunaan antimikroba secara tidak tepat terus berlanjut.

“Resistensi antimikroba merupakan salah satu permasalahan global yang perlu mendapat perhatian serius baik pada bidang kesehatan manusia, hewan maupun perikanan,” jelas dia belum lama ini di Jakarta.

baca :  Probiotik, Pencegah Penyakit dan Pendorong Produksi Perikanan Budi daya

 

Pengujian antimikroba dalam penggunaanya untuk perikanan budi daya. Foto : KKP

 

Khusus untuk perikanan, pengaturan tentang resistensi antimikroba telah diatur oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) dalam Aquatic Animal Health Code 2014, terutama pada Bab 6. Menyusul kemudian, Pemerintah Indonesia menerbitkan regulasi yang sama tentang resistensi.

Menurut Slamet, regulasi tersebut muncul setelah Presiden RI mengeluarkan instruksi tentang pengendalian antimikroba kepada Menteri Kelautan dan Perikanan melalui Instruksi Presiden RI Nomor 4 Tahun 2019.

Setelah itu, Menteri KP menerbitkan Peraturan Menteri KP RI Nomor 1 Tahun 2019 tentang Obat Ikan, dengan antimikroba meliputi eritomisin, enrofloksasin, klortetrasiklin, oksitetrasiklin, dan tetasiklin. Permen tersebut secara detail mengatur penggunaan antimikroba yang diperbolehkan di Indonesia.

 

Pengobatan Infeksi

Walau dia menyadari bahwa penggunaan antimikroba yang berlebihan akan memicu munculnya resistensi, namun penggunaan yang tepat justru akan menjadi langkah yang bagus untuk pengobatan infeksi karena mikroba.

“Penggunaan antimikroba tidak menjadi masalah apabila digunakan secara tepat sesuai dengan jenis bakteri yang menginfeksi, dosis dan sesuai dengan mekanisme kerja antibakteri tersebut,” terang dia.

Slamet mengungkapkan, pentingnya mempelajari resistensi penggunaan antimikroba, karena sampai sekarang subsektor perikanan budi daya masih menjadi tulang punggung ketahanan pangan dan pemulihan ekonomi nasional.

Dengan status tersebut, dia tidak ingin produksi perikanan budi daya menjadi terganggu hanya karena ada penyakit infeksius yang menyerang komoditas perikanan. Untuk itu, harus ada formula penanganan penyakit yang tepat agar tidak terus meningkat resiko resistensi antimikroba.

baca : Produksi Perikanan Budidaya untuk Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim

 

Pengujian antimikroba dalam penggunaanya untuk perikanan budi daya. Foto : KKP

 

Sedangkan Direktur Kawasan dan Kesehatan Ikan KKP Tinggal Hermawan pada kesempatan yang sama mengatakan, pengendalian resistensi antimikroba menjadi upaya yang penting untuk memastikan seluruh produk akuakultur, khususnya komoditas ikan konsumsi bisa memenuhi prinsip keamanan pangan.

“Sehingga bisa menjamin kesehatan masyarakat,” jelas dia.

Menurut dia, penggunaan antimikroba yang menyimpang dan berlebihan, baik pada bidang kedokteran dan produksi pangan, menjadi resiko bagi seluruh bangsa di dunia. Agar resiko tidak semakin tinggi, Pemerintah Indonesia menyusun rencana aksi nasional (RAN) penanganan resistensi antimikroba 2020-2024.

Pengendalian antimikroba tersebut dikoordinasikan oleh Kementerian Kesehatan dengan melibatkan KKP, Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

“Rencana aksi nasional tahun 2020-2024 ini merupakan kelanjutan rencana aksi nasional sebelumnya,” tutur dia.

Dengan adanya RAN, maka itu juga menjadi bentuk kesepahaman, dan keselarasan dalam meningkatkan pemahaman serta kewaspadaan terhadap resistensi antimikroba. Dari situ, maka langkah berikut yang bisa dilakukan adalah melakukan pembaruan petunjuk teknis (Juknis) surveilans resistensi antimikroba.

