Mongabay.co.id

Cerita dari Kampung: Kembali ke Pangan Lokal, Dorong Produk dari Alam

 

 

 

 

Keringat Muhammad Abdurahman, mengucur deras siang itu. Petani sagu usia 65 tahun ini terus mengayunkan ngongalo (alat pemukul sagu). Sesekali dia mengambil napas. Kembali dia ayunkan lagi alat yang terbuat dari bambu dan kayu itu.

Setelah oro (batang sagu yang telah dipangkur) terkumpul lumayan banyak, dipukul- pukul lagi agar lebih halus. Lalu oro masukkan ke karung dan dibawa ke tempat peremasan yang disebut goti.

Goti di dekat sumber air untuk menyaring dan meremas oro jadi tepung sagu. Kalau tepung sagu jadi, diangkat dan letakkan dalam wadah sagu yang terbuat dari daun sagu dinamakan roba, dikenal dengan tumang. Orang Maluku Utara mengenalnya dengan sagu tumang. Kemudian, sagu tumang dibawa pulang untuk konsumsi sebagai pangan utama.

Cara memangkur sagu atau pukul sagu dengan alat tradisional ini tak lagi digunakan seiring perkembagan zaman. Kini, beralih ke mesin. “Bagi kita mengolah sagu gunakan mesin dan alat tradisional memiliki cita rasa berbeda. Alat tradisional itu sagu lebih gurih dibanding mesin,” kata Muhammad.

Dia bilang, agak berat dan melelahkan tetapi rasa sagu jauh berbeda. Saat mereka pukul sagu secara tradisional, hingga mengeluarkan sari pati tepung lebih halus. Menurut dia, lebih enak makan sagu dipukul secara tradisional, dibanding pakai mesin.

Praktik seperti Muhammad ini bagian dari mengolah sagu juga ditampilkan dalam gelaran Festival Kampung Pulau dan Pesisir yang diinisiasi Perkumpulan PakaTiva 27-30 Oktober lalu, di beberapa desa di Halmahera Selatan, Maluku Utara. Desa-desa yang menggelar festival itu adalah Gane Dalam, Samo, Posi-posi, dan Gumira (Kecamatan Gane Barat) dan Desa Pasir Putih (Kecamatan Kayoa).

Festival ini memiliki tujuan, mengangkat tradisi lokal yang perlahan mulai tergerus zaman. Ia juga jadi upaya menggali kembali ragam pangan lokal yang perlahan mulai ditinggalkan karena makin masif konsumsi beras. Pangan lokal macam sagu, pisang dan ubi-ubian mulai tergantikan.

Melalui festival ini, warga menampilkan hasil produk olahan dari kebun atau hasil hutan non kayu.

“Menginisiasi festival ini sebagai bagian dari mendorong warga tetap tradisi mereka baik seni budaya maupun upaya mengkonsumsi pangan lokal seperti sagu, pisang, maupun ubi-ubian,” kata Hamzah Ata Falilat, Koordinator Festival Kampung Desa Samo Gane Barat Utara.

 

Para perempuan yang membuat pangan lokal dari bahan-bahan di kampung sendiri. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Festival ini, katanya, tidak sekadar seremoni belaka, tetapi ingin mengembalikan ingatan warga yang perlahan   mulai meninggalkan beragam tradisi menanam hingga mengkonsumsi beragam pangan local.

Dia contohkan, ada penganan dari olahan tepung sagu kini tidak lagi dibuat warga seperti sinyole. Dulunya, mereka jadikan sebagai makanan saat makan usai bekerja di kebun maupun ladang.

“Kita menampilkan dan minta warga membuat sinyole dan dihidangkan dalam festival ini, karena ingin mengingatkan kembali agar tidak meninggalkan makanan yang dikonsumsi turun temurun di Maluku Utara.”

Sinyole , katanya, hampir 30 tahun tak dibuat lagi oleh warga Desa Samo. Padahal membuatnya terbilang tidak rumit.

“Cara pembuatan sangat mudah dan sederhana,” kata Jumra, perempuan Desa Samo.

Dia jelaskan, tepung sagu kering masuk dalam wajan kemudian campur daging kelapa yang telah diparut. Campuran sagu dan kelapa ini disangrai, tetap bolak balik dengan spatula agar tak gosong atau hangus.

Sekitar 30 menit, sagu dan kelapa menyatu dan membentuk bulatan bulatan kecil yang siap dihidangkan. Sinyole bisa dimakan dan disiram kuah ikan atau sayur. Ia bisa juga jadi camilan sambil minum teh.

