Mongabay.co.id

Waspada Semeru dan Merapi

Kepulan lahar panas mengalir ke Sungai Besuk Koboan, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Foto: Tangkapan layar Yputube Kabupaten Lumajang)

 

 

 

 

Aliran Sungai Besuk Koboan, Desa Dusun Sumber Sari, Desa Supit Urang, Kecamatan Candi Puro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, mengalir deras. Air bercampur material vulkanis panas menghantam eksavator pengeruk pasir di aliran lahar dari kawah Jonggring Saloka, Gunung Semeru di ketinggian 3.676 meter di atas permukaan laut (m.dpl). Asap mengepul, menandakan air dalam kondisi panas.

“Lahar panas masih terasa dari sini,” kata Bupati Lumajang, Thoriqul Haq dalam video Youtube kanal Kabupaten Lumajang, Selasa 1 Desember 2020.

Thoriq mengunjungi desa terdampak lelehan lava pijar Gunung Semeru bersama Wakil Bupati Lumajang, Kapolres Lumajang dan Komandan Kodim Lumajang.

Video berdurasi 3.40 menit ini memperlihatkan rumah dan perabot rumah tangga berselimut abu vulkanis. Sejumlah warga menyapu dan membersihkan abu vulkanis. Sebagian mereka evakuasi ke daerah lebih aman menyusul aliran lahar dari Semeru berhimpitan dengan perkampungan peduduk. Kalau hujan, katanya, berbahaya karena akan meluber ke permukiman.

“Kalau tidak dikendalikan bisa mengenai kampung. Untuk itu, prioritas anak anak dan manula dievakuasi ke tempat aman,” kata Thoriq. Dia juga memantau pos pengamatan Semeru di Gunung Sawur.

Dia mendapat penjelasan dari Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi yang menunjukkan catatan seismograf Semeru.

 

Mengungsi

Di laman BPBD Lumajang diungah keterangan tertulis melaporkan kalau masyarakat di kawasan rawan bencana Kamar A, Curah Koboan dan Rowobaung di Kecamatan Pronojiwo, mengungsi mandiri. Mereka menghindari bencana awan panas dan letusan yang terjadi sejak pukul 01.23 WIB.

Tim Reaksi Cepat (TRC) Penanggulangan Bencana BPBD Lumajang memberangkatkan satu tim dengan tenda, alat pertolongan dan bahan makanan. Jumlah pengungsi sementara sekitar 500 orang, tersebar di beberapa titik.

 

Bupati Lumajang Thoriqul Haq diberi penjelasan kondisi Gunung Semeru oleh petugas PVMBG. Foto : Tangkapan layar Yputube Kabupaten Lumajang)

 

Di pos pendakian Ranupani, Kecamatan Senduro, Lumajang tampak lengang. Tak ada pendakian setelah otorita Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BBTNBS) menutup jalur pendakian sejak 30 November. Penutupan sesuai rekomendasi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) karena aktivitas vulkanik Semeru meningkat.

Petugas BBTNBTS terus berkoordinasi dengan PGA, BPBD untuk memantau kondisi dan perkembangan terutama dinamika Semeru. Sebanyak 35 personil bisa dimobilisasi bersama unsur relawan untuk mendukung siaga bencana gunung api. “Personil bersiaga, siap bergerak jika sewaktu-waktu dibutuhkan,” kata Sarif Hidayat, juru bicara BBTNBTS, kepada Mongabay.

 

***

Aktivitas Semeru pada Level II. Erupsi menghasilkan aliran lava ke arah lereng selatan dan tenggara dan lontaran batuan pijar di sekitar kawah puncak sejak 26 November 2020.

Rekaman seismograf mencatat dua kali gempa guguran, tiga kali gempa hembusan sekali gempa vulkanik dangkal dan satu kali gempa tektonik jauh. Aktivitas vulkanik Semeru terus terjadi di pos pengamatan Gunung api Semeru di Gunung Sawur Dusun Kajar Kuning, Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro. Awan panas guguran jarak luncur 2.000 meter ke arah Besuk Koboan terekam di siesmograf.

Pada 1 Desember 2020 pukul 01.23 WIB teramati guguran lava pijar dari ujung lidah lava sejauh 1.000 meter ke arah Besuk Koboan. Pukul 02.00 WIB, teramati awan panas guguran jarak luncur 3.000 meter arah Besuk Koboan.

Sismograf merekam lahar gempa berlangsung sampai batas aman hingga 4.000 meter. Masyarakat diimbau waspada menghadapi Semeru.

