- Akibat cuaca buruk, para nelayan di kawasan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Kranji, Desa Kranji, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, berhenti melaut.
- Untuk mengisi waktu, para nelayan Desa Kranji memperbaiki jaring dan perahu yang rusak. Mereka juga mengeluhkan dermaga yang sempit sehingga perahu rawan rusak bersenggolan karena parkir perahu yang terlalu rapat
- Nelayan bilang, tahun ini cuaca buruk datangnya lebih awal, padahal di tahun-tahun sebelumnya ombak besar datangnya di bulan Januari. Menurut nelayan, cuaca sekarang sudah sulit diprediksi, makin tahun makin susah di tebak.
- BNPB menghimbau masyarakat untuk mewaspadai bahaya hidrometeorologi. Peringatan itu dikeluarkan berdasarkan prediksi cuaca ekstrim BMKG.
Deburan ombak berwarna putih kecoklatan menghantam keras batu tanggul di kawasan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Kranji, Desa Kranji, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Tanggul tersebut berfungsi untuk menanggulangi terjadinya abrasi di kawasan TPI. Puluhan perahu tampak bergesekan satu sama lain hingga menimbulkan bunyi “kriyit, kriyit, kriyit, krek-krek-krek”.
Siang itu angin bertiup kencang. Awan mendung di langit menghalangi sinar matahari untuk turun ke bumi. Namun, hal tersebut tidak menyurutkan Muhaimin, nelayan setempat mengecek perahunya yang bersandar di dermaga TPI yang tidak jauh dari jalan raya Deandels di pesisir Lamongan itu.
baca : Dimana Peran Negara Saat Cuaca Buruk Terjadi dan Nelayan Tak Bisa Melaut?
“Kalau cuaca lagi kurang bersahabat gini perahu harus sering-sering dicek. Khawatir nanti ban penghalaunya ada yang jatuh, bisa-bisa tabrakan dengan perahu lain,” kata pria berkepala enam ini kepada Mongabay Indonesia, Rabu (09/12/2020), usai memastikan perahu miliknya itu aman.
Dia bilang, pengalaman tahun sebelumnya, ban perahunya copot sehingga perahunya rusak bersenggolan menabrak perahu di kanan kirinya, sehingga dia mengalami kerugian hingga puluhan juta rupiah.
Sembari di temani anaknya, Muhaimin ini menjelaskan, bersama puluhan perahu lain, perahu miliknya tersebut ditambatkan di dermaga sudah sepekan ini akibat cuaca buruk. Kondisi cuaca di tengah laut akhir-akhir ini sedang kurang bersahabat, dan anginnya cukup kencang. Sehingga para nelayan sementara waktu memilih untuk tidak pergi melaut.
baca juga : Jadilah Nelayan yang Menyesuaikan Kondisi Alam
Perahu Rusak
Imron (50), nelayan lain juga merasakan hal sama, akibat cuaca buruk tersebut dia terpaksa harus istirahat sementara waktu. Guna mengatasi kekosongan karena tidak melaut, dia dan nelayan lain di TPI tersebut memanfaatkan waktu untuk memperbaiki jaring.
Apesnya, dia juga harus memperbaiki perahunya yang rusak karena bertabrakan dengan perahu lain yang sama-sama di parkir di dermaga. Dia mengeluarkan biaya sekitar Rp10 juta untuk memperbaiki perahunya.
“Kami berharap kondisi cuaca bisa segera normal, biar bisa melaut lagi. Bingung juga kalau sudah tidak ada pendapatan seperti ini,” tutur pria berkulit sawo matang itu disela memperbaiki jaring.
Pria 50 tahun ini mengaku, cuaca buruk seperti ini hampir terjadi setiap tahun. Hanya untuk bulan dan tanggalnya saja yang berbeda-beda. Datangnya cuaca buruk seperti sekarang ini, katanya, di bulan Desember. Kemudian nanti muncul lagi pada bulan Januari-Maret. Hanya durasi waktunya yang tidak sama, ada yang seminggu selesai. Ada pula yang dua minggu baru berhenti, setelah itu normal kembali.