“Makanan ini juga terbilang tahan berhari-hari. Jika sudah dingin makin enak dimakan,” kata Jumra.

Makanan lokal berbahan sagu ini sangat beragam. Di Kampung Samo, warga membuat kokomane. Tepung sagu agak basah dibuat bulat pipih lalu bungkus daun sagu kemudian dibakar. Ada juga boko-boko, yakni tepung sagu masukkan ke ruas–ruas bambu yang dipotong kemudian dibakar. Paling umum , warga membuat sagu lempengan yang dibakar pakai forno.

Penganan dari sagu ini ada yang sangat jarang dibuat dan dikonsumsi warga. Padahal, ragam jenis makanan ini dulu selalu ada di meja makan sebelum masuk ‘berasisasi.’

“Itu baru penganan berbahan dasar sagu. Belum lagi penganan dari pangan lokal lain dari biji-bijian seperti jagung dan padi ladang atau jenis ubi-ubian seperti singkong dan ketela rambat. Banyak pangan lokal di desa ini,” kata Sagaf, warga Desa Samo.

 

Proses pembuatan tepung sagu. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Tanam sendiri

Pangan lokal mulai tergerus karena masuk pangan dari luar terutama beras dan jagung. Untuk beras, misal, sangat sulit dapat dari ladang warga yang menanam tanpa pupuk dan pestisida.

Beras datang berton-ton ke desa dari luar Maluku Utara. Rusli Hi Aba, Tokoh Masyarakat Desa Samo mengatakan, di Desa Samo, dalam sebulan warga mengkonsumsi beras sampai 6,64 ton. Angka ini, katanya, dihitung dari kebutuhan penduduk setiap bulan sebanyak 40 kilogram dikalikan 166 keluarga di Desa Samo. “Artinya, sangat besar beras dari luar masuk ke desa ini.”

Mantan kepala desa ini bilang, sebenarnya mereka bisa penuhi beras dengan berladang. Saat ini, melalui pendampingan Perkumpulan PakaTiva warga mulai menanam kembali padi ladang. Padi ladang terakhir tanam tahun 90- an.

“Sudah sekitar 25 tahun warga tak lagi menanam padi ladang. Hadirnya lembaga ini sudah ada 12 keluarga mulai mengembangkan lagi. Mereka sudah bisa memenuhi kebutuhan hidup dari beras,” katanya.

Pada Festival Kampung ini, ditampilkan juga cara warga mengolah padi ladang jadi beras dengan cara ditumbuk pakai lesung atau alu. Ia merupakan tradisi mengolah pangan nenek moyang dulu.

“Orangtua kami dulu tidak pernah membeli beras. Mereka menanam padi ladang untuk kebutuhan sehari-hari. Kini, seiring perkembangan zaman warga meninggalkan tradisi ini, lebih senang beli dari luar,” kata Rusli.

Sudin Hamanur, warga Desa Samo setahun dua kali menanam padi ladang dan tak lagi membeli beras. Padi ladang mulai dia tanam dengan usia panen enam bulan. “Saya sudah tidak beli beras di toko dalam setahun ini karena sudah menanam padi. Panen pertama sudah menghasilkan beras 200 kilogram, tanam kedua 300 kilogram. Beras dari kebun turut dinikmati tetangga dan keluarga,” katanya.

Di Desa Posi-posi juga sama. Warga menampilkan tradisi gulingan gucila atau menggiling jagung sebagai pengganti beras. Warga mengggiling jagung pipilan dari kebun mereka dengan alat penggiling tradisional terbuat dari batu.

Alat penggiling jagung di desa ini terbilang hampir punah karena sudah jarang ada alat menggiling jagung. Dulu, warga gunakan alat sederhana ini untuk melengkapi kebutuhan sehari-hari.

Sebelum warga mengenal mesin, mereka pakai alat sederhana dari batu. Alat ini terdiri atas dua susun batu-giling, bagian atas diberi kayu untuk tuas, kemudian diputar dengan tangan. Ia ada lubang kecil tempat memasukkan butir-butir jagung. Perputaran bagian atas jadikan butir-butir jagung tergiling. Alat ini akan menghasilkan potongan kecil jagung.

Kearifan lokal gulingan gucila atau mengolah   biji jagung ini biasa dilakukan kaum perempuan. Dalam acara khusus, perempuan akan kenakan kebaya kutubaru dan bedak dingin yang dibuat sendiri saat menggiling jagung.

