Mongabay.co.id

Merawat Alam Sumba Lewat Tenun Pewarna Alami

Adriana, penenun Sumba sedang menjemur benang dengan pewarna alami. Foto: Diana Timoria

 

 

 

 

Mariana Hoi Ata Ndau, baru selesai mewarnai benang untuk tenun ikat di rumahnya di Mauliru, Kecamatan Kambera, Sumba Timur. Tangan terlihat biru. Dia baru memproses tanaman nila –orang Sumba, biasa sebut wora—sebagai pewarna alami benang tenun.

“Warna biru ini tidak mudah hilang. Tangan saya akan terus berwarna biru selama beberapa hari,” kata Mama Yo, sapaan Mariana.

Mama Yo, membuat tenun dengan cara tradisional dan memakai pewarna alami. Bikin tenun ikat merupakan keterampilan turun temurun pada para perempuan Sumba. Keterampilan dan pengetahuan mereka dapatkan secara otodidak, mulai dari proses mudah sampai yang rumit.

Pembuatan tenun alami memakan waktu hingga tiga bulan bahkan lebih, tergantung kesibukan perajin tenun, termasuk kondisi cuaca.

 

Salah satu proses pembuatan warna biru menggunakan wora. Foto: Diana Timoria

 

Mama Yo telah menenun sejak remaja. Dari awal, dia bertekad pakai pewarna alami sebagai wujud kepedulian lingkungan hidup. Baginya, ini sebagai cara merawat alam.

Mama Yo mengatakan, tak mau kehilangan pengetahuan dan keterampilan cara meramu pewarna alami yang sudah diwariskan dari generasi ke generasi.

Sebagian perempuan penenun di Sumba, telah beralih pakai pewarna kimia untuk proses mewarnai benang tenun. Harga tenun pewarna kimia lebih murah dan proses pewarnaan lebih cepat.

Kalau penenun macam Mama Yo memerlukan waktu sampai tiga bulan saat mewarnai pakai wora, sedang pewarna kimia hanya perlu satu bulan. Perajin juga tinggal membeli pewarna di toko. Mereka tak perlu menanam tanaman di pekarangan atau kebun. Mereka pun dapat menghasilkan kain tenun lebih banyak dan jual setiap bulan, berbeda dengan penenun tradisional.

Tenun ikat Mama Yo, biasa dipakai untuk acara adat. Kemudian, Mama Yo pun coba berinovasi dengan menyesuaikan motif dalam memenuhi permintaan pasar. Tenun pun bisa dipakai tak hanya dalam acara adat, juga aksesoris seperti hiasan dinding dan sarung bantal.

 

Mama Yo, penenun ikat pewarna alami Sumba. Foto: Diana Timoria

 

Penenun lain, Nenek Banja Uru, juga pakai pewarna alami. Banja Uru, penganut Marapu, agama lokal masyarakat Sumba yang fokus menjaga keseimbangan alam. Bagi penganut Marapu, ketidakseimbangan alam akan mengakibatkan hal-hal buruk seperti bencana alam, penyakit dan lain-lain.

Termasuk pandemi COVID-19 ini, nenek Banja Uru menilai, sebagai contoh ketidakseimbangan pemanfaatan alam.

“Pakai pewarna alam itu sama dengan menjaga alam seperti pesan leluhur kita untuk selalu menjaga hubungan baik dengan alam. Sang pencipta dan sesama manusia. Kalau saya mau tetap pakai pewarna alam, saya harus jaga tanaman [nila] tetap ada.”

Banja Uru masih menanam tanaman ini di kebun sekitar rumahnya.

Upaya Nenek Banja Uru dan Mama Yo, dalam melestarikan tanaman pewarna dan tenun dengan pewarna alami jadi teladan bagi generasi muda Sumba.

Adalah Melania Loda Ana Hammu, perempuan usia 21 tahun ini ikut bergerak melestarikan tanaman pewarna. Mahasiswa di Waingapu ini mulai menenun kain gunakan pewarna alami.

“Memakai kaus atau kemeja dengan celana jeans memang lebih praktis. Tetapi sebagai orang Sumba, saya lebih bangga memakai sarung tenun apalagi kalau saya yang membuat dengan bahan di sekitar saya.”

 

Lusi, penenun muda yang sedang menjemur benang yang diwarnai. Foto: Diana Timoria

 

Martha Hebi, aktivis perempuan Sumba yang bergiat di Solidaritas Perempuan dan Anak (Sopan)-Sumba, mengatakan, penggunaan pewarna alami oleh para penenun merupakan bentuk relasi kehidupan manusia dan alam yang harmoni. Para perajin tenun melihat, alam adalah sahabat yang memberikan kehidupan bagi mereka melalui tanaman pewarna alami.

“Pewarna alami berasal dari tanaman. Makin tinggi kebutuhan penggunaan pewarna alami, akan disertai upaya para penenun untuk menanamnya. Tanaman akan jadi lebih banyak.”

Dengan begitu, katanya, akan membantu suplai oksigen dan tutupan vegetasi. “Ini cara untuk menjaga keseimbangan alam,” kata Martha.

Akar tanaman kombu atau morinda yang sudah dicincang. Foto: Diana Timoria

 

Terdampak pandemi

Pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) juga sampai ke Sumba. Wisatawan sepi, kondisi ini berdampak juga penenun-penenun tradisional ini seperti Mama Yo. Pembeli tenun ikat berkurang.

Mama Yo, sempat pergi ke pasar untuk menjual kain, tetapi ditawar dengan harga sangat rendah. Biasa dia bisa menjual selendang Rp300.000-Rp500,000. Sekarang, selendang tenun hanya ditawar Rp50.000.

“Saya bingung, saat saya butuh uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga di masa pandemi ini, harga selendang saya malah jadi sangat murah. Padahal, proses pembuatan selendang tenun ini sangat susah dan sama saja dengan saat sebelum dan selama pandemi,” katanya.

Ketika pemerintah menerapkan kebijakan pembatasan wisatawan domestik dan mancanegara ke Indonesia karena pandemi COVID-19, perajin tenun ikut terkena dampak.

Perputaran kain tenun menjadi lambat karena wisatawan minim dan acara adat tertunda. Alhasil, harga kain tenun menjadi sangat rendah.

 

 

Keterangan foto utama: Adriana, penenun perempuan Sumba tengah menjemur benang dengan pewarna alami. Foto: Diana Timoria

 

Proses pewarnaan dengan akar tanaman kombu atau morinda. Foto: Diana Timoria

 

Exit mobile version