Mongabay.co.id

Kondisi Dusun Sungai Palas Setelah Perkebunan Sawit Buka Lahan Gambut [2]

Taman Nasional Berbak-Sembilang yang mengalami kebakaran dan sebelah kanan yang tidak terkena kebakaran. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

DCIM100MEDIA

 

 

 

 

Kebakaran hutan dan lahan gambut Taman Nasional Berbak-Sembilang, berdampak luas di kawasan sekitar. Tak hanya gangguan kesehatan, sumber perekonomian masyarakat pun hancur.

Masih lekat dalam ingatan Yunus, Kepala Dusun Sungai Palas, saat kebakaran hutan dan lahan parah pada 2015 dan 2019. Kala itu, kebun warga ludes. Warga, kata Yunus, harus mulai lagi usaha tani mereka dari nol. “Kebun warga habis terbakar, ada sawit, ada sayur. Mereka semua bergantung pada pertanian,” katanya.

Baca juga: Belajar dari Dusun Sungai Palas, Manusia dan Harimau Hidup Tak Saling Ganggu [1]

Tak mau peristiwa terulang, warga kini sigap turun tangan memadamkan api. Mereka hidup bergantung pertanian dan perkebunan di daerah budidaya gambut sekitar taman nasional.

Yunus cerita ihwal perubahan kondisi kebun warga setelah perkebunan sawit swasta beroperasi di dekat Taman Nasional Berbak-Sembilang.

Sejak ada perusahaan, lahan warga kontan tandus, kering, saat memasuki musim kemarau dan banjir kala hujan tiba.

Serupa cerita Abdul Razak, Ketua Masyarakat Peduli Api (MPA) Desa Rantau Rasau. Lahan tandus karena air surut dan saluran kanal buntu.

Kondisi ini, katanya, membuat warga Sungai Palas, bergantung pada air pasang.

“Jadi, kalau keadaan sekarang ini masih lancar karena air pasang naik. Tapi tidak terlalu banyak karena saluran air sudah dangkal,” katanya.

Untuk mengantisipasi kebun warga kekeringan, Razak mengajak masyarakat bersiap membangun embung, ketimbang sekat kanal. “Bagusnya bikin embung untuk persediaan air di dalam itu. Untuk mendapatkan air pada musim kemarau itu sulit karena saluran sudah buntu semua. Kalau sekat kanal air itu nggak masuk karena dangkal.”

Razak bilang, sudah mengusulkan bersama warga Sungai Palas, saat rapat September lalu bersamaan dengan kunjungan BRG ke desa mereka. “Lebih baik mencegah daripada memadamkan.”

Soal kebakaran 2015 dan 2019, katanya, sumber api selalu datang dari arah Simpang Datuk dan Simpang Kacang. Dua tempat itu, lebih dekat ke Taman Nasional Berbak-Sembilang.

“Pasti impor api dari sana semua, setiap terjadi kebakaran di Sungai Palas pasti api dari arah sana.”

 

Kayu bekas kebakaran hutan di Taman Nasional Berbak. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Dia bilang, dekat desa mereka ada kanal-kanal tua, semula warga jadikan untuk usaha perkebunan. Saat kemarau, kondisi empat kanal kering. Kondisi ini pula yang mendorong mereka memanfaatkan air pasang Sungai Batanghari.

Situasi berbeda justru terjadi pada kanal yang melintasi kawasan perusahaan sawit PT Mitra Yakin Jaya (MJY). Kanal satu sampai kanal lima masuk konsesi perusahaan. Sedang kanal enam sampai sembilan masuk kebun masyarakat. Saat kemarau, dua kawasan ini kontras.

“Kalau kanal masuk area perusahaan air ada terus, maka tidak kebakaran mereka karena ada sekat. Kalau yang kanal 6, 7, 8 dan 9 itu kering,” katanya.

Seingat dia, kebakaran besar pernah terjadi bertahun-tahun lalu. Sekitar tahun 1998 saat kebakaran besar melanda Sumatera dan mengalami kerugian triliunan rupiah. Setelah itu, kebakaran besar jarang terjadi.

Baru 2015 dan 2019, katanya, kebakaran hebat kembali terjadi. “Sebelum ada sawit itu jarang terbakar gambut di sini setahu saya,” kata Azra’i, Kepala Desa Rantau Rasau.

Azra’i satu dari saksi sejarah perubahan tutupan lahan di Desa Rantau Rasau. Lelaki usia 60-an ini lahir di Rasau Jaya, dusun yang diduga sebagai permukiman lama. Hal itu dibuktikan dengan ada mesjid peninggalan Pangeran Wirokusumo, berdiri sekitar 1817.

Dia lahir di dusun itu dan sempat bekerja di Tungkal, sekarang bernama Kabupaten Tanjung Jabung Barat.   Sejak 80-an, dia pindah menjadi kepala desa tempat kelahirannya.