Cuaca seperti ini, lanjut Imron, orang setempat menyebutnya dengan sebutan musim baratan yang berarti musim angin barat. Disaat musim seperti ini rata-rata nelayan tidak berani melaut. “Kalaupun ada yang berangkat dia sangat terpaksa, karena sudah tidak ada pinjaman uang. Beberapa masih ada yang nekat untuk melaut,” jelasnya.
perlu dibaca : Rob dan Gelombang Tinggi Akibatkan Bencana, Nelayan Juga Kian Terpuruk
Sementara itu, Sufaat Ampianto (48) Bendahara Rukun Nelayan Kranji mengatakan ada sekitar 32 perahu nelayan yang berhenti melaut di desanya. Akibat cuaca buruk ini ada sekitar 4 perahu nelayan yang rusak sedang hingga berat yang tidak bisa lagi dibenahi.
Dia bilang untuk tahun ini cuaca buruk datangnya lebih awal, padahal di tahun-tahun sebelumnya ombak besar datangnya di bulan Januari. “Cuaca sekarang sudah sulit diprediksi, makin tahun makin susah di tebak. Beda halnya dengan dulu yang terpola. Sehingga nelayan bisa lebih siap,” katanya.
Dermaga Kurang Panjang
Untuk kerusakan perahu ini, kata Imron, setiap tahun pasti ada yang terdampak. Pasalnya dermaga yang digunakan untuk bersandar perahu tersebut terlalu sempit, sehingga perahunya terlalu rapat bersandar. Jika cuaca buruk seperti sekarang ini perahu pasti ada yang jadi korban. Dengan jumlah perahu 32 tersebut mestinya diperlukan panjang dermaga kurang lebih 200 meter. Panjang dermaga saat ini sekitar 150 meter, artinya masih kurang 50 meter lagi.
Mewakili nelayan lainnya dia bilang, sebetulnya untuk kondisi dermaga juga kurang layak. Sebab selain kurang panjang, kondisinya juga memprihatinkan. Beberapa titik sudah mengalami retak dan posisinya miring. Hal ini tentu membahayakan nelayan saat bersandar.
Selain itu kondisi dermaga yang dangkal juga sangat mempengaruhi aktivitas perahu nelayan di Kranji “tiga tahun lalu kami sudah pernah mengajukan ke dinas, tapi sampai sekarang belum ada realisasainya. Yang ada malah kami melakukan swadaya untuk pengurukan untuk tempat memperbaiki jaring,” imbuhnya sembari menyebut pembangunan tersebut menghabiskan biaya kurang lebih Rp.1 Miliar.
baca juga : Berkat Aplikasi Cuaca, Nelayan Malang Bisa Antisipasi Gelombang Pasang dan Banjir Rob
Lanjut Imron, di Kranji sendiri untuk saat ini sedang musim tangkapan ikan tongkol. Seumpama cuaca tidak buruk nelayan setempat sekali berangkat pendapatannya pun beragam. Misal beruntung ada yang berhasil membawa 10 ton hasil tangkapan dengan durasi melaut sehari, jam 07.00 WIB hingga jam 22.00 WIB.
Sementara itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menghimbau masyarakat untuk mewaspadai bahaya hidrometeorologi. Peringatan itu dikeluarkan berdasarkan prediksi cuaca ekstrim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Bahaya tersebut dapat berupa banjir, banjir bandang, tanah longsor maupun angin kencang. Prediksi cuaca ekstrim muncul setelah memantau perkembangan sirkulasi siklonik di Samudra Hindia barat Bengkulu dan di Laut Jawa Selatan Kalimantan.
Sirkulasi siklonik itu membentuk daerah pertemuan atau perlambatan angin (konvergensi) yang memanjang di perairan utara Aceh, mulai dari Sumatra Utara hingga perairan barat Bengkulu, di Selat Karimata bagian utara, Papua bagian barat hingga Maluku bagian selatan, serta dari Kalimantan Tengah hingga Selat Karimata bagian selatan.
“Kondisi ini dapat meningkatkan potensi pertumbuhan awan hujan di sekitar wilayah sirkulasi siklonik dan di sepanjang daerah konvergensi tersebut,” ujar Raditya Jati, Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, dalam keterangan pers, Minggu (22/11).
***
Keterangan foto utama : Sejumlah perahu bersandar di TPI Kranji, Kecamatan Paciran, Lamongan, Jatim, pada awal Desember 2020, saat cuaca buruk nelayan tidak berani melaut. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia