Mongabay.co.id

Seni Cukil untuk Bersuara, Bukan Urug Pesisir Saja

Salah satu karya poster dari anggota Denpasar Kolektif, komunitas lintas medium di Bali dengan tema permasalahan lingkungan yang digelar dalam pameran bertajuk Warga Bisa Selamatkan Pesisir Bali, di Sekretariat Walhi Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

Puluhan karya cukil, poster, dan kartu pos dipamerkan sebagai jejak ingatan dari peristiwa ancaman perusakan lingkungan terutama pesisir di Bali.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, cukil dijelaskan sebagai alat untuk mengorek (melepaskan sesuatu yang ada di dalam atau yang melekat); cungkil. Selembar plat kayu atau karet dikorek, dicungkil sehingga permukaannya tercongkel sesuai desain gambar.

Plat yang dibuat manual dengan tangan ini setelah dicungkil dengan desain yang diharapkan menyisakan sisa permukaanya yang rata, dan inilah gambar yang akan dilumuri tinta warna tertentu, diratakan, lalu dicetak ke medium apapun. Misalnya kaos, kain, kertas, dan lainnya.

Kemahiran cungkil-mencungkil ini dikombinasikan dengan sensitivitas pada isu-isu lingkungan membuat karya-karya Gilang intens dengan suara-suara protes atau sentilan pada sejumlah topik. Melalui komunitas Denpasar Kolektif, ia mengajak warga membuat aneka karya seni yang basisnya cukil dan menggambar.

Salah satu karyanya adalah parade longmarch aksi tolak reklamasi dan penambangan pasir yang penuh detail dalam selembar plat. Seluruh permukaan plat sudah dicungkil dengan presisi, penuh figur manusia dan teks.

Ratusan orang parade aksi dengan mengacungkan posternya masing-masing. Ia fokus mencungkil aneka figur, laki, perempuan, anak, remaja. Teks-teks poster familiar karena kerap muncul dalam aksi-aksi tolak reklamasi Teluk Benoa selama beberapa tahun ini. Misalnya “Berjuang dengan gembira adalah kunci”, “Demi anak cucu, jangan rusak lautku”.

baca : Film Pohon 2020, Penghargaan untuk Sineas Muda Peduli Lingkungan

 

Salah satu karya sablon cukil dari anggota Denpasar Kolektif, komunitas lintas medium di Bali dengan tema permasalahan lingkungan dalam pameran yang digelar di Sekretariat Walhi Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Plat hasil cungkilan ini kemudian diwarnai dengan cat atau pewarna, bisa hitam saja, sehingga yang terbentuk saat dicetak adalah sisa permukaan dari rongga-rongga hasil cukilan. Sebuah bentuk karya yang termasuk efisien karena plat cukil bisa digunakan berulang kali di beragam media lain.

Hasil karya cetakan cukil ini bagian dari pameran bertajuk Warga Bisa Selamatkan Pesisir Bali, dipamerkan pada 29 November – 3 Desember di Walhi Bali. Puluhan karya ini adalah hasil lokakarya dari empat serial yang dihelat Denpasar Kolektif.

Workshop pertama adalah cetak cukil menggunakan kaos dan poster sebagai media pengelamatan pesisir. Dilaksanakan 30 September dan terbatas untuk 10 orang. Workshop berikutnya pada 10 Oktober edisi melukis poster aksi. Materi yang disediakan kuas, karton tebal, cat poster, pensil, dan lainnya.

Workshop ketiga bertajuk gesut sablon. Ini serangkaian kegiatan sablon poster dan kaos dengan material screen, rakel, tinta sablon, kertas, dan kaos. Workshop keempat tentang desain kartu pos. Menggambar atau lukis kartu pos di kartu pos kosong dengan cat air, akrilik, spidol, pensil, kuas, dan lainnya.

Karya cukil lebih detail lainnya adalah visualisasi investor dengan refleksi dollar di kedua matanya. Sosok lain bermahkota karang boma, yang kerap muncul dalam bentuk ukiran di atas candi kurung di Bali, maknanya penolak mara bahaya. Ada juga kepala investor berwujud robot penggaruk pasir.

Kemudian di bagian bawah, ada Pulau Bali besar dan kepulauan Indonesia dkkelilingi kawat besi. Menyiratkan pesan, persoalan perusakan pesisir tak hanya terjadi di Bali, juga daerah lain di Indonesia.