Kemudian, juga ada pembaruan metode uji resistensi antimikroba, khususnya pada bidang perikanan budi daya. Oleh karena itu, penguatan metode komunikasi yang dibangun antar petugas laboratorium harus ditingkatkan lagi.

“Khususnya dalam melaksanakan surveilan dan monitoring penggunaan antimikroba, atau resisten antimikroba dan pengujiannya,” tambah dia.

baca juga : Teknologi Digital Mulai Digunakan untuk Perikanan Budidaya Nasional

 

Ilustrasi. Seorang pekerja tengah memberikan makanan ikan di keramba jaring apung yang ada di Danau Toba. Foto: Ayat S karokaro/Mongabay Indonesia

 

Pengendalian Resistensi

Dalam penilaian Tinggal Hermawan, penguatan jejaring antar laboratorium kesehatan ikan dan lingkungan untuk saat ini sangatlah diperlukan. Langkah tersebut dilakukan untuk meningkatkan kapasitas laboratorium yang ada di daerah sampai pusat.

“Dan sekaligus meningkatkan koordinasi agar dapat lebih bersinergi dalam melakukan kegiatan surveilan dan monitoring tersebut,” sebut dia.

Konsultan Nasional Organisasi Pangan dan Agrikultur Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) Mukti Sri Hastuti menjelaskan bahwa dalam mengendalikan resistensi antimikroba diperlukan sinergi dengan semua pihak yang berkaitan. Hal itu, agar tercipta kesinambungan untuk proses pengendalian resistensi.

Selain itu, dengan adanya pelatihan tentang pengendalian resistensi antimikroba, itu akan menghasilkan panduan teknik bagi petugas yang bekerja di laboratorium dan juga sekaligus menghasilkan data sebagai gambaran valid kegiatan surveilan dan monitoring resistensi antimikroba.

“Semua diharapkan akan mempunyai persepsi yang sama pengambilan sampel, preparasi sampel, pengujian dan pembacaan data hasil pengujian,” tegas dia.

Sementara Kepala Loka Pemeriksaan Penyakit Ikan dan Lingkungan (LP2IL) Serang Yayan Sofyan berharap, kemampuan sumber daya manusia (SDM) dan metode uji untuk resistensi antimikroba akan sama antar laboratorium lintas UPT DJPB. Dengan demikian, akan dihasilkan uji yang sama dan menjadi data nasional.

“Kami mengharapkan dukungan dari semua pihak agar agenda panjang untuk memerangi resistensi antimikroba ini dapat dilaksanakan dan memberikan hasil yang baik,” ucap dia.

Dengan adanya standar yang sama, diharapkan penanganan penyakit pada perikanan budi daya bisa dilakukan dengan lebih baik dan benar. Tak lupa, penanganan yang dilakukan tidak menimbulkan resiko terjadinya resistensi antimikroba.

perlu dibaca : Tantangan Perikanan Budi daya sebagai Masa Depan Perikanan Dunia

 

Ilustrasi. Pekerja sedang memanen ikan nila dari budidaya keramba jaring apung di Danau Toba, Sumut. Tingkat produksi ikan nila dipengaruhi salah satunya oleh pakan ikan yang baik. Foto : Ariefsyah Nasution/WWF Indonesia/Mongabay Indonesia

 

Peneliti Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan Kementerian Pertanian RI Maria Fatima Palupi menjelaskan, resistensi antimikroba menjadi permasalahan serius yang sedang dihadapi dunia saat ini. Pada 2013 saja, ada 700 ribu jiwa angka kematian akibat infeksi bakteri yang resisten antimikroba.

Pada 2050, ancaman tersebut akan semakin nyata karena bisa menghentikan nyawa 10 juta jiwa setiap tahun. Untuk itu, perlu penanganan dan pengendalian resistensi antimikroba dari sejak sekarang. Jika tidak, maka kematian 10 juta jiwa akan menjadi nyata.

“Itu melebihi angka kematian akibat kanker, serta kerugian ekonomi kurang lebih 10 triliun dolar AS setiap tahunnya,” tambah dia.

 

Exit mobile version