Mongabay.co.id

Jawa Terus Bangun PLTU, Tersandera Pembangkit Batubara?

 

 

 

 

Sepasang suami istri bersama puluhan kambing berjalan memasuki gerbang Eco Park Suralaya, di Cilegon, Banten. Di seberang Eco Park, cerobong-cerobong PLTU batubara Suralaya mengeluarkan asap.

Setiap hari, Subur dan istrinya, melewati Eco Park yang dibangun PT Indonesia Power UP Suralaya. Ini bagian yang masih bisa dilintasi di tengah Kelurahan Suralaya, kini di kelilingi tujuh unit PLTU.

Kakek 70 tahun ini tak tahu kalau ada terbangun lagi dua PLTU baru lagi di kampungnya, PLTU Jawa 9 dan 10.

Nggak tahu, saya kan bukan orang proyek,” katanya.

Beberapa ratus meter dari Eco Park, suasana sekitar PLTU sedang tegang. Pertengahan September itu beredar kabar akan ada aksi penolakan pembangunan PLTU baru. Lokasinya, di bekas pantai Kelapa Tujuh yang sebelumnya jadi andalan sebagian warga Suralaya untuk mencari nafkah. Kini, pantai sudah kena reklamasi.

“Di sini situasinya lagi emergency. Nanti juga tahu sendiri,” kata seorang warga.

Hari itu tak ada aksi. Seorang warga yang semula hendak ikut aksi, mengatakan didatangi orang yang mengenalkan diri sebagai intel. Dia merujuk pada intelijen polisi. Mereka bilang, dalam situasi pandemi tak diizinkan ada aksi. Kalau berkeras ‘sanksi COVID’ siap menanti.

“Kita tak mau ambil risiko. Kalau risiko ditahan, jelas. Ini ‘sanksi COVID’ maksudnya gimana?” kata seorang pendamping warga.

Aksi akhirnya berlangsung tiga minggu kemudian. Awal Oktober, beberapa warga dari Suralaya, Salira dan Lebak Gede membentangkan berbagai spanduk.

“Stop PLTU Jawa 9 dan 10.” “Masyarakat butuh nasi bukan polusi.” “Selamatkan PLN jangan perbanyak utang. ”

Begitu antara lain bunyi spanduk aksi. Mereka aksi di seberang Komplek PLTU.

PLTU Jawa 9 dan 10 berkapasitas 2×1.000 megawatt akan dibangun di Pantai Kelapa Tujuh, Suralaya, Cilegon, Banten. PLTU ini termasuk mega proyek 35.000 megawatt yang dicetuskan Presiden Joko Widodo pada 2015.

PLTU baru ini akan dibangun oleh anak perusahaan PLN, Indonesia Power lewat PT Indo Raya Tenaga dengan 51% kepemilikan, bekerja sama dengan Barito Pacific Group dan Kepco, perusahaan listrik Korea Selatan dengan 49% saham.

Hingga kini, sudah ada tujuh PLTU di Suralaya. Satu lagi PLTU Jawa 7 ada di Kelurahan Bojonegara. Total delapan PLTU Suralaya dengan kapasitas 4.025 megawatt.

“PLTU Suralaya sudah cukup. Lahan pertanian, sumber air, tergerus. Kesehatan masyarakat terganggu,” kata Edi Suriani, warga Suralaya saat aksi.

Jumani, warga Suralaya yang kini tinggal di desa tetangga, Lebak Gede, juga menolak rencana pembangunan dua PLTU baru di kampungnya.

Dia pernah menjadi Ketua RW. Dia tahu ada rencana pembuangan limbah PLTU baru di Lebak Gede. Menurut dia, limbah akan dibuang tak jauh dari rumahnya dan pemukiman warga.

Jumani sempat menanyakan ini ke perwakilan Indonesia Power saat pertemuan dengan warga pada 2019. Jawaban yang dia terima, belum ada kepastian soal pembuangan limbah.

PLTU baru diklaim akan dibangun dengan teknologi lebih efisien, gunakan teknologi ultra super critical (USC).

Tak puas dengan jawaban itu, Jumani memutuskan ikut aksi bersama warga lain yang menolak kampung mereka jadi pusat pembangunan pembangkit listrik dari energi kotor ini.

