Mongabay.co.id

Sampah, Sumber Segala Masalah Lingkungan di Teluk Lampung

 

 

“Byurrr…” suara itu terdengar jelas saat Tama melompat dengan gaya bycicle kick ke air di Teluk Bandar Lampung. Sore itu, Tama dan anak-anak lain di kampung nelayan Sukaraja, kembali bersua di bibir pantai Teluk Bandar Lampung, tepatnya di Kecamatan Bumi Waras, Kota Bandar Lampung.

Bagi Tama dan teman-temannya, pantai adalah taman bermain di sela kejenuhan menanti kepastian masuk sekolah yang libur akibat pandemi COVID-19. Tama yang berumur 7 tahun, kini duduk di bangku kelas 3 Sekolah Dasar, usia yang tergolong biasa di kampungnya.

“Tama!!!, naik gak!!,” teriak Vita, kakak tertua Tama, dari atas beton panjang penahan air laut. Ancaman Vita bukan tanpa alasan. Air laut tempat berenang Tama dan teman-temannya itu sudah tercemar cukup parah. Tumpukan berbagai macam sampah menggenang, airnya pun kehitaman. Pemandangan yang sudah menjadi bagian keseharian hidup masyarakat di Sukaraja dan sekitar.

Baca: 3 Bocah Tewas Tenggelam, Walhi: Pemerintah Lampung Harus Perketat Aktivitas Pertambangan

 

Kondisi Teluk Lampung yang penuh sampah. Foto: Derri Nugraha

 

Asal sampah

Provinsi Lampung memiliki wilayah perairan cukup luas [16.625,3 km persegi], terdiri Teluk Lampung dan Selat Sunda, Teluk Semangka, Pantai Barat, Pantai Timur dan pulau-pulau kecil.

Teluk Lampung adalah sebuah teluk di perairan Selat Sunda yang berada di selatan Lampung. Di teluk ini, bermuara dua sungai yang membelah Kota Bandar Lampung. Teluk ini berada di antara Kota Bandar Lampung, Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten Pesawaran. Pelabuhan Panjang juga terdapat di teluk ini. Pulau Pasaran, Pulau Sebesi, Pulau sebuku, Pulau Legundi, Pulau Kelagian, Pulau Condong Laut, Pulau Tangkil, Pulau Tegal dan pulau kecil lainnya adalah gugusan kepulauan yang berada di Teluk Lampung.

Menurut data Dinas Lingkungan Hidup Lampung, sekitar 57 ribu ton sampah masuk ke perairan Lampung per tahun. Dari jumlah tersebut, sekitar 19 ribu ton berada di pesisir Teluk Lampung. Adapun sampah menuju laut di sekitar Kota Bandar Lampung, lebih dari 8.000 ton per tahun.

Baca: Setelah Angin Puting Beliung, Cuaca Ekstrim Berpotensi Terjadi di Lampung

 

Tampak nelayan melewati tumpukan sampah di Teluk Lampung. Foto: Derri Nugraha

 

Penumpukan sampah di pesisir Bandar Lampung, tak lepas dari kontribusi sampah yang tak selesai diproses di darat. Menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup [Walhi] Lampung, Irfan Tri Musri, sampah di pesisir itu, selain berasal dari aktivitas masyarakat ada juga kontribusi kiriman yang dibuang di hulu sungai hulu yang akhirnya bermuara ke laut.

“Karena karakteristik pesisir Bandar Lampung merupakan perairan yang menjorok ke daratan, sehingga, pada saat-saat tertentu sampah akan menumpuk di pesisir,” ujarnya, Sabtu, [28/11/2020].

Irfan mengatakan, pengelolaan sampah yang dilakukan Pemerintah Kota Lampung hingga saat ini tak kunjung usai. “Harus serius dilakukan, menyeluruh. Di pesisir sangat minim tempat pembuangan sampah sementara [TPS] dan sarana pengelolaan sampah,” katanya.

Baca: Kehilangan 22 Bukit, Walhi Siap Gugat Pemkot Bandar Lampung

 

Hasil tangkapn nelayan yang menunjukkan dominasi sampah plastik dan jenis lainnya yang didapat, bukan ikan. Foto: Derri Nugraha

 

Kabid Pengelolaan Sampah dan Limbah B3 Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Lampung Muhammad Budi Setiawan mengakui, kurangnya petugas dan tempat pembuangan akhir [TPA] menjadi kendala pengelolaan sampah.

“Bicara masalah sampah, tidak lepas dari peran masyarakat, walau dalam praktiknya tidak banyaknya petugas menjadi sebagian kendala pengelolaan sampah,” terangnya, Jum’at [27/11/2020].

Menurut dia, bertambahnya masyarakat di Bandar Lampung tidak sebanding dengan kemampuan petugas dalam pengelolaan sampah. “TPA Bakung sebagai satu-satunya pengelolaan akhir sampah di Lampung, daya tampungnya sudah diambang batas.”

Baca juga: Penjaga Bumi dari Lampung Barat

 

Tampak beberapa anak kecil mandi di Teluk Lampung yang dipenuhi sampah. Foto: Derri Nugraha

 

Dampak sampah

Maryudi, Ketua Kelompok Nelayan Sukaraja mengatakan, sebelum ada sampah, tangkapan nelayan cukup bagus. “Kini, sampah yang banyak, sementara ikan berkurang,” terangnya, Kamis [26/11/2020].

Menurutnya, nelayan kerap kesulitan menjaring ikan akibat menumpuknya sampah. “Semua campur, ada plastik, kayu, paku, botol-botol, juga beling. Seharusnya, masalah ini tanggung jawab bersama. Namun, dibutuhkan pula perhatian pemerintah dalam pengelolaannya.”

Jepri, nelayan di Sukaraja menceritakan, pendapatannya sangat kecil. “Lihat saja hasilnya, 3 jam cuma dapat Rp360 ribu, dibagi delapan orang,” paparnya, setelah menjual hasil tangkapannya ke pengepul, Minggu [29/11/2020].

Ancaman lain yang dihadapi masyarakat di pesisir Bandar Lampung, selain sampah, adalah banjir rob alias naiknya permukaan air laut. Halimah, warga yang rumahnya berhadapan langsung dengan laut mengatakan, bila air pasang bisa menggenangi rumah.

“Terakhir, kampung kami dilanda banjir rob Juni 2020.”

 

Sampah menjadi pemandangan warga yang tinggal tidak jauh dari pantai Teluk Bandar Lampung, tepatnya di Kecamatan Bumi Waras, Kota Bandar Lampung. Foto: Derri Nugraha

 

Ancaman masa depan

Diky Hidayat, Dosen Kimia Lingkungan Universitas Lampung [Unila] menuturkan, tahun 1980-an, pesisir Bandar Lampung belum tercemar. Ekosistem laut masih terjaga. ”Saya lahir di daerah Panjang, dulu masih ada padang lamun. Air lautnya jernih, batu karang masih ada. Beberapa spesies ikan masih banyak, begitu juga dengan udang dan cumi,” ujarnya, Senin [30/11/2020].

Menurut Diky, pencemaran yang terjadi di pesisir Bandar Lampung tak lepas dari dampak kegiatan reklamasi. Lokasi pelaksanaannya terletak di Kelurahan Bumi Waras, seluas 117 hektar. Kelurahan ini menjadi lokasi reklamasi karena pantainya yang cukup luas dan daerah tersebut cukup strategis, banyak pertokoan, pergudangan, dan industri.

Dampak reklamasi menyebabkan berbagai masalah. Salah satunya akibat penumpukan sampah yang berasal dari aktivitas industri dan masyarakat yang membuang sampah ke laut. “Jika hal ini dibiarkan, dalam jangka waktu tidak lama lagi, mungkin laut di Teluk Lampung tidak bisa dimanfaatkan lagi,” katanya.

 

Sepanjang mata memandang, tampak sampah plastik dan jenis lainnya memenuhi pesisir Teluk Lampung. Foto:Derri Nugraha

 

Diky secara rutin melakukan riset kualitas perairan di pesisir Bandar Lampung. Data terakhirnya, tahun 2018, menunjukkan sebagian perairan di pesisir Bandar Lampung tercemar. Cemaran itu beragam, termasuk logam berat seperti timbal, mangan, besi, juga plastik. “Kandungan logam berat dapat mengganggu sisitem saraf. Bahkan, dapat mengakibatkan kematian.”

Berdasarkan riset, sampah plastik di laut akan terurai menjadi mikroplastik. Partikel-partikel tersebut dapat termakan ikan dan berakhir di perut manusia. Mikroplastik dapat mengganggu sistem saraf dan berpotensi menimbulkan risiko kanker. Hal ini bukan hanya menjadi ancaman, tetapi bahaya nyata bagi kesehatan masyarakat, khususnya mereka yang berada di pesisir Bandar Lampung.

 

* Derri Nugraha, jurnalis lepas yang minat pada persoalan lingkungan di Lampung. Aktif di AJI Bandar Lampung

 

 

Exit mobile version