Mongabay.co.id

Begini Warga Pulau Bungin Nyarat dan Sapapan Penuhi Air Bersih dan Energi

 

 

 

 

 

Pulau Bungin Nyarat dan Sapapan, berada di Kepulauan Kangean, Kecamatan Kangayan, Desa Saobi, Sumenep, Jawa Timur. Kedua pulau itu secara administrasi berada dalam satu desa, Desa Saobi. Perlu sekitar 12 jam untuk sampai ke pulau-pulau itu.

Saya menyewa perahu motor dari Pulau Saobi menuju Pulau Bungin Nyarat. Sekitar 30 menit sampai ke antar pulau itu. Perahu menepi di dermaga dari papan kayu. Tak ada sinyal. Pesisir pantai pulau itu terdiri dari tumpukan karang berlapis pasir.

Rumah penduduk padat, satu rumah dengan rumah lain hanya terpisah jalan setapak.

Hosaini, warga Pulau Bungin Nyarat mengatakan, pulau ini aslinya kecil dan padat. Tanah asli pulau itu hanya di sekitar kuburan dan mesjid di samping rumah. Kalau ingin membangun rumah, warga harus uruk laut, mencari batu karang dilapisi pasir diambil dari beberapa pulau tak berpenghuni di pulau-pulau sekitar.

Di Bungin, tidak ada sumber mata air tawar. Kalau ingin mendapatkan air tawar, mereka harus beli kepada penyedia jasa yang mengambil dari sekitar, seperti di Pulau Saubi. Harga air per satu jerigen 25 liter, Rp25.000. Kalau air langsung disalurkan ke bak mandi berukuran 1,5 x 1 x1 meter Rp70.000. Hosaini bilang, cara penyaluran air langsung dari tandon di atas perahu ke rumah-rumah warga pakai selang.

Dia sendiri tak mandi jika tidak penting, seperti sepulang kerja baru mandi. Kalau harus menyuling air laut, katanya, biaya mahal dan perlu ahli. Di sana tidak ada yang ahli penyulingan air.

Sebagian besar penghasilan warga Bungin dari nelayan dan penyelam tripang atau timun laut. Tidak ada lahan pertanian, tidak ada lahan kosong, rumah-rumah berdempetan. Lebih separuh dari luas pulau di bagian selatan pulau itu ditumbuhi mangrove.

Gak bisa diganggu kalau bakau di selatan itu, tangkis laut alamiah,” kata Hosaini.

Untuk memenuhi kebutuhan energi, warga menggunakan pembangkit tenaga surya milik sendiri sesuai kebutuhan. Mereka tak gunakan baterai atau aki khusus tetapi pakai aki mobil. Ada pula yang punya diesel.

Menurut Hosaini, pembangkit listrik dengan pola seperti itu tak menghasilkan arus listrik stabil dan merata hingga berdampak terhadap alat-alat elektronik. Televisi LED miliknya sudah keluar garis-garis melintang di layar, padahal masih terbilang baru dan jarang sekali menyala.

Dia sudah dua kali ganti televisi. Ada juga kulkas tetangga hanya berusia satu bulan karena ketidakstabilan arus listik.

Belum lagi persoalan sinyal. Ketika waktu ujian online anak-anak sekolah, katanya, para siswa harus pergi ke laut supaya ada sinyal, naik perahu sambil mengerjakan ujian.

Paman Hosaini pernah membuka usaha PLTD untuk warga Bungin tetapi sudah berhenti karena tidak ada yang melanjutkan kala dia meninggal dunia. “Baru ada rencana untuk tenaga surya, cuma tidak tahu itu kapan, cuma datang tiangnya.”

Hosaini menilai banyak potensi bisa dikembangkan di Bungin kalau tersedia listrik, salah satu pembuatan es. Sebagai nelayan, warga sangat perlu es untuk mengawetkan hasil tangkapan. Pabrik es terdekat ada di Pulau Sapeken, jarak yang tidak dekat dari Bungin.

 

Jajaran rumah warga Bungin Nyarat dilihat dari laut. Foto: Moh. Tamimi/Mongabay Indonesia

 

Pulau lain yang masih masuk Desa Saubi adalah Pulau Sapapan. Hanya sekitar lima menit berperahu dari Saubi sampai ke Sapapan.

Matrawi, kiai kampung Sapapan bilang, di sana tidak ada penyedia jasa energi diesel. Lima tahun silam, kepala desa memberikan bantuan diesel kepada warga Sapapan. Waktu itu, warga Sapapan berpendapat, kepala desa harus menanggung semua biaya operasional, akhirnya diesel berhenti operasi.

Lama tidak dipakai, diesel pun hanya untuk keperluan mesjid.

Bagi yang mampu, warga membeli panel surya untuk memenuhi kebutuhan listrik, sebatas penerangan. Kalau warga berada, ada yang punya televisi. Warga tak mampu, numpang listrik ke tetangga atau sanak keluarga.

“Sampai-sampai kalau mau fotocopy, mau nge-print, ya ke Saubi, ndak ada di sini, ya kalau ndak ke Arjasa.”

Mata pencarian masyarakat Sapapan adalah petani, nelayan, dan peternak sapi atau kambing. Mereka bertani padi dan jagung. Pertanian hanya mengandalkan hujan karena tak ada sungai. Bila musim kemarau, mereka tidak menggarap lahan.

Matrawi mengatakan, sudah ada tiang listrik masuk ke Sapapan. Informasinya, pada 2021 akan dibangun pembangkit listrik surya.

 

Energi terbarukan potensial di kepulauan

Ary Bachtiar Krishna Putra, peneliti dan konsultan untuk audit & efisiensi energi, renewable dan waste to energy di Pusat Penelitian Energi Berkelanjutan Direktorat Riset dan Pengabdian kepada Masyarakat (DRPM) Institut Tehnologi 10 November Surabaya mengatakan, untuk pulau dengan geografis seperti di Sapapan, antara lain bisa dikembangkan energi surya dan biomassa.

Jerami, jagung, atau ranting-ranting pohon bisa jadi bahan untuk sumber energi biomassa, guna mengurangi pengunaan solar. Biomassa dalam skala kecil, kapasitas 5. 000 watt, perlu 40 kg kayu bakar perjam.

 

 

Meskipun begitu, katanya, jangan sampai hutan habis hanya untuk listrik. Dari dua sumber energi itu, katanya, lebih baik PLTS karena perawatan dan pengoperasian relatif lebih mudah daripada biomassa.

Untuk Pulau Bungin yang padat, bisa pakai pembangkit listrik tenaga gelombang laut dan PLTS. Hanya saja, instalasi tenaga gelombang laut mahal. Kalau pasang-surut laut drastis juga kurang efektif karena kinci suatu saat bisa tidak terkena gelombang. Apabila lahan menjadi masalah dalam pembuatan instalasi, panel surya bisa di atap rumah warga.

Cadangan pembangkit listrik selain PLTS penting ada, katanya, sebagai antisipasi. Melihat keadaan di Saubi, PLTD dan PLTS bisa berkolaborasi. Jadi, masyarakat juga tidak dirugikan bila PLTS kehabisan cadangan serapan energi karena kondisi alam.

“Itu harus terintegrasi supaya masyarakat lokal yang bisnis di sana gak tersingkirkan karena pasti dari dulu ia sudah seperti itu, harus bisa diayomi PLN,” kata alumni Gyeongsang National University, Korea Selatan, ini.

Warga di Saubi banyak pelihara ternak, jadi potensial pula untuk energi biogas, dari kotoran sapi. Namun, katanya, kalau sapi-sapi tidak dalam kandang ada masalah tersendiri.

“Kalau sapi liar agak sulit, gak bisa ngumpulin [kotoran sapi], terpisah-pisah, kalau ada kandang bisa diproses lebih lanjut.”

Tri Mumpuni, Direktur Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (Ibeka) Filantropis, mengatakan, dari pengalaman, sebaiknya sebelum mendatangkan instalasi dan material ke suatu daerah, sosialisasi dahulu antara lain, yang diinginkan masyarakat, sampai kemampuan mereka. Hingga mereka benar-benar memerlukan dan terlibat dari awal hingga tak dianggap proyek semata. Mereka pun tahu arti penting energi terbarukan.

Kalau infrastruktur datang sesudah masyarakat siap, mereka merasa saling memiliki. Keberlanjutan energi pun makin terjamin.

Oni Setiawan, Kepala Bidang Energi Baru Terbarukan, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Jawa Timur mengatakan, daerah-daerah terpencil, kepulauan, seperti di Sumenep memang perlu perhatian khusus.

Selama 2019, mereka telah membangun delapan PLTS di Kepulauan Sumenep, dengan sistem on grid, yakni, Goa-Goa (0,2 MW), Masakambing (0,05 MW), Sabuntan (0,1 MW), Tonduk (0,2 MW), Palliat (0,1 MW), Sakala (0,1 MW), Pagerungan Kecil (0,05 MW), Saobi (0,15 MW).

Sebelumnya juga membangun PLTD di beberapa pulau di Madura: PLTD Gili Genting (2,1 MW), PLTD Kangean (5,2 MW), PLTD Mandangin (3,2 MW), PLTD Sapeken (1,5 MW), PLTD Sapudi (4,2 MW), PLTD Bawean (7,9 MW), PLTD Gili Ketapang (0,7 MW).

Mereka berkomitmen terus meningkatkan pembangunan energi terbarukan di Jatim.

“Rencananya, 2020, ada sekitar 10-15 titik di pulau-pulau di Sumenep akan kita bangun,” katanya, beberapa waktu lalu.

 

 

Keterangan foto utama: Sampan pengangkut air ke Bungin Nyarat dari Saobi. Foto: Moh. Tamimi/Mongabay Indonesia.

Exit mobile version