“Listrik di sini sudah aman. Untuk siapa lagi? Mau dikirim kemana? Masa listriknya dikirim kemana-mana kami cuma dapat asap dan debunya,” kata Jumani.

Pertanyaan Jumani adalah pertanyaan jamak dilontarkan masyarakat sekitar PLTU terutama di Jawa dan Bali. Tanpa tahu listrik yang dihasilkan pembangkit untuk siapa, masyarakat yang tinggal berdampingan dengan PLTU mengeluhkan polusi debu dan asap hasil pembakaran batubara. Limbah yang dibuang ke laut, sawah dan kebun yang hilang berganti cerobong, tanaman sekitar gagal tumbuh, kesempatan kerja minim serta gesekan antara warga pro dan kontra pembangunan pembangkit.

 

Batubara, sumber andalan energi Indonesia  Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Gugatan Walhi

Belakangan, November lalu, Walhi menggugat izin lingkungan PLTU Jawa 9 dan 10 yang terbit 2017 ke PTUN Serang, Banten.

Izin lingkungan dinilai gagal memperkirakan dampak terhadap kualitas udara dan gangguan kesehatan masyarakat, dampak kualitas air laut dan risiko kerusakan akibat tsunami.

Sesuai dengan peraturan baru Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 15/2019 tentang baku mutu emisi pembangkit listrik tenaga termal yang mengatur emisi SO2, NOx, PM dan merkuri lebih ketat.

Data Trend Asia 2020 menyebut setidaknya ada 21 PLTU di Banten. Kota Cilegon juga punya banyak industri dan pabrik yang menyebabkan polusi udara. Kualitas udara buruk menyebabkan kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) tinggi di Kota Cilegon.

Dinas Kesehatan Cilegon mencatat, sejak 2018-Mei 2020 terdapat 118.184 kasus ISPA di Kota Cilegon.

Menurut Ronald Siahaan, kuasa hukum Walhi, tak ada akses bagi masyarakat terhadap izin lingkungan PLTU yang baru. “Tanpa ada pengumuman, masyarakat akan kehilangan suara memperjuangkan hak dalam pembangunan PLTU Jawa 9 dan .”

 

Jerat PLTU

Empat tahun sebelumnya, pada 2016, sekitar 120 kilometer dari Suralaya, di Hotel Mulia Senayan, Jakarta terjadi pertemuan antara mantan Direktur PLN Sofyan Basir dengan mantan Wakil Ketua DPR RI Komisi VII Eni Maulani Saragih dan Johanes Budisutrisno Kotjo. pengusaha batubara.

Kotjo merupakan pemegang saham Blakcgold Natural Resources atau BNR, Ltd. BNR punya anak perusahaan bernama PT Samantaka Batubara yang bergerak di usaha tambang batubara.

Pertemuan itu adalah pertemuan lanjutan atas surat permintaan PT Samantaka kepada PLN untuk ikut dalam proyek ketenagalistrikan. Sebelumnya tiga orang ini pernah bertemu di rumah mantan Ketua DPR Setya Novanto, sebelum Setya terjerat kasus korupsi KTP elektronik. Karena surat permohonan untuk ikut proyek ketenagalistrikan tak direspon PLN, Kotjo inisiatif mendekati Setya Novanto, yang kemudian mengenalkannya dengan Eni dan Sofyan.

Dalam pertemuan itu Sofyan Basir meminta Kotjo untuk ikut proyek di Riau.

“Ya sudah kamu di Riau saja, jangan mikirin di Jawa karena sudah melebihi kapasitas,” kata Sofyan kala itu.

Kotjo menuruti saran Sofyan. Singkat cerita, PLTU mulut tambang Riau I masuk dalam rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2017-2026. Sebagai imbalan jasa, Kotjo memberi uang kepada beberapa orang yang telah memuluskan lobinya untuk mendapat proyek, termasuk Eni.

Pada Juli 2018, dalam proses penyerahan uang suap, Eni ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain Eni, KPK juga menangkap mantan Menteri Sosial Idrus Marham yang saat itu juga menjabat sebagai Sekjen Partai Golkar.

Sebelumnya, Indrus pernah meminta Eni mencari uang untuk keperluan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar.

 

Kapal nelayan dekat PLTU Suralaya. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Eni mendapat Rp4,5 miliar dan vonis 6 tahun. Kotjo vonis 4,5 tahun karena memberi suap. Idrus mendapat Rp2,2 miliar dan vonis 3 tahun. Menurut Eni sebagian uang suap memang digunakan untuk Munaslub Golkar.

Sofyan Basir, meski sempat proses hukum, namun dibebaskan karena tak terbukti menerima suap. Kasus ditutup.

Saran Sofyan kepada Kotjo meninggalkan pertanyaan. Setahun setelah kasus ini putus, pemerintah tetap membangun PLTU baru untuk masuk sistem Jawa-Bali, salah satunya, PLTU Jawa 9 dan 10.

Kalau Jawa, seperti disebut Sofyan sudah kelebihan kapasitas, mengapa pemerintah tetap membangun PLTU baru yang akan mengunci PLN dalam kontrak 25-30 tahun?

Kelebihan kapasitas sering juga disebut reserve margin atau over supply. Semula ia adalah cadangan listrik untuk memastikan listrik tetap andal untuk pelanggan. Belakangan perencanaan berdasarkan kalkulasi yang salah menyebabkan cadangan listrik membengkak.

Program 35.000 megawatt disusun dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi lebih tinggi yakni 8,3%. Kenyataan pertumbuhan hanya 6,9%. Akibatnya pembangkit yang dibangun tak sesuai kebutuhan listrik. Listrik tak terserap.

Catatan PLN, hingga November 2020, dampak pandemi COVID-19 membuat sistem Jawa Bali over supply 46,6%. Di Sumatera bahkan sudah 55% dan Sulawesi 58%. Sementara di Kalimantan 42%.

Di Sumatera kapasitas terpasang naik 14,7 gigawatt dari sebelumnya 14,3 gigawatt. Di Kalimantan juga naik dari 4 gigawatt menjadi 4,4 gigawatt. Sulawesi tetap 5,6 gigawatt. Jawa-Bali-Nusa Tenggara juga naik dari 44,4 gigawatt menjadi 44,8 gigawatt.

Pada akhir 2019, total kapasitas pembangkit terpasang nasional 62.832 megawatt dengan 43.856 antara lain berada di bawah PLN dan anak perusahaannya. Sebagian besar, 30.368 megawatt (69,24%) berada di Jawa. Hingga Juni 2020 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat kapasitas naik 1,3 gigawatt, sehingga kapasital total menjadi 71 gigawatt.

Merujuk RUPTL 2019-2028, porsi PLTU batubara masih dominan dan besar bahkan hingga 10 tahun mendatang. Sebanyak 62,7 % kebutuhan listrik, atau sekitar 27 gigawatt, dipenuhi dari PLTU batubara.

Dengan argumen menggunakan batubara bersih, pemerintah terus mempertahankan batubara di daerah yang sudah over supply. Sementara energi terbarukan yang menjadi tren global dalam transisi energi, akan difokuskan pada wilayah yang masih kekurangan listrik seperti Indonesia timur.

“Kita punya banyak potensi batubara,” kata Direktur Mega Proyek PT PLN Ikhsan Asaad.

Menurut Ikhsan salah satu pertimbangannya, kondisi keuangan PLN. PLTU dinilai lebih murah dan stabil. Energi terbarukan dianggap lebih mahal dan tak andal. PLN juga sedang mengalami krisis keuangan yang menyebabkan hutang PLN membengkak.

Hindun Mulaika, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace punya pandangan lain soal over supply.

Over supply menjadi besar karena PLTU menggunakan sistem take or pay,” kata Hindun.

Take or pay yang dimaksud Hindun merujuk pada sistem pembayaran PLN kepada penyedia listrik swasta (Independent Power Producer /IPP). Sistem memandatkan PLN untuk membeli hampir seluruh listrik dari PLTU dalam jangka waktu antara 25-30 tahun sesuai dengan Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) atau Power Purchase Agreement (PPA).

Sistem ini juga yang kemudian menjadi beban ganda untuk keuangan PLN karena PLN tetap harus membayar listrik dari PLTU baik terserap maupun tidak. Pembayaran juga dilakukan dengan USD, bukan rupiah.