 

Guguran lava pijar dari kawah Jonggring Saloka, Gunung Semeru. Foto : BBTNBTS

 

Adi Susilo, Ahli Geologi Universitas Brawijaya mengatakan, kalau kawah Jonggring Saloka Semeru setiap hari mengeluarkan letusan sekitar 50 kali. Materail vulkanik menumpuk di puncak, lantas terjadi longsor hingga menimbulkan lahar atau lelehan lava pijar ke bawah.

Letusan mengeluarkan material vulkanik. Kawah dalam kondisi terbuka sejak 1990-an. “Biasa itu. Justru berbahaya kalau tak meletus karena ada sumbatan. Energinya tertahan,” katanya.

Profesor juga Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Brawijaya ini mengatakan, letusan kali ini terbesar sepanjang 30 tahun terakhir. Pada 2 Februari 1994. terbentuk kubah lava dengan lidah lava 500 meter, letusan sembilan kali dengan ketinggian 500 meter.

“Empat gunung erupsi hampir bersamaaan Gunung Merapi, Sinabung, Lewotolok dan Semeru. Di bawah, lava itu saling berhubungan.”

Letusan Semeru turut memberi anugerah karena menghasilkan material vulkanik berupa bebatuan dan pasir kualitas tinggi.

Untuk mitigasi bencana, masyarakat diminta menjauh dari daerah aliran lahar yang terbentuk secara alamiah menuju laut selatan. Masyarakat juga diminta mengikuti petunjuk BPBD. “Jangan panik, menjauh dari aliran lahar,” katanya.

 

Magma Merapi

Di Yogyakarta, Gunung Merapi pun bergejolak. Magma makin mendekati puncak. Letusan dahsyat Merapi pernah tercatat pada 1872. Pada 2010, Merapi meletus untuk kesekian kali dengan indeks erupsi tertinggi level 4. Sejak awal November, Merapi ‘muntah’ lagi.

Pada pengamatan Sabtu, 28 November lalu dari Pos Pengamatan Babadan, terdengar suara guguran enam kali, dengan intensitas lemah hinga keras. Dari segi kegempaan, terjadi gempa vulkanik dangkal 37 kali, gempa fase banyak 410 kali, gempa hembusan 77 kali, dan gempa guguran 39 kali.

Agus Budi Santoso, Kepala Seksi Gunung Merapi Badan Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) mengatakan, kegempaan dalam kondisi tinggi, sejak penetapan status siaga 5 November lalu.

“Sesmisitas VTB (gempa vulkanik dangkal, volcanotectonic type B) dan MP (fase banyak, multiphase) cukup tinggi, melampaui apa yang terjadi pada 2006, namun lebih rendah dari 2010,” katanya.

 

Kawasan rawan bencana di Sleman. Foto: Nuswantoro/Mongabay Indonesia

 

Untuk deformasi, katanya, masih terjadi pemekaran puncak. Pemantauan sejak Juni, terjadi pemekaran sekitar empat meter.

Dia bilang, migrasi magma dari dalam perut Merapi makin dekat menuju permukaan. Meski begitu, kalau terjadi erupsi tak serta merta menimbulkan bahaya bagi penduduk.

Untuk erupsi efusif, ancaman bahaya ditentukan dari kubah lava hingga masih perlu mengikuti perkembangan kubah lava yang terbentuk.

Erupsi efusif adalah letusan yang menghasilkan magma encer, sedikit gas, yang keluar dari perut bumi, kemudian mengalir ke lereng gunung.

Indonesia terletak dalam Cincin Api Pasifik atau yang dikenal dengan ring of fire, berbentuk seperti tapal kuda. Sekurang-kurangnya ada 127 gunung berapi mengurung Indonesia, yang menghadirkan sejumlah ancaman sekaligus keberkahan.

Ada 4,5 juta penduduk bermukim di kawasan rawan gunung api di Indonesia, dan 40,9 juta penduduk tinggal di wilayah rawan gerakan tanah.

 

 

***

Pada 5 November 2010 dini hari, atau pas 10 tahun lalu Merapi meletus dengan memuntahkan material vulkanik jutaan meter kubik. Data BNPB menyebut, suara gemuruh terdengar hingga sejauh 50 km, letusan melontarkan batu, kerikil, dan pasir.

Dilaporkan debu letusan Merapi sampai ke Bogor. Sebanyak 400.000 orang terpaksa mengungsi, 3.000 rumah rusak, 2.000 penerbangan dibatalkan, kerugian material mencapai Rp3,5 triliun. Sementara korban jiwa mencapai 398 orang.

