Mongabay.co.id

Kala Warga Kubu Raya Berusaha Jaga Gambut [2]

Kebakaran lahan di Desa Kuala Dua, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat terus terjadi hingga Selasa (14/7/15). Foto: Andi Fachrizal

 

 

 

 

Kehadiran perkebunan sawit skala besar bisa mengubah pola hidup warga. Warga beralih mata pencarian karena sebagian sudah tak berlahan, atau lahan berkurang, maupun sektor usaha seperti perikanan tangkap meredup karena perubahan lingkungan hidup. Warga desa sekitar pun banyak jadi buruh perusahaan karena keterbatasan mata pencarian, termasuk makin banyak jadi buruh perempuan. Potret ini antara lain terihat di Desa Sungai Deras, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.

“Warga desa sekitar pun banyak jadi buruh perusahaan karena keterbatasan mata pencarian, termasuk buruh perempuan,” kata Agus Sutomo, peneliti Yayasan Earth Equalizer.

Tak hanya itu. Kehadiran perkebunan skala besar juga menimbulkan kerusakan lingkungan hidup, berujung bencana seperti kebakaran hutan terlebih kawasan itu merupakan lahan gambut.

Baca juga: Potret Buruh Perempuan Perkebunan Sawit di Kubu Raya [1]

Kubu Raya, satu kabupaten langganan kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat. Hasil analisa spasial oleh Perkumpulan Sampan, pada 2015, melalui peta tumpang susun perizinan dengan peta gambut menunjukkan, 726.000 hektar atau 45,87% lahan gambut sudah terbebani izin investasi berbasis hutan dan lahan.

Dari luasan itu, sebanyak 386.000 hektar terbebani izin untuk 110 perusahaan pertambangan, 136,000 hektar delapan perusahaan HPH, 635,470 hektar untuk 240 perusahaan sawit dan 60 izin untuk HTI.

Kondisi ini, katanya, diperparah ketika perusahaan dalam operasi usaha tidak disertai dengan manajemen pengelolaan tata air gambut, hingga lahan gambut mengalami kerusakan.

Contoh, di Desa Sungai Deras. Walau bukan tergolong desa miskin, namun wilayah kelola masyarakat sangat kecil. Dari pemetaan sosial dan spasial, Desa Sungai Deras secara partisipatif pada 2019, terlihat pola pemanfaatan tanah dan sumber daya alam Desa Sungai Deras didominasi kebun sawit.

Luasannya, mencapai 65,77% dari wilayah desa. Terlihat proporsi tak seimbang dalam pemanfaatan lahan hingga warga tidak dapat memanfaatkan potensi lahan secara maksimal pada area lainnya.

 

Langsat, salah satu buah musiman andalan Kubu Raya, bahkan Kalbar. Sentra buah ini ada di Punggur Besar, Kecamatan Sei Kakap. Apa jadinya, jika buah-buah lokal seperti ini suatu waktu berubah menjadi sawit? Foto: Sapariah Saturi/Mongabay Indonesia

 

Pemanfaatan tanah dan sumber daya alam pada area hortikultura sangat sedikit dengan persentase sebesar 0,03%.

Di Sungai Deras, ada hutan desa seluas 1.982 hektar. Sebagian besar sudah terdegradasi. Kawasan yang terdegradasi seluas 64,88%, sisanya berhutan 35,12%.

Meski pernah terbakar, hutan desa memiliki keragaman hayati flora dan fauna tinggi, Daya dukung ekosistem itu, katanya, berkurang. Jati dan ramin termasuk jenis flora yang sudah punah karena penebangan liar. Sedangkan flora yang lain seperti nipah mengalami peningkatan populasi.

Peta Peatland Restoration Information Monitoring System (PRIMS), platfom daring berbasis spasial yang menyediakan informasi terkini tentang kondisi lahan Desa Sungai Deras. Desa bergambut ini masih terlihat ada areal terbakar.

Ada insiatif menarik dari warga terutama para perempuan dari Desa Sungai Nipah, tetangga Sungai Deras. Sungai Nipah ini seluruh wilayah bergambut. Di desa ini, warga berupaya kelola gambut dengan cara tak merusak, agar gambut tetap basah.

Wendrika, Fasilitator Desa Peduli Gambut mengatakan, karakteristik warga Desa Sungai Nipah mengandalkan hidup dari perkebunan sawit. Meskipun begitu, warga desa berhasil tergugah kembali mengelola lahan, terutama dengan pola pertanian tanpa bakar.

“Banyak ibu-ibu yang antusias,” kata Wendrika, fasilitator Desa Sungai Nipah.

Saat dia bertugas di sana, ibu-ibu kerap bertandang ke rumah warga yang didiami Wika. Tak sungkan mereka bertanya-tanya tentang pertanian. Mereka mulai merasakan manfaat mengelola lahan sendiri.

Wika berharap, masyarakat tergerak kembali mengelola lahan mereka hingga tak tergantung jadi buruh sawit.

Di desa itu, kebakaran lahan gambut pertama kali terjadi saat pembukaan lahan perkebunan sawit pada 2011 dan 2012. Kebakaran berulang terjadi pada 2015, 2016 dan 2018.

“Langkah antisipasi masyarakat agar lahan tidak kembali terbakar antara lain membangun parit-parit pemutus api dengan lebar tiga meter,” kata Wika.

Tadinya, desa ini juga masuk dalam wilayah rawan kebakaran hutan dan lahan berdasarkan peta indikatif rawan karhutla dari Balai Kesatuan Pengolahan Hutan (KPH) Wilayah Kubu Raya. Hal jadi alasan kuat restorasi gambut harus jalan di Desa Sungai Nipah.

Di Desa Sungai Nipah warga mengelola lahan gambut untuk budidaya tanaman hortikultura, seperti sayur mayur dan buah-buahan. Tanaman hortikultura tanam di sela-sela karet dan kopi. Warga juga punya produk andalan berupa jahe instan.

.“Kami mengembangkan teh rosela, dan sudah dipasarkan melalui marketplace, atau media sosial,” katanya. Wika juga berhasil menggugah perangkat desa untuk berkomitmen melindungi gambut dengan masuk dalam anggaran belanja desa.

Berdasarkan data pemetaan partisipatif baik sosial maupun spasial, terlihat perkebunan sawit milik perusahaan dan perkebunan masyarakat mendominasi pemanfaatan lahan Sungai Nipah seluas 622,97   hektar.

“Ini jadi perhatian serius karena   pengembangan perkebunan sawit dalam jumlah besar maupun kecil tentu pengeringan lahan agar sawit tidak terendam air,” kata Wika.

 

Sawit petani di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Warga juga diajarkan mengembangkan formula mengurangi keasaman sekaligus meningkatkan PH tanah. Formula berupa pupuk cair itu gunakan bahan-bahan yang mudah didapatkan seperti kotoran ayam, gula pasir, kepala udang, nanas, tepung terigu dan lain-lain.

Setelah jadi formula itu baru disirami ke lahan bedengan yang sudah disiapkan. “Ibu-ibu dan bapak petani sangat antusias, dengan pelatihan ini. Terlebih hasilnya cukup memuaskan.”

Desa Sungai Bemban, juga berdekatan dengan Sungai Deras. Dua desa ini sudah lama sengketa tapal batas.

Julia, peneliti isu perempuan dan sawit untuk Sajogyo Institute, pada 2014, menemukan fakta persoalan tapal batas antar desa ini berlangsung setelah perkebunan sawit masuk.

Mengenai tata batas atau menentukan luas areal perkebunan sawit, katanya, masih jadi persoalan. Artinya, siapapun yang memenangkan sengketa ini akan mendapatkan bagi hasil dari perusahaan perkebunan lebih besar.

Hendrikus Adam, dari Walhi Kalbar, mengatakan, kalau pada suatu daerah ruang hidup masyarakat adat dan komunitas lokal sudah didominasi konsesi perkebunan sawit, jelas kedaulatan rakyat atas sumberdaya alam dan lingkungan hidup telah tercerabut.

“Hadirnya investasi berbasis legalitas menyebabkan terjadi peralihan lahan yang status awal hak milik jadi hak guna usaha dengan masa puluhan tahun, dapat diperpanjang.”

 

Komitmen

Bagaimana tanggapan pemerintah? Muda Mahendrawan, Bupati Kubu Raya berjanji, menggenjot produktivitas pertanian di Kubu Raya dan memetakan kawasan-kawasan pertanian.

Kawasan ini, katanya, agar tidak dikonversi lahan warga jadi kebun sawit. “Kita berikan gambaran, jadi petani pun bisa sukses dengan perlakuan yang tepat,” katanya.

Setelah Kabupaten Sambas, Kabupaten Kubu Raya merupakan daerah penghasil beras kedua di Kalimantan Barat. Banyak program untuk membantu petani lokal dibikin Muda. Antara lain, menyerap beras lokal untuk alokasi PNS Kubu Raya. Begitu pula dengan hasil kebun dan hasil perikanan budidaya.

Muda beri saran agar lahan pertanian tak kena konversi. Dia mengatakan, warga harus benar-benar bisa merasakan manfaat, termasuk di gambut. “Kita sudah adakan rapat koordinasi dengan semua pemangku kepentingan terkait, termasuk semua perusahaan yang berbasis lahan, yang ada di Kubu Raya.” (Selesai)

 

 

Keterangan foto utama: Ilustrasi. Kebakaran lahan di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Foto: Andi Fachrizal/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version