Ongkos membangun PLTU juga tak sedikit. Operasional PLTU yang menggunakan batubara dengan harga mengikuti harga pasar praktis berdampak pada keuangan PLN.

Laporan statistik PLN mencatat utang PLN pada 2019 mencapai Rp655 triliun. Kuartal pertama 2020 naik menjadi Rp694 triliun.

Zulkifli Zaini, Direktur PLN mengatakan utang sebagian besar untuk membangun infrastruktur program 35.000 megawatt. Rata-rata Rp100 triliun pinjaman untuk membangun pembangkit. Sisanya, untuk jaringan dan distribusi. Lebih dari separuh pembangkit dalam proyek 35.000 megawatt adalah PLTU.

Pertengahan tahun ini, PLN kembali menerbitkan laporan keuangan untuk mendapatkan utang baru. Kuartal tiga 2020 PLN juga tercatat rugi Rp12,14 triliun.

Menariknya, laporan keuangan yang diterbitkan oleh Lembaga Akuntan Amir Abadi Jusuf, Aryanto, Mawar dan rekan pada Juli 2020, menyebut take or pay sebagai sewa pembiayaan, dimana PLN mengambil hampir seluruh listrik dan energi yang dihasilkan pembangkit.

 

Emas hitam batubara. Foto: Hendar

 

Dedi Sukrinasdi, akuntan yang menerbitkan laporan, memberi catatan pertimbangan kritis bahwa PLN perlu memberi pertimbangan signifikan untuk nilai wajar pembangkit listrik dalam sewa pembiayaan ini. Banyak risiko yang harus ditanggung PLN.

“Ini untuk pembangkit PLTU dan PLTGU. Risiko rusak, bencana, gagal bayar dan lain-lain ditanggung oleh PLN,” kata Juru Kampanye Energi dan Perkotaaan Walhi, Dwi Sawung.

Beban lain yang harus ditanggung PLN selain over supply adalah harga beli batubara. Indonesia Corruption Watch (ICW) menghitung, dengan pemakaian batubara selama 2009-2019 mencapai 473,6 juta ton, selisih harga pengadaan batubara mencapai Rp100,378 triliun.

Khusus untuk PLTU Suralaya, ICW menemukan selisih beban komponen batubara Rp11,159 triliun. Ada indikasi inefisiensi Rp1,240 triliun setiap tahun.

 

Melanggengkan batubara

Dengan kondisi ini beberapa organisasi masyarakat sipil menilai kebijakan terkait PLTU yang menyebabkan krisis finansial PLN dibuat untuk melanggengkan bisnis batubara yang menguntungkan para elit berpengaruh di pemerintah.

Sebagai perusahaan monopoli dan monopsoni, Hindun mengingatkan, harusnya kebijakan PLN bukan pemborosan atau bukan kebijakan yang sengaja dibuat untuk melanggengkan bisnis batubara.

“Karena semua kesalahan kalkulasi ditanggung oleh PLN. Ujungnya ke konsumen dan pemerintah,” kata Hindun.

Catatan Greenpeace, saat ini dengan PLTU yang sudah ada sistem Jawa Bali sudah punya kapasitas 28.000 megawatt yang menghasilkan 168 juta ton emisi setiap tahun.

Dengan penambahan PLTU baru sekitar 27.000 megawatt, emisi akan bertambah 162 juta ton per tahun. Kalau semua sudah masuk ke dalam sistem kelistrikan, sekitar 400 juta ton emisi dihasilkan PLTU. Teknologi terbaru sekalipun, hanya membantu PLTU menjadi lebih efisien namun tak banyak mengurangi emisi.

Kalau pemerintah dan pelanggan PLN termasuk warga sekitar PLTU yang menanggung beban kebijakan ini, siapa yang diuntungkan?

“Yang pasti diuntungkan adalah pemasok batubara,” kata Merah Johansyah, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang.

Menjelang pemilihan kepala daerah 9 Desember, Merah kembali mengingatkan apa yang disebut Jatam dengan ijon politik, terjadi transaksi antara calon kepala daerah dengan pengusaha termasuk pengusaha tambang batubara. Modusnya, pengusaha memberi dana kampanye, dan calon kepala daerah membayar kembali dengan menerbitkan kebijakan yang menguntungkan pengusaha.

