Mongabay.co.id

World Soil Day: Agroekologi untuk Kelola Tanah yang Sehat

 

Hari Tanah Sedunia [World Soil Day] kita peringati setiap 5 Desember. Tema yang diangkat pada perayaan tahun 2020 ini, sebagaimana dikutip dari Food and Agriculture Organization [FAO] adalah “Keep soil alive, Protect soil biodiversity.”

Tanah merupakan fondasi penting bagi pertanian, sekaligus tempat tanaman pangan tumbuh. Menjaga tanah senantiasa sehat, tentunya kita ikut menjamin ketersediaan pasokan makanan secara berkelanjutan.

Tanah yang sehat memasok nutrisi-nutrisi penting, air dan oksigen bagi tanaman penghasil makanan, agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Dilihat dari komposisi secara umum, tanah terdiri dari 45 persen mineral, 25 persen air, 25 persen udara, dan 5 persen bahan organik.

Soil Science Society of America mendefinisikan tanah sebagai mineral yang tidak terkonsolidasi atau bahan organik di permukaan Bumi. Fungsinya, sebagai media alami untuk pertumbuhan tanaman darat.

Merujuk Soil Taxonomy, yang dikeluarkan United States Department of Agriculture [USDA], tanah adalah suatu benda alami yang terdiri dari padatan [mineral dan bahan organik], cairan, serta gas yang terdapat di permukaan Bumi dan menempati ruang.

Baca: Keadilan Agraria dan Krisis Regenerasi Petani: Dua Tantangan Besar di Hari Tani

 

Warga menyiapkan lahan untuk pembenihan bibit sayuran di Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Ketahanan pangan bergantung pada kemampuan kita dalam memanfaatkan lahan secara berkelanjutan. Foto: Djoko Subinarto

 

Agroekologi

Berdasarkan catatan Food and Agriculture Organization [FAO], dalam 50 tahun terakhir, kemajuan teknologi pertanian telah menyebabkan lompatan besar dalam produksi bahan pangan, untuk menopang ketahanan pangan dunia. Di banyak negara, produksi tanaman intensif justru menguras tanah, yang pada gilirannya dapat membahayakan kemampuan memproduksi bahan pangan di masa depan.

Dengan populasi manusia di dunia, diproyeksikan lebih 9 miliar pada 2050, diperparah persaingan dalam pemanfaatan sumber daya tanah dan air serta dampak perubahan iklim, ketahanan pangan di masa mendatang akan sangat bergantung pada kemampuan kita dalam meningkatkan hasil dan kualitas pangan. Juga, dalam hal memanfaatkan tanah.

Satu cara penting untuk mewujudkan tanah yang sehat adalah dengan mempraktikkan apa yang diistilahkan sebagai agroekologi.

Secara sederhana, agroekologi dimaknai sebagai seperangkat sistem maupun praktik pertanian dan ekologi. Ini mencakup pertanian lestari [permakultur], pertanian regeneratif, pertanian organik, hutan pangan, serta cara-cara inovatif bercocok-tanam. Tentunya, dengan tetap memelihara dan menjaga keanekaragaman hayati serta mencegah kerusakan ekologis.

Agroekologi lebih menekankan pada kelestarian alam, bukan pada profit, sebagaimana lazimnya dipraktikkan pada industri pertanian konvensional. Sebagai ilustrasi, agroekologi memilih meningkatkan kualitas tanah melalui pendekatan keanekaragaman hayati dan biomassa yang tersedia, ketimbang menggunakan bahan kimia, yang cepat atau lambat bakal merusak lingkungan.

Bukan rahasia lagi, sistem pertanian berbasis industri-korporasi selama ini telah menimbulkan kerusakan lingkungan secara massif, serta terganggunya kesehatan dan pola mata pencaharian masyarakat.

Baca: Pandemi, Krisis Pangan, dan Kearifan Lokal Dewi Tapa

 

Petani mengolah lahan di kawasan Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Diversifikasi bahan pangan diperlukan untuk memastikan kedaulatan pangan dan terpenuhinya gizi. Foto: Djoko Subinarto

 

Acuan agroekologi

Ada sepuluh prinsip pokok sebagai sandaran dan acuan pelaksanaan agroekologi.

Pertama, keanekaragaman pangan. Diversifikasi bahan pangan mutlak diperlukan untuk memastikan kedaulatan dan keamanan pangan serta pemenuhan gizi. Tentunya, dengan tetap melindungi, meningkatkan, dan melestarikan sumber daya alam kita.

Kedua, solusi individu dan kelompok. Banyak pengetahuan dan sains, termasuk kearifan lokal nenek moyang kita terkait pertanian, yang dapat merespon tantangan pertanian saat ini. Solusi, semestinya terfokus pada cara individu dan kelompok, yang disesuaikan konteks tertentu. Bukan dengan meresepkan satu formula untuk semua individu maupun kelompok.

