Mongabay.co.id

Ada Kesusahan Orang Pahou dalam Pasok Sawit dari Pasangkayu

Jalan menuju Baribi. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Minyak goreng, margarin, shampo, dan banyak lagi produk menggunakan sawit. Sawit-sawit yang jadi beragam produk di pasaran itu, antara lain berasal dari Baras, Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat. Warga lokal di daerah ini sedang berjuang mendapatkan kembali lahan mereka, yang berkonflik dengan perusahaan sawit.

Pesisir dan pedalaman Baras, terhubung oleh jalan yang mengiris kebun-kebun sawit. Siang, panas begitu menyengat, malam terasa lembab. Di bagian pesisir, nelayan mendirikan rumah mereka menghadap laut dan jalan poros. Di pedalaman, sawit mengepung perkampungan warga.

Baca juga: Orang Pahou Hidup Sulit Kala Ada Perusahaan Sawit

Baras, rumah Komunitas Pahou Pinatali, bagian rumpun Suku Kaili Uma. Mereka dipimpin seorang bergelar tetua. Dalam komunitas kecil itu, orang-orang saling kenal dan memiliki ikatan keluarga.

Samsal, tinggal di Bambaloka, perkampungan Orang Pahou, bagian pesisir. Dia keturunan orang Pahou.

Meskipun tinggal dekat laut, mereka tetap bercocok tanam karena sudah tradisi. Mereka menggarap lahan di pedalaman, hutan nan berbukit, jauh dari rumah. Orang Pahou ini berladang padi, menggembala kerbau, hingga tanam kakao. “Pokoknya apa yang bisa jadi makanan manusia itu kita tanam. Yang banyak, cokelat,” kata Samsal.

Bagi orang Pahou, kakao adalah penopang ekonomi keluarga dan berladang. Samsal mengenang hidup mereka penuh damai dulu. Hutan menyediakan sagu melimpah buat mengisi perut. Bila ingin menyantap ikan, cukup mencari ke sungai. Meski di sebagian tempat, perusahaan kayu sedang mencabik-cabik hutan itu.

Sayangnya, kedamaian yang dirasa Samsal tidak berlangsung lama. Pada 1987, pemerintah melepas lahan garapan orang Pahou ke perusahaan sawit, PT Unggul Widya Teknologi Lestari (UWTL), anak usaha Widya Corporation. Kala itu, Samsal masih duduk di sekolah dasar.

Berulang kali mereka pindah berladang, berulang kali pula dapat klaim kalau itu lahan perusahaan. Kini, mereka mempertahankan lahan di tepi Sungai To’o.

 

 

Lahan ini, mereka garap secara adat seperti dulu. Tanam kakao, kelapa, dan lain-lain. Orang Pahou yang meninggal kelak dikubur di sini. Di sebagian tempat, PT Agribaras, bagian UWTL juga tanam kakao.

Pada 2003, perusahaan meluaskan kebun sawit, bertahap, hingga ke lahan garapan Orang Pahou, di tepi Sungai To’o. Agribaras, mengganti kakao ke sawit. Wilayah ini masuk afdeling Baribi, kebun kelolaan perusahaan. “Itu 2005 kemarin, Brimob datang. Langsung ditumbang itu cokelat,” kata Hukma, tetua Pahou.

Baca juga: Nasib Perempuan dalam Pusaran Konflik Lahan dengan Perusahaan Sawit di Pasangkayu

Bagi Hukma, tak ada lahan bertani berarti petaka. Pondok ini, Hukma bangun pada 2014, ketika orang Pahou, mulai menduduki lahan perusahaan yang mereka minta kembalikan, seluas 1.050 hektar. Di sini, Barto, putera bungsu Hukma lahir. Hingga kini, 30-an keluarga bertahan.

Mereka menempati pondok yang dibangun sendiri. Hidup seadanya, bersama anak, cucu. Pendudukan adalah pilihan terakhir. Upaya hukum, kata Hukma, telah ditempuh, berujung mengecewakan. Mereka bilang, Pemerintah hanya menanggapi sambil lalu.

Mereka yang bertahan tahu bakal hadapi bermacam resiko. Hukma dan Samsal sempat dipenjara buntut konflik lahan ini. Sebagian menyerah, memilih berdamai, tetapi tak bagi Hukma dan warga yang masih terus bertahan.