Tahun ini, ada 270 daerah melaksanakan pilkada. Dalam konteks tambang dan energi, kata Merah, ada 229 daerah yang dibebani 4.127 izin tambang.

Beberapa perusahaan besar pemasok batubara ke PLTU tahun lalu, adalah individu yang terafiliasi dengan pembuat kebijakan.

ICW menemukan Arutmin Indonesia dan Kaltim Prima Coal berafiliasi dengan keluarga Bakrie. Sementara Adaro Indonesia terhubung dengan keluarga Thohir, Sandiaga Uno, Edwin Suryajaya, Teddy Permadi Rachmat dan keluarga Subianto.

Penerima manfaat (beneficial ownership) dari Kideco Jaya Agung terhubung dengan nama Agus Lasmono, Wiwoho Basuki Tjokronegoro, hingga Low Tuck Kwong. Di Berau Coal, ada keluarga Widjaja, dan Linda Suryasari.

Samantaka Batubara yang memasok 2 juta metrik ton batubara untuk PLTU pada 2009-2019 adalah perusahaan yang terlibat dalam kasus korupsi PLTU Riau 1.

Barito Pacific yang punya saham di PLTU Jawa 9 dan 10 adalah grup milik Prajogo Pangestu. Prajogo adalah salah satu penerima tanda kehormatan Bintang Jasa Utama yang diberikan Presiden Joko Widodo, Agustus lalu.

Kalau PLTU Jawa 9 dan 10 beroperasi, Pangestu juga adalah sosok yang akan diuntungkan dari proyek ini.

Dengan Indonesia Power sebagai pemegang saham utama PLTU Jawa 9 dan 10, direksi anak perusahaan ini juga akan menjadi penerima manfaat dari operasional PLTU Jawa 9 dan 10.

Data Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) Kementerian Hukum dan HAM yang diolah ICW menyebut beberapa nama tertera dalam susunan kepengurusan PT Indonesia Power, diantaranya F.X Sutijastoto, Sripeni Intan Cahyani dan M Ahsin Sidqi.

F.X Sutijastoto adalah mantan Direktur Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) KESDM. Sripeni sempat menggantikan Sofyan Basir sebagai Direktur Utama PLN saat Sofyan tersandung kasus korupsi PLTU Riau I. Kekayaan Sripeni mencapai Rp9,2 miliar saat menggantikan Sofyan sempat jadi sorotan.

Ahsin Sidqi yang menggantikan Sripeni pernah diperiksa sebagai saksi dalam kasus suap PLTU Riau I.

“Perusahaan besar batubara dan PLTU telah dikuasai oleh elit-elit kaya yang menduduki atau terkoneksi dengan jabatan publik,” kata Firdaus Ilyas, peneliti senior ICW.

Lantas apa yang bisa dilakukan PLN?

Setelah pemerintah Indonesia akhirnya resmi menyatakan pandemi COVID-19 masuk ke Indonesia pada Maret 2020, Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) lembaga kajian yang fokus pada isu energi dan ekonomi, sudah mengingatkan bahwa PLN akan mengalami tekanan tinggi karena tetap harus membayar kewajibannya kepada IPP.

IEEFA memperkirakan PLN akan rugi Rp28,7 triliun (US$ 1,9 miliar) dan butuh subsidi Rp92,7 triliun (US$6,0 miliar) pada 2020, Rp137,6 triliun (US$8,9 miliar) pada 2021.

Kajian ini belum memperhitungkan PLTU-PLTU baru yang sedang dalam konstruksi atau dalam rencana pembangunan seperti PLTU Jawa 9 dan 10.

Hanya dengan menghitung PLTU yang telah beroperasi, pembelian listrik PLN akan meningkat dari sekitar Rp120 triliun (US$7,8 miliar) pada 2020 menjadi Rp164,5 triliun (US$10,7 miliar) pada 2021.

Menurut peneliti IEEFA pemerintah dan PLN harus mempertimbangkan pandemi sebagai peristiwa force majeure atau keadaan kahar.