Ketiga, sinergi. Interaksi berbeda perlu dibangun antara tanaman, ternak, tanah, air, pohon, dan bagian lain lahan. Tentunya, dengan mempertimbangkan kemanfaatan secara maksimal guna mendukung produksi bahan pangan dan keanekaragaman hayati.

Keempat, efisiensi. Meski agroekologi lebih mementingkan aspek ekosistem dan lingkungan, bukan berarti tidak bisa seproduktif pertanian konvensional. Penerapannya tetap menggunakan beragam inovasi untuk menghasilkan produk lebih banyak, sembari menggunakan lebih sedikit sumber daya eksternal. Dengan begitu, tercipta efisiensi.

Kelima, sistem daur ulang. Agroekologi menghasilkan lebih sedikit limbah lantaran mengedepankan sistem daur ulang, sehingga biaya lingkungan dan ekonomi jauh lebih rendah. Hal ini mengurangi limbah dan polusi, baik pada skala pertanian kecil maupun besar.

Baca juga: Bumi Krisis Keanekaragaman Hayati

 

Warga Cireundeu, CImahi, Jawa Barat, mengangkut hasil panen saat prosesi acara Ngemban Taun. Kampung Cireundeu kini dijuluki sebagai Dewi Tapa alias Desa Wisata Ketahanan Pangan. Foto: Djoko Subinarto

 

Keenam, ketahanan. Penerapan agroekologi mampu membuat ekosistem, kelompok masyarakat dan individu menjadi lebih tangguh dalam menghadapi serangan hama, penyakit, maupun bencana alam.

Ketujuh, nilai kemanusiaan dan sosial. Tidak seperti pertanian konvensional yang berorientasi profit, agroekologi berfokus pada nilai-nilai kemanusiaan dan sosial. Agroekologi senantiasa berupaya meningkatkan kehidupan masyarakat, sekaligus melindungi mata pencaharian mereka. Kesejahteraan sosial dan kesetaraan diperlukan demi menciptakan sistem pertanian dan produksi pangan berkelanjutan.

Kedelapan, menjaga budaya dan tradisi makanan. Agroekologi berupaya memelihara budaya dan warisan terkait tradisi makanan masyarakat, sehingga upaya mengejar ketercukupan pangan tidak sampai menimbulkan bencana.

Kesembilan, tata kelola bertanggung jawab. Agar pertanian berkelanjutan berfungsi baik, diperlukan tata kelola di semua level, mulai dari lokal, nasional, regional, hingga global. Tata kelola pemerintahannya mesti inklusif, transparan, dan akuntabel. Dengan demikian, bukan hanya menciptakan lingkungan yang mendukung praktik agroekologi, tetapi juga membantu menciptakan akses yang adil ke sumber daya alam serta lahan.

Kesepuluh, membangun solidaritas dan ekonomi sirkular. Agroekologi berupaya menghubungkan kembali konsumen dan produsen dengan cara memastikan sistem pertanian yang inklusif dan berkelanjutan. Pada saat yang sama, mendukung pula pasar dan pembangunan ekonomi lokal sehingga uang tetap beredar di masyarakat. Dengan begitu, diharapkan dapat membantu mengurangi limbah pangan global karena rantai makanan dan transaksi antara produsen dan konsumen dipersingkat.

Berbagai kajian menunjukkan, dengan bersandar pada prinsip-prinsip agroekologi, kita bukan hanya menjamin kesehatan tanah yang mendukung pertanian berkelanjutan.

Lebih dari itu, ketahanan ekologi juga meningkat, kesehatan dan gizi masyarakat melalui pola makan variatif tercukupi, keanekaragaman hayati dan sumber daya alam terjaga, bahkan tercipta stabilitas ekonomi dengan sumber pendapatan lebih beragam.

 

*Djoko Subinarto, kolumnis dan bloger, tinggal di Bandung, Jawa Barat. Tulisan ini opini penulis. 

 

Rujukan:

Anastasia Pantsioa. 2014. 7 Reasons Healthy Soil is Vital to Human Life on Earth.

FAO Fact Sheet. 2015. Healthy Soils are the Basis for Healthy Food Production.

Manuel Gonzales de Molina. 2015. Agroecology and Politics: On the Importance of Public Policies in Europe.

NN. 2020. What is Agroecology? An In-Depth Guide.

NN. Tanpa tahun. Agroecology: Resilient & Productive.

NN. Tanpa tahun. What is Soil?

Soil Survey Staff. 1999. Soil Taxonomy: A Basic System of Soil Classification for Making and Interpreting Soil Surveys.

 

 

Exit mobile version