 

Dari luasan itu perusahaan dan kebun masyarakat Dusun Sungai Palas termasuk di dalamnya. Ia tampak pada peta PRIMS.

 

Gambut perusahaan terbakar

Lembaga KKI Warsi di Jambi mencatat laju kebakaran di Taman Nasional Berbak-Sembilang cukup luas, pada 2015 atau 2019.

Melalui citra satelit landsat 2015, kebakaran hutan di Taman Nasional Berbak-Sembilang mencapai 23.747 hektar. Pada 2019, seluas 17.470 hektar kebakaran di Taman Nasional Berbak-Sembilang.

Dari luasan itu perusahaan dan kebun masyarakat Dusun Sungai Palas termasuk di dalamnya. Ia tampak pada peta PRIMS.

Berdasarkan peta PRIMS gambut, konsesi perkebunan sawit terbakar sebagian dan masuk ke Desa Rantau Rasau, Kecamatan Berbak, tepatnya, Dusun Sungai Palas.

Aswandi, ahli hidrologi gambut Universitas Jambi mengatakan, hamparan kesatuan hidrologi gambut terkena imbas pengelolaan konsesi sawit dekat TN Berbak Sembilang.

Dalam prosesnya, pasti ada usaha pengeringan tanah. Dalam peta itu, konsesi Metro Yakin Jaya sangat dekat dengan taman nasional.

Adi, Humas PT Metro Yakin Jaya mengatakan, perusahaan sempat membantu masyarakat Dusun Sungai Palas saat kebakaran, dengan pinjamkan alat. Dia klaim kebakaran terjadi di lahan masyarakat, bukan areal perusahaan.

“Wilayah kami juga masuknya ke Desa Sungai Jeruk,” katanya.

 

Wilayah cokelat tua yang juga ditutupi cokelat muda adalah bekas kebakaran tahun 2015. Sedangkan yang berwarna cokelat muda adalah bekas kebakaran tahun 2019. Sebagian wilayah perusahaan yang masuk area Dusun Sungai Palas mengalami kebakaran tahun 2015 dan sebagian kawasan perkebunan yang masuk wilayah lain juga terbakar.

 

Adi tidak menjawab soal ada bukti peta kebakaran di lahan perusahaan, termasuk dugaan kebakaran terjadi setelah perusahaan perkebunan berdiri di sana. “Wilayah kita tidak pernah terbakar sejak 2015,” katanya via telepon. Dia katakan, wilayah perusahaan di tanah mineral.

Saya kemudian bertemu Adi pada Jumat (23/10/20) dan mengkonfirmasi kejadian kebakaran, luasan lahan perusahaan maupun jenis lahan mereka. Dia bilang, mereka tak termasuk lahan gambut dan tak mengganggu lahan gambut.

“Bahkan kami ada mengelola sawah warga,” katanya.

Menurut Adi, perusahaan memanfaatkan pintu air untuk menangkap air dari Sungai Batanghari, saat pasang. Kalau air berlebih, katanya, akan dikeluarkan melalui pintu air itu.

Adi enggan memberikan kejelasan luasan lahan perusahaan. Dia hanya menyebut, tidak sampai 8.000 hektar.

 

Izin tak indahkan KHG

Berdasarkan keputusan perizinan Pemerintah Tanjung Jabung Timur konsesi Metro Yakin Jaya, masuk area fungsi budidaya KHG di dekat TN Berbak-Sembilang, seluas 4.748 hektar.

Masalah paling mendasar, kata Aswandi, pemberian izin perkebunan tidak mengikuti kaidah kesatuan hidrologis gambut. Sejak dulu, katanya, regulasi perizinan perkebunan tak pakai konsep kesatuan hidrologis gambut.

“Sembarang saja memberi lokasi. Di mana diminta perusahaan dan tanpa tumpang susun dengan peta KHG. Jadi ya sudah ini, 3.000 hektar untuk PT A, ini 4.000 hektar untuk PT B. Begitu seterusnya tanpa membagi dengan konsep KHG.”

Dia juga menilai, kondisi ini buah dari regulasi. Dalam memberi konsesi pemerintah masih gunakan Peraturan Presiden Nomor 32/1990 yang tak mempertimbangkan kondisi kedalaman gambut. Penggunaan regulasi ini, katanya, menyebabkan gambut makin rusak.

 

Konsesi perusahaan PT Metro Yakin Jaya berada sebagian di Desa Rantau Rasau, yang di dalamnya ada Dusun Sungai Palas. Garis-garis biru adalah sebaran kanal di lahan gambut.