Dengan kata lain, PLN mesti membuka peluang negosiasi ulang terutama untuk IPP besar yang telah memenuhi sistem jaringan Jawa-Bali selama dekade terakhir.

Selang lima bulan kemudian, dalam laporan lain IEEFA kembali menyoroti konsumsi listrik yang turun sebanyak 20% karena pandemi yang menyebabkan over supply meningkat.

Namun, menurut peneliti IEEFA lain, Elrika Hamdi, akar masalah PLN lebih dalam dari sekedar pandemi.

Bagi dia, krisis keuangan PLN mencerminkan disfungsional perencanaan dan tata kelola yang membuat PLN mengalami kelumpuhan strategis. Ini yang membuat PLN tidak dapat mengubah arah atau beradaptasi dengan realitas pasar baru.

Selama bisnis dalam PLN dijalankan dengan cara kuno, kata Elrika, akan sulit menyelamatkan PLN dari jebakan hutang karena menuruti pola pikir ekonomi ekstraktif yang menumbuhkan ketergantungan pada bahan bakar fosil, hanya karena bahan bakar itu ada.

Laporan ini menguatkan argumen bahwa sebagian besar masalah PLN saat ini berasal dari rencana menambah kapasitas pembangkit listrik sebesar 35 gigawatt ke pasokan listrik Indonesia yang dirancang dan dilaksanakan dengan buruk.

Program 35.000 gigawatt adalah janji politik untuk mewujudkan ambisi Presiden Joko Widodo untuk sepenuhnya melistriki Indonesia.

“Tidak ada yang salah dengan ambisinya, tapi perencanaan dan pelaksanaan selanjutnya kurang akuntabel,” ujar Elrika.

Menurut Elrika, penambahan kapasitas pembangkit yang dilakukan tanpa check and balances ‘mendorong’ PLN ke tepi jurang. Masalahnya, pembayar pajak yang akan dibiarkan terus membayar harganya.

Kemampuan PLN untuk mempertahankan utang saat ini sangat bergantung pada peringkat kredit negara Indonesia. Meskipun, obligasi PLN masih relatif menarik bagi investor karena monopoli perusahaan dan status kedaulatannya, namun, lanjutnya, perlu dipertanyakan akuntabilitas dukungan pemerintah terhadap PLN.

Baik dukungan langsung maupun tidak langsung, termasuk subsidi, kompensasi, suntikan modal, perlakuan akuntansi khusus dan jaminan pemerintah.

Mengingat kepentingan strategis PLN, Kementerian Keuangan, menjadikan PLN sebagai prioritas. Bukan berarti masalah keuangan PLN dapat diatasi secara efektif dengan akses tanpa henti ke hutang murah yang pada akhirnya dapat mengancam kredibilitas keuangan Indonesia.

IEEFA usul agar PLN kembali pada kerangka perencanaan yang fokus pada investasi jaringan yang lebih hemat biaya, yang meningkatkan efisiensi jangka panjang dari keseluruhan sistem tenaga listrik.

Pemain sektor swasta tidak bisa berinvestasi di jaringan listrik karena itu berdesak-desakan di sektor pembangkit. Ini mengakibatkan kelebihan kapasitas dan sistem keuangan rapuh yang tidak memiliki fleksibilitas.

“Sangat penting bagi PLN untuk memastikan bahwa reformasi sektor kelistrikan tidak hanya kosmetik,” kata Elrika.

Kalau tidak, publik akan menanggung dampaknya, lewat kenaikan tarif listrik atau subsidi baik dalam bentuk kompensasi maupun bentuk lainnya.

Dengan situasi pandemi, kemungkinan tarif listrik naik sangat kecil karena bisa mengacaukan kestabilan negara. Saat ini Kementerian Keuangan tak punya pilihan lain selain terus menopang PLN, namun dengan catatan.

“Supaya PLN lebih ‘green’. Karena sumber capital in the future itu in green financing,” kata Elrika.

Karena itu, mau tak mau harus berubah kalau tak ingin sumber finansial mereka menjadi sangat terbatas. Saat ini, harga energi terbarukan terutama energi surya, angin dan baterai terus turun.

“Potensi pemulihan dengan energi terbarukan sangat besar. “

 

 

PLTU Suralaya. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Exit mobile version