“Erupsi Merapi pada 2010 merupakan yang besar. Indeks erupsi mencapai 4, yang tertinggi untuk erupsi gunung berapi. Erupsi dengan indeks 4 sebelumnya terjadi pada 1872. Erupsi 2010 menjadi peristiwa sangat penting dalam sejarah pengelolaan bencana gunung api,” kata Hanik Humaida, Kepala BPPTKG.

Saat itu, katanya, tata kelola kebencanaan nasional belum lama terbentuk. Meski sudah ada UU Penanggulangan Bencana pada 2007, namun banyak lembaga belum terbentuk di daerah seperti BPBD. Sementara dampak bencana, dan pengungsi sangat besar, memerlukan kerja sama multipihak.

“Erupsi 2010 jadi pembalajaran sangat berarti dalam pengelolaan bencana gunung api, baik sisi data teknis yaitu interpretasi, prediksi, dan peringatan dini maupun penyampaian informasi kepada yang berkepentingan,” katanya dalam pembukaan peringatan satu dasawarsa erupsi Merapi, Oktober lalu.

Menurut dia, aktivitas Merapi pada 2020 sangat berbeda dibanding 2010, dan erupsi 2006. Kali ini, Merapi mengalami erupsi sangat panjang, mulai Mei 2018. Erupsi didominasi gas, bersifat eksplosif, namun indeks eksplosivitas rendah.

“Dari data menunjukkan waktu erupsi makin dekat. Diperkirakan erupsi tidak sebesar 2010, dan cenderung mengikuti perilaku erupsi 2006.”

Menurut dia, erupsi Merapi adalah keniscayaan. Masyarakat sekitar Merapi, kataya, sudah beradaptasi. Mereka bisa hidup harmonis dengan Merapi dan tak sekadar sebagai slogan, tetapi sudah jadi bagian dari pola hidup masyarakat dekat Merapi.

Erupsi Merapi pada 2010 tercatat merupakan terbesar dalam 100 tahun terakhir. Kala itu, erupsi terjadi eksplosif, dengan semburan awan panas terus menerus sejak 26 Oktober hingga 2 November 2010. Ketinggian kolom awan panas letusan saat itu mencapai 17 km, dan menerjang di permukaan sejauh 15 km dari puncak.

Dampak lontaran pasir dan debu, katanya, kawasan dalam radius 30 berwarna kelabu, tak terkecuali Kota Yogyakarta.

Setidaknya, ada lima tipe erupsi pernah terjadi di Merapi sejak 1768.

Agus Budi Santoso dalam diskusi daring mengatakan, lima tipe itu adalah tipe erupsi freatik, vulkanian, Merapi murni, Merapi eksplosif, dan subplinian. Tipe terakhir pada 2010 juga pernah terjadi pada 1872.

Tipe erupsi Merapi adalah pembentukan awan panas karena kubah lava runtuh. “Kemiripan erupsi 1872 dan 2010, keduanya memiliki skala VEI 4 merupakan skala tertinggi. Jangkauan awan panas lebih 15 kilometer, proses erupsi terjadi disertai eksplosif besar, hingga terbentuk kawah cukup dalam,” kata doktor lulusan Universite de Savoie, Prancis ini.

Pada erupsi 2010 terbentuk kawah lebar sekitar 350 meter kali 400 meter, dengan kedalaman 150 meter. Pada erupsi 1872 membentuk kawah lebih dalam yaitu 170 meter, dengan lebar kawah 480 x 600 meter. Kronologi aktivitas pascaerupsi 2010 dan 1872 juga memiliki kemiripan.

 

Petugas sedang memantau aktivitas Merapi di kantor BPPTKG, Yogyakarta.. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Setelah erupsi besar 1872, terjadi letusan eksplosif, yang pada pascaerupsi 2010 disebut letusan freatik. Setelah itu terjadi ekstrusi magma.

“Berdasarkan kronologi yang mirip ini diduga episode ini akan berlanjut pada ekstrusi magma kedua, seperti yang terjadi lima tahun setelah ekstrusi pertama pada 1883.”

Merapi mengeluarkan awan panas pada Januari dan September 2019, dan letusan eksplosif pada September 2019 dan Juni 2020.

Perbandingan itu, katanya, bisa menjadi panduan bagaimana skenario penyusunan kontigensi pemerintah daerah sekitar Merapi. Merapi berada di wilayah empat kabupaten yaitu Sleman, Magelang, Boyolali, dan Klaten.

“Data pemantauan menunjukkan ada migrasi magma menuju permukaan, indikator menunjuk status waspada, ketika akan menentuan status siaga maka kondisi mirip pada 2006.”

Sejak 5 November lalu, status Merapi ditingkatkan dari waspada menjadi siaga. Prakiraan daerah bahaya meliputi Sleman wilayah Kecamatan Cangkringan Desa Glagaharjo, Kepuharjo, dan Umbulharjo. Untuk Magelang di Kecamatan Dukun Desa Ngargomulyo, Krinjing, Paten.

Di Boyolali di Kecamatan Selo pada Desa Tlogolele, Klalah, dan Jrakah. Untuk Klaten di Kecamatan Kemalang, tepatnya, Desa Tegal Mulyo, Sidorejo, dan Balerante.

Dengan peningkatan status itu, penambangan material di alur sungai yang berhulu ke Merapi agar direkomendasikan setop. Pelaku wisata diminta menghentikan wisata di Kawasan Rawan Bencana III. Kawasan ini paling dekat dengan sumber bahaya Merapi, yaitu yang berpotensi terlanda awan panas, aliran lava, guguran batu dan lontaran material panas serta debu vulkanik pekat.

Dari pemantauan citra satelit optik dan radar diketahui, awan panas (piroklastik) atau masyarakat lokal menyebut sebagai wedhus gembel sebagian besar mengalir ke Kali Gendol-Opak di sisi selatan Merapi. Jarak maksimum ditempuh awan panas ini mencapai 16,5 km. Luas terdampak awan panas dan jatuhan tephra atau abu vulkanik sekitar 26 kilometer persegi.

Akhmad Solikhin dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi ESDM mengatakan, Kali Gendol masih jadi jalur utama awan panas atau material vulkanik yang berupa aliran di masa-masa mendatang.

Asep Saepuloh, pakar remote sensing untuk gunung api dari ITB juga menerangkan keunggulan pemakaian radar untuk mengidentifikasi letusan Merapi. Data radar memiliki kelebihan kalau di daerah tropis, antara lain bisa menembus vegetasi rendah hingga memiliki keunggulan dalam akurasi.

Agung Harijoko, Kepala Pusat Studi Bencana UGM, berbicara mengenai magmatisme merapi. Magmatisme di Jawa, katanya, terbentuk karena subduksi lempeng Indo-Australia di bawah lempeng Eurasia di sebelah selatan pulau Jawa dengan kecepatan sekitar 6,7 cm per tahun.

Mengutip penelitian dari Gertisser dan kawan-kawan (2012), kata Agung, evolusi Merapi mulai sejak kehadiran Gunung Bibi 109.000 tahun lalu, Gunung Turgo 138.000 tahun lalu, dan Plawangan 135.000 tahun lalu. Fase ini dinamakan Proto-Merapi.

Selanjutnya Merapi tua, ditandai dengan ada daerah bernama Somma Merapi di sekitar puncak Merapi 30.000 tahun lalu (termuda adalah 4.800 tahun lalu), setelah itu muncul Merapi muda yang aktif hingga sekarang.

 

Jarak Jauh      

Pemantauan aktivitas Merapi secara visual kini diperkuat peralatan elektronik. Untuk Merapi ada lima pos pengamatan, dengan masing-masing dijaga tiga sampai empat petugas. Mereka setiap hari memantau gunung Merapi, antra lain, mengamati visual Merapi seperti kolom asap, titik api, alterasi, lava pijar, awan panas, maupun perubahan morfologi.

“Saat ini, di Merapi terdapat 35 stasiun kamera, termasuk sembilan stasiun DSLR dan dia kamera thermal tersebar di sekitar Merapi, termasuk di Merbabu. Foto diambil secara otomatis dan reguler, setting 15 menit sekali,” kata Agus.

Drone juga dipakai dalam pengamatan Merapi. Dengan teknologi ini bisa diambil foto dengan perspektif yang tepat sesuai keinginan. Umumnya, untuk kawasan yang tidak terjangkau oleh pengamat saat turun langsung. Dengan drone ini pengamatan tidak perlu mendatangi tempat-tempat yang berbahaya.

“Dengan drone bisa diperoleh perhitungan volume lava yang akurat karena bisa didapat data secara tiga dimensi.”

 

 

Keterangan foto utara: Kepulan lahar panas mengalir ke Sungai Besuk Koboan, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Foto: Tangkapan layar Yputube Kabupaten Lumajang

Exit mobile version