 

Badan Restorasi Gambut (BRG) mengajukan PP 71/2014 dan Nomor 57/2016 dalam pemberian izin sesuai kaidah KHG. Sayangnya, aturan ini baru belakangan digunakan, sementara perizinan-perizinan sudah keluar jauh sebelum peraturan ini ada.

Dia contohkan, satu aturan yang tidak dilakukan awal-awal adalah penjagaan tinggi muka air sesuai ketentuan pemerintah. Implementasi PP 57/2016 yang mensyaratkan tinggi muka air harus 0,4 meter atau 40 cm dari dasar gambut. Aturan itu, kata Aswandi, tak diindahkan karena perkebunan sawit pakai standar aturan lebih rendah, Peraturan Menteri Pertanian, yaitu 0,6-0,8 meter atau 60 sampai 80 cm.

“Dalam penerapan bahkan lebih dalam dari 80 cm sampai satu meter, hingga gambut sering dikeringkan secara berlebihan saat pembukaan lahan,” kata Aswandi.

Belum lagi lokasi perkebunan kerap di gambut dalam. “Lokasi tidak dalam itu seperti di Seponjen atau Pematang Raman di Muaro Jambi, di pinggiran sungai. Sedang perusahaan di dalamnya pada lokasi gambut dalam.”

Perusahaan dengan usia izin sudah 10-20 tahun tentu tidak menggunakan konsep ini dalam menempatkan posisi kebun. “Di mana minta, ya dikasih aja. Apalagi kalau daerah atau pusat punya banyak kepentingan politis,” kata Aswandi.

Padahal, penanaman sawit ini, akan berdampak pada kondisi gambut di luar area perkebunan. Bila masih gambut, katanya, pasti tergabung dalam kesatuan hidrologis gambut lain.

“Kalau sudah kering, itu berdampak pada wilayah sebelahnya.”

Meski tak terlalu efektif, kata Aswandi, penutupan kanal bisa dilakukan untuk mengatasi masalah itu.

Dia gambarkan hidrolik dengan kondisi naik turun muka air di gambut. Ketika air di kanal turun, air di lahan gambut juga turun. Kalau air di kanal naik, di lahan juga naik. Begitu diturunkan muka air kanal otomatis di lahan terkuras semua. “Makanya, pengelolaan pintu air itu sangat penting.”

Posisi pintu air ini, kata Aswandi, sangat penting dalam tata kelola air. Sebab pengelolaan pintu air buruk bisa mengganggu upaya revegetasi dan revitalisasi lahan gambut. Selain itu, hal penting lagi soal pembasahan kembali tanah gambut.

 

Meski begitu, katanya, berbagai solusi dan usulan tetap tidak efektif karena fungsi hidrologi gambut sudah rusak karena sistem kanal. Pembuatan kanal, menyebabkan kawasan gambut menjadi sangat kering. Pembukaan kanal seringkali diikuti pembangunan pintu air.

“Karena sistem drainase itu digabungkan dengan transportasi untuk mengangkut produk mereka, akhirnya air tidak bisa ditahan. Karena itu mereka juga kesulitan air sebenarnya sekarang,” katanya.

Kalau fungsi hidrologi rusak, kata Aswandi, produksi sawit bisa hanya 10-15 tahun alias beberapa kali putaran panen saja. “Walaupun sebenarnya mereka lebih menekankan pada penguasaan lahan.”

Mongabay juga menghubungi Humas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) soal pemberian izin perkebunan di sekitar gambut terutama dekat Taman Nasional Berbak-Sembilang pasca reformasi. Sampai tulisan ini publis belum ada respons.

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat ada kelemahan dalam pengelolaan izin perkebunan sawit. Sistem pengendalian perizinan usaha perkebunan tidak akuntabel untuk memastikan kepatuhan pelaku usaha.

Kondisi ini, katanya, menyebabkan tumpang tindih hak guna usaha kebun sawit dengan izin seperti pertambangan maupun hutan tanaman industri dan lain-lain. Di Jambi, ada sekitar 44.499 hektar izin konsesi berada di kubah gambut, yang seharusnya masuk fungsi lindung. Fakta ini bisa terlihat dalam Kajian Sistem Tata Kelola Komoditas Sawit 2016 oleh Direktorat Penelitian dan Pencegahan KPK.

Meski begitu, masyarakat Dusun Sungai Palas, berharap tak ada lagi cerita kebakaran di dekat desa mereka. Kehidupan mereka bergantung pada lahan gambut sekitar. Kalau terbakar lagi, mereka harus mengulang dari nol.

Razak maupun Yunus, berharap ada solusi atau antisipasi jangka panjang dari pemerintah. Entah itu berbentuk sekat kanal, sumur bor, kolam atau pun peralatan pemadam. (Selesai)

 

 

Taman Nasional Berbak-Sembilang yang mengalami kebakaran dan sebelah kanan yang tidak terkena kebakaran. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version