Mongabay.co.id

Merawat dan Mengolah Sagu, Bentuk Kearifan Orang Sentani

 

Langit Kampung Yoboi terlihat cerah saat perahu motor yang saya tumpangi tiba di dermaga. Kampung yang terletak di pinggir Danau Sentani ini tampak asri. Rumah-rumah tinggal berbentuk rumah panggung yang dibangun memanjang di tepi danau.

Beberapa anak  tampak bermain di dermaga kayu yang dicat warna warni. Di dekat mereka, beberapa orang dewasa asyik bercerita di obhe di depan gereja GKI Maranatha.

Awal tahun 2019 rumah-rumah warga sempat terendam air karena meluapnya air Danau Sentani. Banjir waktu itu juga melanda kota Sentani.

Peristiwa itu memaksa mereka harus mengungsi untuk sementara waktu. Sekarang rumah-rumah tersebut sudah diperbaiki dan dicat warna-warni dan dikenal sebagai kampung warna-warni.

Kampung Yoboi, sejatinya dihuni suku-suku lokal yaitu Bhuyakha, yang terambil dari kata bhu (air) dan yakha (terang). Bhuyakha artinya air terang, atau orang-orang yang tinggal di dekat air (danau). Masyarakat umum menyebutnya orang Sentani. Ada 116 kepala keluarga yang berasal dari 5 marga yakni Tokoro, Wally, Depondoye, Sokoy dan Yom.

Suku Bhuyakha menyebar di beberapa kampung (yo). Terbagi dalam tiga wilayah yakni Sentani Timur, Sentani Tengah dan Sentani Barat dengan dialeknya masing-masing. Kampung Yoboi sendiri termasuk wilayah Sentani Tengah, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura.

Untuk mencapai Kampung Yoboi, kita dapat melalui jalur darat dan danau. Jalur darat, perjalanan dimulai dari Pasar Lama Sentani sampai Dermaga Yahim. Waktu tempuhnya sekitar tujuh menit. Jalur danau, yaitu dari Dermaga Yahim ke Kampung Yoboi.

Waktu tempuh sekitar tujuh menit jika air danau tenang. Jika musim angin atau air danau bergelombang, perjalanan memakan waktu kurang lebih lima belas menit. Biaya transportasi danau, tidak mahal, hanya sepuluh ribu per orang.

 Baca juga: Merawat Huan Sagu di Sentani

 

Kampung Yoboi dilihat dari Danau Sentani. Di belakang kampung terlihat hutan sagu. Foto: Yosep Levi

 

Suku Bhuyakha menggantungkan hidupnya dari hasil ikan (kha) di danau. Ikan gabus atau nama lokalnya khayou menjadi andalan mata pencaharian mereka, meski saat ini sudah mulai sulit dijumpai karena introduksi ikan merah dan ikan mujair.

Untuk kebutuhan pokok, seperti penduduk asli di Sentani, orang Bhuyakha di kampung Yoboi memanfaatkan sagu. Menokok sagu (fi) sudah mereka praktekkan secara lintas generasi. Papeda adalah makanan pokok mereka yang terambil dari pati pohon sagu yang berumur sepuluh sampai belasan tahun.

Dalam proses pemanfaatan hasil alam maka ada pengaturannya. Demikian juga dengan sagu. Di Yoboi, yang mengatur proses pengelolaan dan pemanfaatan sagu adalah Marga Tokoro.

“Sebelum manusia ada, Tuhan sudah ciptakan sagu, tugas manusia mengatur dan mengelolanya,” jelas Hans Tokoro, salah seorang tetua marga.

Dia bilang, -kalau ada kebutuhan seperti pesta adat, ondofolo (pemimpin adat tertinggi di kampung) akan memanggil yang punya kepentingan untuk kumpul.

Misalnya pesta adat, masing-masing anggota masyarakat dipanggil rapat dan mempersiapkan jalannya acara sesuai bidangnya masing-masing. Ada yang berburu, ada yang siapkan ikan, dan lainnya.

“Kalau saya bagiannya, urusan sagu,” ungkap Hans lagi.

Baca juga: Menjaga Sagu, Harapan Menuju Kedaulatan Pangan Papua

 

Warga Yoboi saat sedang bergotongroyong menguliti Sagu. Foto: Yosep Levi

 

Sagu, Tanaman Penting Orang Yoboi

Hutan sagu terletak di bagian barat permukiman. Ia dimiliki oleh warga dari tiga kampung yakni Yoboi, Simporo dan Babronko. Zaman dahulu, warga ketiga kampung ini bermukim di Ajau lalu menyebar dan mendiami ketiga kampung tersebut.

Dari hutan sagu ini, berbagai jenis makanan kebutuhan pokok seperti pati sagu yang diolah menjadi papeda. Selain papeda, batang sagu juga biasa dipakai sebagai media untuk menghasilkan ulat sagu (sabeta) dan jamur (fenlung)

Lokasi hutan sagu juga menjadi tempat berburu binatang buruan seperti babi hutan. Babi hutan biasanya mendatangi lokasi ampas sagu. Orang Yoboi biasanya membuat pondok dekat tempat ampas sagu, mereka menunggu babi datang lalu memanahnya.

Meskipun dewasa ini, sistem mata pencaharian hidup masyarakat Yoboi mulai bervariasi, -dimana ada warga yang bekerja sebagai ANS, maupun karyawan swasta di kota, namun  menangkap ikan di danau dan menokok sagu tetap merupakan pekerjaan pokok mayoritas warga.

“Sagu dimanfaatkan untuk atap rumah dan sarana cari ikan di danau,” terang Demas Tokoro.

Dia lalu menjelaskan kegunaan sagu yang lain. Batang pelepah sagu (gabah) biasa dimanfatkan untuk dinding rumah. Kulit batangnya dipakai untuk  jalan, kayu bakar, dan lantai rumah.

Tidak semua jenis tanaman sagu dapat dimanfaatkan untuk kontruksi rumah. Sagu yang cocok sebagai dinding rumah yaitu sagu yebha dan sagu wani karena sifatnya batangnya yang tahan lama.

Sagu bhara juga dapat digunakan, tetapi proses pengerjaannya membutuhkan waktu lebih lama. Untuk atap, warga menggunakan daun sagu yebha, bhara, dan wani.

Sagu yang cocok digunakan sebagai lantai rumah adalah sagu yebha. Menurut Kevin Wally, -seorang warga kampung, lantai rumahnya saat ini menggunakan kulit batang sagu yebha. Dia sebut sudah bertahan enam tahun tanpa diganti.

 

Jamur Sagu atau Fenlung yang dikonsumsi oleh masyarakat. Foto: Yosep Levi

 

Sedangkan untuk kayu bakar, sagu yebha dan bhara dianggap menghasilkan nyala api lebih bagus dan kurang berasap ketimbang jenis sagu lain.

Lain lagi untuk mengikat barang bawaan dan membuat tali, jenis sagu yang dipakai untuk keperluan ini adalah jenis sagu osukhulu. Jenis sagu ini jarang tumbuh di pinggir perumahan warga. Lebih banyak tumbuh di tengah hutan sagu.

Orang-orang zaman dulu biasa gunakan sagu osukhulu sebagai tali untuk membawa ikan ketika berjualan di pasar. Ikan tidak di jual per tumpuk tetapi per tali.

Selain sumber karbohidrat, sagu juga menjadi sumber protein, seperti ulat sagu dan jamur. Untuk menghasilkan ulat sagu, pokok batang sagu yang telah ditebang dibuat celah dengan jarak masing-masing sekitar setengah meter.

Pokok sagu lalu dibiarkan selama dua sampai tiga bulan. Celah batang sagu itu pun akan menjadi sarang bagi onjunjung untuk bertelur dan menghasilkan ulat sagu.

Dalam mengelola sagu menjadi papeda, ada pembagian tugas berbasis gender. Tugas laki-laki menebang, menguliti, menokok sagu. Sedangkan perempuan memiliki tugas meremas sagu dan membuat papeda.

Dengan berkembangnya zaman, sagu yang dulu hanya dikonsumsi sehari-hari dan upacara-upacara di kampung, sekarang juga dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup lain.

Sagu yang dijual biasanya berupa hasil olahan tepung sagu basah. Hofni Wally, -seorang warga, memanfaatkan hasil sagu untuk biaya pendidikan anak-anaknya. Dua anaknya sekarang ada di bangku sekolah dasar, satu anaknya di sekolah menengah atas dan satunya di perguruan tinggi.

 

Batang sagu yang telah melewati masa panen akan roboh dan jadi media tumbuh jamur dan ulat sagu. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Satu pohon sagu berduri sebutnya dapat menghasilkan sepuluh sampai lima belas karung ukuran lima belas kilogram. Adapun, sagu tidak berduri berkisar delapan sampai sembilan karung lima belas kilogram.

“Satu karung kalau harga sedang bagus bisa jual Rp.300.000. Jika harga turun, satu karung dijual Rp150.000 – Rp.250.000,” sebut Hofni. Dalam satu bulan, Hofni menebang empat sampai lima pohon sagu.

Dalam mengelola dan menebang pohon sagu, ada aturan yang tidak boleh dilanggar. Hans Tokoro menyebut ada amanat leluhur yang berpesan bahwa sagu hanya boleh ditebang seperlunya. Tidak boleh asal tebang.

“Biasanya orang yang setiap hari tokok sagu, menurut orang tua dulu dia akan segera meninggal. Ungkapan-ungkapan itu tersimpan dalam ingatan masyarakat sampai sekarang. Jika ada warga yang rajin menokok sagu, ada warga lain akan mengingatkan dia,” tutur Hans.

Meskipun demikian, sagu yang yang sudah usia panen harus ditebang. Jika tidak, ia akan membusuk. Sagu dewasa, harus ditebang agar tidak menghalangi anakan sagu yang tumbuh.

Menebang pun ada aturannya, tidak boleh jatuh ke anakan sagu. Proses penebangan pohon sagu pun biasanya dilakukan di area yang jauh dari pemukiman warga.

Menurut Demas Tokoro, pohon sagu di dekat pemukiman warga dipelihara untuk melindungi rumah warga dari marabahaya seperti angin barat.

Selain itu, sagu yang tumbuh di dekat perumahan warga juga menyimbolkan tingkat kesejahteraan warganya. Bilamana ada tamu datang berkunjung, mereka akan melihat seberapa rimbun sagu di dekat rumah. Jika lebat, niscaya kampung itu dianggap sejahtera.

Baca juga: Sagu, Sumber Pnngan Nasional yang Belum Dimaksimalkan

 

 

Sagu dan Solidaritas Sosial

Bagi orang Bhuyakha, sagu menempati posisi lebih tinggi dari jenis makanan lainnya seperti pisang. Mengolah sagu di dusun lalu menjadi suatu kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan hidup.  Sejak zaman leluhur, mereka biasa menyediakan stok sagu di tiap keluarga. Wadah menyimpan sagu harus tetap terisi untuk antisipasi bahaya atau musibah seperti kematian.

“Kalau ada saudara atau tetangga kita di kampung yang sedang mengalami musibah kematian, kita harus siapkan sagu untuk konsumsi orang-orang yang datang melayat,” sebut Demas.

Sagu juga sebagai bahan wajib dalam pembayaran mas kawin. Apabila mas kawin anak perempuan akan dibayar, saudara laki-laki mama akan membawa makanan, diantaranya sagu.

Mas kawin anak perempuan yang dibayar, sebagian akan diberikan kepada saudara laki-laki mamanya. Selanjutnya, harta atau mas kawin tersebut akan disimpan untuk membayar mas kawin anak laki-laki.

“Misalnya anak perempuan saya menikah di tempat lain, menjadi suatu keharusan dari orang tua untuk mengantar sagu ke anak perempuan. Kalau sudah antar sagu, pasti ada babinya lagi. Selain ke anak perempuan, juga ke tante, keponakan perempuan,” tutur Demas.

Jenis sagu yang biasa digunakan adalah sagu dengan kualitas terbaik dan jumlah banyak, yaitu sagu bhara dan yebha.

Makan dan mengolah papeda secara bersama juga menjadi simbol keakraban dan kegotongroyongan antar warga. Biasanya mereka menggunakan hiloi atau semacam garpu yang terbuat dari kayu.

Tamu yang hadir pun disuguhi papeda, sebagai bentuk ungkapan persaudaraan. Di Yoboi, menjamu tamu adalah kewajiban dan tradisi turun temurun.  Tamu yang datang tidak boleh pulang dengan rasa lapar.

“Merawat sagu sama layaknya merawat diri kita. Dari mulai menebang sampai menjadi papeda harus dilakukan dengan baik. Kalau ada sagu yang jatuh ke lantai, harus dicuci, jangan diinjak. Jika saya memperlakukan sagu secara baik, saya tidak akan mendapat musibah tapi beroleh rejeki,” tutup Demas.

 

* Yosep Levi, penulis adalah blogger dan vloger, tinggal di Jayapura. Artikel ini didukung oleh Forest Watch Indonesia (FWI), Universitas Pattimura dan Mongabay Indonesia.

 

***

Tokok sagu, sagu adalah sumber pangan khas dari Papua. Foto: Lusia Arumngtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version