“Sepanjang tidak ada penyelesaian, sampai kiamat tidak akan kita tinggalkan ini!” kata Hukma.

Di lahan sengketa, Hukma hidup dari memungut gerondolan sawit yang berserak setelah panen, yang lain memanen buah sawit. Hasil penjualan digunakan buat tutupi biaya keluarga.

Hukma berharap menjadi mitra, tetapi punya lahan jadi syarat. Mustahil bagi kelompok Hukma. Sejak 2015, perusahaan dan warga, berbagi waktu panen. “Yang penting tidak saling mengganggu,” kata Hukma.

 

Rantai pasok sawit

UWTL beroperasi dengan skema PIR-Trans, pola ini menyelaraskan program transimigrasi Pemerintah Indonesia. Sepuluh Satuan Pemukiman (SP) dibangun. Para transmigran itu datang dari Jawa, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan lain-lain. Di Baras, mereka ikut budidaya sawit.

Di Baras, UWTL menguasai 8.823,33 hektar, atau sekitar 31% dari seluruh Kecamatan Baras. Sebagian konsesi dari pelepasan hutan produksi konversi (HPK), sebelumnya hak pengusahaan hutan (HPH). Kebun plasma seluas 6.140 hektar digarap 3.070 keluarga.

 

 

Pendiri UWTL adalah Tjiungwanara Njoman. Semula, dalam Majalah Tempo, UWTL hanya menyasar pasar sawit dalam negeri. Di Baras, UWTL juga mendirikan Bank Pengkreditan Rakyat Agrimakmur Lestari. Di Sulbar, anak usaha Widya Corporation lain, PT Manakarra Unggul Lestari (MUL) beroperasi di Tommo, Kabupaten Mamuju.

Bagi UWTL, kata Muhtar Tanong, Kuasa Direksi UWTL, menghormati HAM itu mutlak, satu contoh dengan menjamin kesejahteraan para pekerja.

“Kesempatan kerja baik langsung maupun efek multi [juga] terbukti dengan geliat perokonomian di sekitar perkebunan.”

Pada 2016, UWTL mendapat sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), satu ‘standar hijau’ wajib bagi pelaku sawit di Indonesia.

ISPO bukan tanpa kritik. Ketelusuran sawit dan penghormatan terhadap prinsip-prinsip HAM tak terakomodir dalam ISPO baru lewat Peraturan Presiden Nomor 44/2020. Para pegiat dan aktivis lingkungan hidup ragu sertifikasi ISPO baru ini, bisa menjawab berbagai persoalan seputar industri sawit seperti deforestasi, perusakan gambut, dan kerusakan lingkungan hidup. Juga, konflik lahan dan sumber daya alam, sampai pelanggaran hak-hak masyarakat adat/lokal maupun pekerja.

Beberapa tahun terakhir, geliat industri sawit di Indonesia memang menarik sorotan para aktivis lingkungan dan HAM, konsumen, hingga peneliti. Meski di sisi lain, produk sawit di Indonesia menjadi bahan penting buat produk sehari-hari.

Sorotan ini, biasa tertuju pada konflik agraria, perusakan hutan, kondisi buruh, korupsi, hingga perusakan habitat satwa liar. Harapannya, industri sawit bisa berjalan berkelanjutan, dari kebun hingga produk ke konsumen.

Selain standar wajib pemerintah, juga ada standar hijau sawit lewat Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), dengan keanggotaan sukarela.

Anggota RSPO adalah petani, pembeli, pedagang, pemantau lingkungan, dan perusahaan dan lain-lain. UWTL bukan anggota RSPO. Meskipun begitu, beberapa perusahaan anggota RSPO, merupakan pelanggan UWTL, seperti Wilmar International, Vandemootele, hingga Sime Darby. Pembeli, macam Nestle—anggota RSPO– juga mencatat produk sawit dari perusahaan pemasok mereka, berasal dari UWTL.

“RSPO seharusnya mencegah pelanggaran HAM, tetapi tidak ada jaminan untuk itu,” kata Phil Aikman, Direktur Kampanye Mighty Earth, organisasi kampanye lingkungan internasional.

Di Mighty Earth, Aikman, fokus pada konservasi hutan di Asia Tenggara dan sektor sawit.

Selama ini, kata Aikman, perusahaan anggota RSPO kurang memastikan pemasok mereka benar-benar tak memiliki jejak pelanggaran HAM. RSPO pun, katanya, belum menyaratkan, audit atau perbaikan keseluruhan dalam rantai pasok.

“Kebanyakan anggota RSPO punya kebijakan NDPE (no deforestasi, no peat, dan no exploitation). Menjadi buyers harus disyaratkan seperti itu.”

 

 

Murtiani, memperlihatkan dapurnya. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Dalam pengalamannya, sekitar 30 perusahaan sawit—sebagian besar dari Malaysia dan Indonesia—kebanyakan tidak jadikan penghormatan HAM sebagai prioritas utama.

Standar HAM RSPO merujuk banyak hal, termasuk Prinsip Panduan PBB mengenai Bisnis dan Hak Asasi Manusia (2011) dan Konvensi ILO tentang Kerja Paksa, Penghapusan Kerja Paksa, Usia Minimum, Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.

Di P&C RSPO, perlindungan terhadap HAM diatur dalam prinsip keempat, kelima, dan keenam. Prinsip keempat antara lain, menghormati hak masyarakat dan HAM, juga memberi manfaat. Sedang prinsip keenam, seputar hak-hak dan kondisi pekerja.

Pelanggaran terhadap kedua prinsip itu menyebabkan ketidaksesuaian selama audit, yang bisa berdampak penangguhan keanggotaan.

“Dalam kasus lebih parah, dapat menyebabkan penghentian keanggotaan,” kata Imam A. El Marzuq, Senior Manager, Global Community Outreach & Engagement RSPO.

Bagaimana, bila perusahaan yang terindikasi melanggar HAM memasok ke perusahaan RSPO? Imam tidak menjawab spesifik.

“Kami hanya memiliki yurisdiksi atas anggota RSPO, misal, pemberlakuan sanksi bagi anggota yang melakukan pelanggaran,” kata Imam.

RSPO, katanya, menerima aduan dan mengandalkan laporan audit dari proses sertifikasi. Bila menemukan pelanggaran HAM di perusahaan anggota, maka RSPO, lewat IMU, akan menginvestigasi dan memfasilitasi manajemen dan pemantauan resiko. RSPO juga membuka panel keluhan melalui situs mereka dan mewajibkan perusahaan anggota bikin mekanisme aduan internal.

“Kami menyadari masalah sosial terkait operasi sawit adalah salah satu hal paling sulit untuk diidentifikasi dan diaudit, serta paling menantang untuk dikelola atau diperbaiki,” kata Imam.

Meskipun begitu, katanya, mereka telah mengambil langkah-langkah memperkuat dan meningkatkan pengelolaan.

Guna memastikan rantai pasok benar-benar bersih dari pelanggaran HAM, katanya, perlu komitmen perusahaan. “Iya. Ujung-ujungnya memang perusahaan yang harus mengaplikasikan kebijakan itu,” kata Aikman.

 

Papan peringatan PT Unggul di salah satu kebun sawit perusahaan ini. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

***

Dari kebun inti seluas 8.823,33 hektar, kebun plasma 6.140 hektar garapan 3.070 keluarga, kebun mitra dan kebun swadaya warga, hingga 1.035 hektar di lahan pekarangan atau perumahan petani plasma, UWTL memproduksi CPO dan Kernel, melalui dua pabriknya: Baras dan Agribaras.

Tahun 2018, produksi CPO PT UWTL capai 126.000 ton, 124.000 ton (2017). “UWTL, bersama mitra plasma yang memproduksi hanya sampai pada produk CPO dan kernel. Tidak terikat dengan buyer tertentu. Bebas kepada siapa saja yang bisa membeli dengan harga wajar dan sesuai, dengan sistem FOB (free on board),” kata Muhtar.

