Mongabay.co.id

Sayur Mayur Organik Desa Kopeng Naik Daun di Masa Pandemi

 

 

 

 

Ada lebih lima perempuan berkumpul di sebuah bangunan di Desa Kopeng, pagi itu. Mereka menerima sayuran datang, mengemas dan mengelompokkan dalam bak sesuai label. Mereka yang hilir mudik dalam ruangan itu sedang menyiapkan pesanan pelanggan dari Sayuran Organik Merbabu (SOM).

SOM, merupakan usaha budidaya dan pemasaran sayuran organik di Dusun Sidomukti, Desa Kopeng, Kecamatan Getasan, Semarang, Jawa Tengah, berdiri sejak 2014.

Baca juga: Para Pertani Organik dari Lereng Merbabu

Petani muda, Shofyan Adi Cahyono, sebagai pendiri. Pria 25 tahun ini awal membentuk SOM untuk mendistribusikan hasil pertanian sang ayah, Suwadi. Kemudian usaha terus berkembang dengan memasarkan hasil panen para petani mitra atau kelompok tani.

Mudrika, petani organik di Dusun Sidomukti, Desa Kopeng, Kecamatan Getasan, merasakan gejolak harga saat pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) masuk Indonesia, Maret lalu. Harga sayur mayur jatuh, dan pasar tutup. Petani tidak memanen lahan mereka.

”Harga seledri waktu itu jatuh, ga laku, cuma Rp500 per kilogram kalau dijual di pasar pas awal pandemi. Padahal, biasa Rp10.000 per kilogram,” katanya. Dia menanam seledri dan brokoli.

Kondisi itu, terjadi saat awal pandemi. Kala itu, penjualan sayur mayur ke supermarket, restoran, hotel dan katering sempat terhenti karena ada kebijakan pembatasan wilayah.

Shofyan mengamini itu. Dia bilang, banyak tempat menyetop pesanan.

Tak putus asa, Shofyan terus memasarkan melalui media sosial. Selang satu bulan, pemesanan melonjak terutama dari perorangan.

“Permintaan melonjak hingga tiga kali lipat saat pandemi. Karena sistem delievery order. Banyak yang tidak bisa berpergian dan menjaga jarak, dan pemesanan melalui online.”

Pemesanan banyak oleh ibu rumah tangga kelas menengah ke atas dan anak muda yang gaya hidup sehat dan melek teknologi. Konsumen model ini mayoritas mengetahui dari akun sosial media.

 

Hamparan sayur mayur organik. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Kondisi ini pun memberikan angin segar bagi Mudrika dan kelompok tani untuk tetap mendapatkan harga stabil.

Akhirnya, setelah lesu awal pandemi, Mudrika, satu dari banyak petani organik di Lereng Merbabu, pun tetap mendapatkan keuntungan di tengah masa pandemi.

Mayoritas warga di Kopeng sebagai petani. Mereka menanam berbagai jenis tanaman pertanian hortikultura organik.

“Lahan pertanian bagi kami sumber penghidupan dan mata pencarian,” kata Shofyan, juga pendiri Kelompok Tani Citra Muda di Desa Sidomukti.

Dia dan keluarga lain di Kopeng, secara turun-temurun bertani. “Tinggalan simbah, warisan simbah pun ada, kalau sampai beralih profesi dan kamu beralih ke kota, piye nasib tanah-tanah simbah?”

Sebenarnya, petani bukan jadi cita-cita awal Shofyan. Seiring waktu berjalan, dia begitu menikmati jadi petani. Pada 2013, dia memutuskan kuliah di Fakultas Pertanian dan Bisnis, Universitas Kristen Satya Wacana. Kini lanjut pendidikan pascasarjana pada fakultas yang sama.

“Pertanian itu ternyata bisa menghasilkan jika ada manajemen baik, konsisten dan menciptakan pasar,” katanya.

Dia beruntung mengenyam pendidikan pertanian secara formal, banyak ilmu yang bisa langsung dibagikan dan jalankan dalam pengembangan pertanian organik ke depan.

Di usia terbilang muda, Shofyan bisa memberikan sentuhan baru bagi pertanian organik di desanya. Tahun 2014, proposal bisnis kewirausahaan pertanian menjadi titik awal lewat Pre Order (PO) Sayuran Merbabu Organik.

Dia membuat terobosan dalam pemasaran hasil produksi pertanian organik dari lahan milik orangtuanya. Tujuan awal Shofyan, ingin menjual produk tani organik ayahnya dengan harga pantas. Awalnya, luasan lahan sekitar 7.000 meter persegi dan meningkat jadi 1,5 hektar pada 2015.

Inovasi yang dia lakukan dalam mendekatkan hasil pertanian organik kepada para konsumen melalui sosial media. Mulai dari Facebook, Twitter, Instagram, BBM dan Line.

Setelah bertahun-tahun berjalan, langkah ini diakui mampu meningkatkan permintaan dan memperluas skala distribusi.

Pada 2019, penjualan hasil tani SOM rata-rata 6-7 ton per bulan, sekarang 15 ton per bulan. Omset bulanan SOM rata-rata mencapai Rp 300 juta.

