Mongabay.co.id

Upaya Komunitas Andespin Pulihkan Mangrove di Sumatera Barat

 

 

 

 

Awan mendung menggantung di atas perbukitan pesisir Sumatera Barat, siang itu. Meski begitu, Sarni bersama beberapa perempuan lain tetap mengambil satu per satu polybag berisi bibit mangrove yang berantakan. Kerbau bikin anakan mangrove acak-acakan.

Air muka perempuan 60 tahun ini serius merapikan polybag-polybag basah itu. Nurna, rekannya, memperlihatkan kaki yang mengalami luka ringan. Dia terpeleset di dekat pembibitan bakau seluas hampir satu hektar ini. Meski pun begitu dia tetap bekerja, daripada diam di rumah.

Pekerjaan ini menurut perempuan peruh baya ini tak sulit. Mencari bibit, menanam di polybag, begitu seterusnya. Sehari dia bisa membibitkan mangrove sampai 700 polybag. Bagi yang membibitkan mangrove sampai 1.000 bibit akan dibayar Rp100.000. Beberapa ibu bersemangat.

Pendapatan tambahan ini lumayan terlebih mereka ada tambahan pengeluaran sejak ada sekolah online. Uang buat beli kuota internet anak dan pengeluaran lain.

Lagi pula, kata Nurna pembibitan dan penanaman mangrove ini bagus untuk pantai. “Banyak yang sudah rawan (abrasi). Kena gelombang habis pantai. Sempat longsor juga. Setelah menanam ini baru agak aman sedikit,” katanya dalam bahasa Indonesia terbata-bata.

Nurna dan Sarni adalah warga Nagari Sungai Pinang, Kecamatan Koto XI, Tarusan, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Dia ingat betul abrasi Juli pada 2014 di nagarinya.

 

Pranaya bocah SD Sungai Pinang yang membantu membibitkan mangrove dan insentif untuk tambahan uang jajan. Foto: Jaka HB

 

***

Selama empat hari berturut-turut abrasi terjadi sekitar subuh hingga pukul 11.00 siang. Ada enam rumah warga roboh terkena dampak abrasi. Beberapa kelapa milik masyarakat di pantai pun tenggelam. Mengingat masalah itu, warga sadar penting menanam mangrove ini.

Tak ada kendala yang dirasakan Nurna saat membudidayakan mangrove ini. Dia tinggal mencari bibi di pinggir laut dan menanam di polybag. Supaya pembibitan mangrove lebih banyak, Nurna mengajak 70 warga desa terdiri dari ibu-ibu dan beberapa lelaki.

“Ini karena mendung dan sempat hujan jadi tidak banyak yang ikut. Biasa ramai,” katanya.

Tak hanya karena waktu luang, kondisi ekonomi selama pandemi membuat Sarni, Nurna dan banyak ibu rumah tangga di Desa Sungai Pinang kekurangan pemasukan. Biasa mereka bersandar mata pencarian pada pertanian dan nelayan.

Awalnya, mereka bingung mencari tambahan, sampai David yang merupakan pendiri Komunitas Anak Desa Sungai Pinang (Andespin) menawarkan pembibitan dan penanam mangrove dengan insentif.

David, pendiri Komunitas Andespin mengatakan, ingin menetapkan Pantai Karang Taungguak, sebagai pembibitan mangrove Sungai Pinang.

“Kami ingin Nagari Sungai Pinang jadi setok bibit mangrove terbesar di Sumatera Barat,” katanya. Dia menargetkan, tahun depan bisa mengadakan setok satu juta bibit.

David punya dua tujuan pembibitan mangrove. Pertama, melihat kondisi lingkungan sangat memprihatinkan. “Terutama, bagian laut seperti terumbu karang, mangrove dan banyaknya sampah hanyut di laut,” katanya.

Kedua, mengatasi abrasi pantai yang menciptakan sumber rantai makanan biota-biota yang hidup di sekitar mangrove.

Dia bilang, ancaman abrasi sangat nyata. Rumahnya di bibir pantai hampir terkena. Tujuh meter tanah pantai amblas dari pinggir laut sampai ke 10 meter di seberang pekarangan rumahnya.

“Itu di bawahnya sekarang sudah ada turap.”

Selain rumah David, juga enam rumah warga lain. Para pemilik rumah mengungsi ke tempat keluarga mereka. Kini, mereka sudah bangun rumah lain tidak dekat laut.

Mengenai target pembibitan mangrove ini David punya mimpi besar. Dia dan Andespin ingin menanami mangrove semua pantai kritis di Sumbar.

Nagari tetangga, katanya, Nagari Sungai Nyalo dan Nagari Sungai Pisang. Dua nagari itu, katanya, sudah rawan abrasi. “Itu dua nagari terdekat. Kondisi kerusakan terjadi merata di Sumbar.”

 

Pembibitan mangrove Andespin oleh ibu-ibu setempat. Foto: Jaka HB

 

***

Ingatan David mengenang masa sekolah dasar. Saat permainan sepak bola jadi sangat favorit dengan teknik hingga nama-nama klub mereka. Pada masa inilah muncul Andespin, nama klub bola nagari yang diikutinya semasa itu.

Setiap klub bola punya nama-nama dan simbol-simbol menarik. Dia pun berpikir, mengapa tidak gunakan lagi Andespin sebagai komunitas selam dan selancar yang akan dia bikin di kampung hala man setamat kuliah di Universitas Bung Hatta (UBH).

Ide ini dia dasari pengalaman David yang sempat jadi ketua unit kegiatan mahasiswa selam di UBH. Dia pun bikin base camp di samping rumah ibunya.

Sambil selam dan selancar, David juga melakukan bersih-bersih sampah di sepanjang pantai. Warga sempat mengatakan David gila karena tak bekerja sesuai pendidikan. Warga merasa aneh sarjana hanya bersih-bersih pantai.

Waktu berjalan. David ingin tak hanya mengajarkan anak-anak selancar. Di base camp David punya beberapa buku. Lantas dia mencari sumbangan buku.

“Awalnya, dari teman-teman mahasiswa Universitas Bung Hatta. Lalu setiap yang datang ke sini kadang juga menyumbangkan buku. Buku apa saja.”

Setelah itu, setiap anak harus membaca dulu 30 menit baru boleh selancar. Setidaknya anak-anak punya wawasan dari membaca.

Sesekali mereka nonton dan diskusi film bareng terkait pendidikan. Sesekali juga mengajak anak-anak berkeliling membersihkan sampah. David juga mengajarkan anak-anak desa budidaya terumbu karang.

Komunitas Andespin ada 10 orang. Tujuh peselancar dan penyelam. Tiga orang bidang lain. Seperti Nurna misal, dia khusus berdayakan perempuan di Desa Sungai Pinang.

Andespin resmi berdiri sejak 2016. Beberapa rencana David tercapai. Rencana mengembangkan wisata mangrove di Pantai Taungguak, Manjuto, Nagari Sungai Pinang, mulai berjalan. Budidaya terumbu karang dan rumput laut mulai berjalan. Pendidikan alternatif buat anak-anak sekitar juga berjalan.

David dan kawan-kawannya juga mengembangkan taman terumbu karang. Lokasi ada di laut tak jauh dari desa. Hanya peneliti atau orang-orang tertentu yang mereka bawa ke sana.

Menurut David, taman terumbu karang tidak akan mereka ekspose besar-besaran. Dia khawatir turis lokal atau orang yang tak bertanggungjawab menelusuri hingga nasib mereka sama seperti terumbu karang lain, rusak.

Selain membudidayakan terumbu karang, Andespin memanfaatkan laut untuk menambah variasi pendapatan selain ikan. David dan Andespin mulai budidaya rumput laut di desa mereka. Dia meyakini potensi laut mereka sangat besar.

 

Para perempuan sedang bibitkan mangrove. Foto: Jaka HB

 

Sanitasi dan air bersih

Beberapa tahun lalu, David sempat bekerja di kantor nagari atau setingkat desa. Dia melihat banyak warga masih buang air besar (BAB) di sembarang tempat. Kondisi ini bisa ganggu kesehatan mereka.

Dia pun mengusulkan program pembangunan toilet untuk masyarakat. “Kini setiap rumah sudah ada toilet. Satu masalah terlupakan, jarak sumber air dan toilet jadi berdekat-dekatan,” katanya.

Permasalahan air ini, katanya, mungkin tidak akan terasa dalam satu dua tahun ke depan, tetapi jangka panjang. David pun menjalin kerjasama dengan mitra dari institusi untuk air bersih.

“Kemungkinan tahun depan terealisasi,” katanya.

Meski begitu, katanya, masih banyak pekerjaan mesti mereka lakukan terkait lingkungan hidup di kampung halamannya.

 


 

Exit mobile version