Dari sekian banyak perusahaan, UWTL memasok ke Wilmar International, pemilik merek dagang minyak goreng sawit, Sania dan Fortune. Dari Baras, CPO dan kernel, dilabuhkan ke PT Wilmar Nabati Indonesia, di Gresik, Jawa Timur. Pasokan ini berlanjut ke Neste Oil, berdasarkan laporan keberlanjutan dan keterlacakan Neste Oil, tahun 2018.

Neste Oil merupakan produsen bahan bakar terbarukan di Eropa. Perusahaan raksasa asal Finlandia ini, pada 2019, meraih urutan tiga sebagai perusahaan yang paling berkelanjutan versi Corporate Knight 100 Global Index dan bersertifikasi RSPO.

Selain Neste Oil, P&G, pemilik merek dagang sampo Head & Shoulders dan Pantene, juga mencatat, mereka menerima pasokan dari UWTL, berdasarkan dokumen keberlanjutan pada 2017.

Soal ini, Ravin Trapshah Ismail, Senior Manager of Sustainability Communication Wilmar International, mengaku, kemelut lahan antar kelompok Hukma dan UWTL dianggap usai, setelah pengadilan hingga Mahkamah Agung, menyatakan UWTL resmi atas Baribi.

“Dengan hasil putusan pengadilan, para pihak yang melakukan okupasi lahan dan pencurian buah diproses hukum yang berlaku.”

Wilmar menilai, serius atas tuduhan pelanggaran HAM yang terjadi di wilayah operasi ataupun para pemasok. Dengan NDPE, kebijakan yang berisi persyaratan keberlanjutan dalam operasi hingga rantai pasok, kata Trapshah, Wilmar bertanggungjawab secara sosial dan lingkungan hidup.

Menjadi pemasok Wilmar, sebelumnya, mesti melalui proses uji tuntas, meliputi kriteria lingkungan dan sosial. Sementara, yang telah masuk rantai pasok, Wilmar menggunakan supplier reporting tool (SRT) untuk menyaring potensi risiko lingkungan dan sosial. Wilmar juga mencatumkan peta rantai pasok melalui situs resmi mereka.

Berdasarkan engagement dengan UWTL, kata Trapshah, dinyatakan kalau kelompok Hukma, tidak teridentifikasi saat UWTL mengembangkan kebun sawit. Sengketa lahan itupun bermula pada 2000.

“Adapun penduduk di sekitar lokasi, merupakan penduduk di pesisir pantai Bambaloka, yang mana mata pencaharian mayoritas penduduknya adalah nelayan.”

Karena itu, Wilmar akan terus melanjutkan hubungan dengan UWTL. “Dan tetap monitoring terhadap kasus itu.”

Wilmar, katanya, berkomitmen tidak mengeksploitasi masyarakat atau kelompok, dengan menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi HAM di tiap aspek bisnisnya.

“Kami akan mengambil tindakan, termasuk penangguhan, terhadap pemasok yang diketahui tidak mematuhi komitmen NDPE kami.”

Sebagai tindakan proaktif, katanya, perusahaan melakukan pengukuran potensi ketidakpatuhan, mengevaluasi perkembangan, dan membantu mengidentifikasi wilayah, sebagai perbaikan dalam memberikan panduan kepada pemasok dalam menerapkan kebijakan NDPE.

Ihwal rantai pasok memang tidak mudah, kata Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia. Konsumen sulit mengetahui asal produk yang mereka beli.

“Benar nggak sawit yang digunakan oleh satu produk ini, hanya datang dari kebun-kebun yang sustain? Tapi saya kira, ini akan lebih mudah jika semua aktor dalam industri ini bisa transparan. Ini gampang sekali diungkapkan tetapi sulit sekali dilakukan,” katanya dalam diskusi daring belum lama ini.

Jadi, lembaga jasa keuangan, pasar, hingga konsumen harus terus mendorong transparansi, kata Edi, agar produsen produk sawit melakukan itu. “Harus segera keluar dan menyampaikan yang sebenarnya. Menurut kami, ini bukan soal menghukum, tapi soal mau berubah. Ayo kita ubah tata kelolanya.”

Hingga kini, di Baras, Hukma dan warga lain berusaha terus melanjutkan hidup. Mereka tak bisa berbuat lebih dan tak tahu lagi ke mana mereka mengadu.

 

 

Keterangan foto utama: Jalan menuju Baribi. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version