Masuria Waisaloma, warga Posi-posi mengatakan, alat menggiling jagung itu warisan leluhurnya. Dia terus jaga dan simpan hingga kini. “Tradisi gulingan gucila ini dilakukan apabila ada acara di kampung,” katanya.

Senada dikatakan Norma Lesi, juga warga Posi-posi. Perempuan 60 tahun ini menambahkan, ada dua tahap menggiling jagung. Tahap pertama, giling lalu diayak agar terpisah dari bongkol. Tahap selanjutnya, giling ulang hingga halus.

“Yang sudah digiling bisa kita gunakan untuk buat kue, bubur jagung atau dicampur beras lalu dimasak.”

Dia bilang, dulu saat menggiling jagung warga melantunkan seni manika atau togal, moro-moro atau habo. Lagu daerah ini mengingatkan tentang kedamaian kehidupan di kampung. Ini nyanyian khas Suku Makean, biasa saling berbalas pantun.

Di Desa Pasir Putih, Pulau Kayoa, Halmahera Selatan, warga membuat makanan sagu lempeng dari singkong. Orang Maluku Utara mengenaln dengan sagu kasbi (singkong). Sagu kasbi di Maluku Utara terbanyak dari Pulau Kayoa. Warga Malut biasa sebut sagu Kayoa.

Proses pembuatan sederhana. Singkong dari kebun dikupas, cuci bersih lalu parut. Kemudian peras dan keringkan airnya. Setelah air kering biasa ditumbuk lagi pakai lesung dan alu.

Tepung singkong lalu ayak dan masukkan dalam forno atau alat pembakar   sagu dari gerabah. Setelah beberapa menit, lempengan sagu telah matang dan siap dihidangkan.

Sagu kayoa adalah pangan lokal turun temurun yang masih bertahan. Sagu kasbi bahkan jadi produk unggulan masyarakat Kayoa dan Malut.

“Sudah tidak tahu sejak kapan nenek moyang kami memproduksi sagu kasbi ini. Ini pangan yang dilestarikan masyarakat secara turun temurun,” kata Bomber Ibrahim, Koordinator Festival Kampung Pesisir Desa Pasir Putih.

 

Minyak kelapa murni atau virgin coconut oil bikinan warga. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Dalam festival ini, ibu-ibu Desa Pasir Putih bikin sagu Kayoa sebagai bagain dari upaya melestarikan pangan lokal daerah ini. Sagu kasbi tahan setahun. Ia bisa jadi persediaan pangan jangka panjang.

Bagi orang Kayoa, sagu kasbi tak hanya pangan lokal tetapi sumber kehidupan mereka. Banyak orang Kayoa memenuhi kebutuhan rumah tangga dengan berjualan sagu kasbi.

Faisal Ratuela, Direktur Perkumpulan PakaTiva mengatakan, mereka usaha menampilkan contoh baik yang perlu terus digaungkan agar memotivasi warga dalam memenuhi kebutuhan pangan.

Dengan cara ini , katanya, warga akan memanfaatkan pangan dari lahan mereka sendiri bukan beli di toko atau dari luar.

Desa-desa yang mengikuti festival kampung ini, katanya, menampilkan tradisi mengolah pangan sebagai contoh keragaman sumber.

 

Produk dari alam

Pada festival ini terlihat puluhan galon minyak kelapa kampung. Ada juga minyak kelapa murni atau virgin cocanut oil (VCO), gula aren padat dan cair. Ini produk-produk olahan warga Desa Samo, Kecamatan Gane Barat. Begitu juga warga Desa Gumira dan Gane Dalam.

Minyak kelapa dan VCO merupakan bikinan kelompok usaha ibu-ibu di tiga desa ini. Mereka memanfaatkan kelapa yang melimpah di kampung-kampung untuk bikin minyak.

Di Samo, Gumira dan Gane Dalam produksi minyak kelapa tidak hanya buat konsumsi warga tetapi menjadi usaha rumah tangga. Selain hasil turunan kelapa, warga juga membuat beragam kerajinan dengan bahan dari alam.

Di Gane Dalam, ibu-ibu tidak hanya membuat tikar, nampan, maupun saloi (alat angkut barang yang dipakai perempuan). Mereka juga mengolah pisang jadi keripik. Beragam produk warga ini sudah jual ke luar kempung termasuk sampai ke Ternate.

“Produksi warga ini kita tampung dan jual ke jaringan-jaringan Walhi di Ternate,” kata Fahrizal Dirham, Direktur Kampanye Walhi Malut.

 

Proses membuat sa dengan cara tradisional. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia
Sinyole, makanan dari sagu yang lama tak dibikin warga. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version