 

 

Berkelompok

Awal pendirian, SOM sempat kalang kabut memenuhi kebutuhan pelanggan. Sampai akhirnya SOM memiliki mitra petani dan membentuk Kelompok Tani Citra Muda. Awalnya, ada 27 anggota, kini sudah 30, dengan usia berkisar 19-39 tahun.

Kelompok Tani Citra Muda ini mengajak petani muda turut serta beralih jadi petani organik. Biasa, mereka masih bertani konvensional karena lahan warisan orangtua mayoritas masih pakai pupuk pestisida.

Berdasarkan data Dinas Pertanian Semarang, ada 20 kelompok tani kini jadi petani organik dan semi organik di Kecamatan Getasan. Dengan anggota 445 orang, luas lahan 50,77 hektar dan sudah tersertifikasi organik. Sedangkan 83,27 hektar sudah menerapkan pertanian organik namun belum bersertifikasi organik.

Pemasaran berkelompok jadi salah satu kata kunci dalam pertanian organik. Dengan mengawinkan pertanian dan teknologi informasi, langkah ini dianggap jitu bagi SOM dalam memberikan informasi dan pemahaman kepada konsumen untuk turut serta mengonsumsi produk organik.

“Pertanian organik ini pertanian masa depan, tidak hanya dari segi rasa yang enak tapi juga sehat,” kata Shofyan.

Para petani di Kopeng, dengan wilayah di Lereng Merbabu kebanyakan mereka tergabung dalam kelompok tani. Tak hanya petani sayuran organik, mereka pun bersinergi dengan peternak di wilayah itu untuk pemenuhan pupuk organik.

Dalam kelompok tani, terbagi dalam on farm dan off farm. On farm, terbagi dari pembibitan, pembuatan pupuk, pengolahan lahan, perawatan hingga pemanenan. Sedangkan off farm, antara lain, pengemasan dan pemasaran hasil pertanian.

Pertanian organik juga memberikan peluang lapangan pekerjaan di desa. Awalnya, SOM hanya ada dua tenaga kerja, kini 15 orang, dengan 10 orang bagian off farm, dan lima orang on farm.

Jumlah itu, katanya, belum termasuk agen dan kurir yang tersebar di 20 kota, seperti Semarang, Magelang, Jogja, Solo, Salatiga, Purwodadi, Temanggung, Wonosobo, Purworejo, Kebumen, Purwokerto, Cilacap, Bekasi, Tangerang, Cikarang, dan Depok. Juga di Kalimantan Selatan, Surabaya, Gresik, dan Sidoarjo.

Dalam penggunaan lahan, katanya, pertanian organik juga membuka lapangan kerja padat karya. Ia memerlukan tenaga kerja lebih banyak dua sampai tiga kali lipat dibandingkan pertanian konvensional. “Semua proses secara mandiri dan bersama-sama.”

Yogyakarta dan Semarang, katanya, merupakan pasar paling tinggi, masing-masing 100-500 kg per hari dan 200-300 kg per hari. Untuk wilayah Jabodetabek sekitar 200 kg per minggu.

Prihatini, pekerja di SOM bergabung sejak Mei 2020 setelah perusahaan tempat dia bekerja merumahkan karyawan pada masa pandemi. “Ini kesempatan untuk belajar, dengan kerja keras dan ketelatenan mas Shofyan bisa menjadi teladan.”

 

Permintaan sayuran organik meningkat di masa pandemi. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Akses pasar dan sertifikasi

Hingga kini, kata Shofyan, penyerapan pasar sayuran organik ini baru 40%, masih ada peluang sekitar 60% untuk perluasan pemasaran, baik dalam maupun luar negeri.

“Jika semua terserap, saya berharap bisa merekrut orang untuk ikut berkecimpung dan menjadi mitra petani dalam menciptakan lapangan kerja baru yang ramah lingkungan,” katanya.

Suwalim, penyuluh pertanian Kecamatan Getasan mengatakan, pertanian organik di Lereng Merbabu mayoritas belum terserap 100%, baru sekitar 20-25%, sisanya ke pasar umum.

“Ini jadi tantangan karena belum terserap maksimal. Kepastian pasar ini jadi daya tarik tersendiri dan memungkinkan peluang itu makin terbuka lebar.”

Saat ini, kata Shofyan, keperluan terpenting mereka, bagaimana petani organik memiliki akses pasar untuk bisa menyerap hasil tani. Mereka juga perlu akses permodalan.

“Karena petani harus memiliki modal besar di awal karena perlu menunggu beberapa waktu agar sayuran bisa panen.”

Dia bilang, ada petani yang mendapatkan program sertifikasi dari pemerintah di awal, namun sangat berat saat resertifikasi. Salah satu faktor, katanya, belum ada kesiapan pasar yang menerima hasil tani.

Harapan Shofyan, biaya sertifikasi lebih murah bahkan perlu ada subsidi pemerintah.

“Jika berbiaya lebih murah, akan menarik banyak petani berubah ke organik.”

 

 

Keterangan foto utama:  Mudrika, petani seledri Desa Sidomukti merasakan keuntungan bertani organik di masa pandemi. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Petani sedang menyemai bibit untuk pertanian organik. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia
Sayur mayur organik. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version