Gambar ini menumpuk barisan teks Selamatkan Pesisir Bali yang berwarna pink dan kuning. Dua plat bertemu di satu media.

baca juga : Climate Strike Seniman dan Warga di Celukan Bawang

 

Beberapa karya sablon cukil dari anggota Denpasar Kolektif, komunitas lintas medium di Bali dengan tema permasalahan lingkungan dalam pameran yang digelar di Sekretariat Walhi Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Gilang mengatakan pameran dan lokakarya ini adalah strategi melibatkan publik dalam kampanye penyadartahuan isu-isu pesisir. “Bukan hasilnya bagus atau tidak, tapi keterlibatan publik dan bentuk karya fisik bisa mendorog kerjasama. Kalau digital kan hanya berhadapan dengan komputer sendiri,” jelasnya alasan memilih tema cukil dan gambar nondigital.

Ketika membuat cukil, sejumlah peserta bisa berinteraksi, demikian juga saat cetak hasil cukil ke medium lainnya seperti kaos dan kertas. Dari empat lokakarya yang dihelat, keterampilan cukil dan sablon yang paling banyak diminati, bahkan panitia menolak pendaftaran karena kelebihan kuota. Seluruh karya ini pun jadi arsip untuk digunakan sebagai poster aksi.

Sementara lokakarya kartu pos juga unik di tengah digitalisasi saat ini. “Kartu pos unik, biasanya menampilkan foto baik-baik saja, panorama indah. Tapi kami menggambar wacana yang berbeda, perspektif lain,” tutur Gilang Propagila, nama populernya untuk karya-karya pergerakan. Kartu pos ini pun bisa dikirim ke instansi terkait pengelolaan lingkungan, agar pesan tersampaikan.

Seluruh karya ada kemungkinan diduplikasi, setelah dikurasi. Kelebihan seni cukil, bisa direproduksi lebih banyak, untuk merchandise, properti, dibagi ke jaringan sehingga pesannya tak berhenti. Alat kampanye yang bisa dibagi.

Pameran ini sebagai bentuk presentasi ke publik, juga menambah semangat pembuat karya. “Baru pertama pameran, mereka-reka pola yang pas. Masa pandemi perlu adaptasi. Tahun depan buka kelas lagi, agar makin luas,” harap Gilang, penggerak skena komunitas seni Denkol ini. Denpasar Kolektif (Denkol) adalah sebuah komunitas lintas medium seperti musik, punk, cukil, sampai mobilisasi pangan di tengah pandemi.

Proses lokakarya dimulai dengan briefing tema. Isu pesisir Bali kerap bersentuhan dengan isu lain seperti pariwisata, tak heran banyak dinamikanya. Diskusi singkat pemaparan situasi saat ini seperti perluasan pelabuhan dan bandara dengan cara reklamasi. Baru masuk ke teori keterampilan, misal teknik cukil. Sambil berlatih mencongkel, panitia menjelaskan penggunaan keterampilan untuk gerakan sosial dan lingkungan hidup.

menarik dibaca : Ono Gaf, Seniman Sukses Pengolah Besi Bekas

 

Karya poster dari anggota Denpasar Kolektif, komunitas lintas medium di Bali dengan tema permasalahan lingkungan dalam pameran yang digelar di Sekretariat Walhi Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Penggunaan seni cukil oleh komunitas dan NGO bukan hal baru, bahkan seni cukil sudah ada sejak masa pra sejarah. Seni ini subur di gerakan-gerakan rakyat karena bisa direspon dengan aneka medium, efektif untuk menyuarakan lingkungan dan keterlibatan publik.

Tantangannya adalah membuat tagline, membungkus isu besar secara visual, dan memadupadankan gambar dan teks. Karya-karya bisa hanya teks, gambar saja, atau gabungan keduanya.

Keragaman inilah muncul di karya-karya yang lahir, hasil cukil ada yang sangat detail dan sederhana. Misalnya visual empat kembang dibakar lidah api tapi tak hangus. Visualisasi yang sederhana tapi bermakna.

Ada juga teks typografi saja, “Tolak Tambang Pasir Laut.” Kombinasi gambar dan teks terlihat dominan. Sederhana tapi mengena. Seperti gambar pengeras suara dengan teks “Bersuara atau Tenggelam.”

Saat ini, masih terlihat dampak kerusakan laut karena reklamasi di Bali seperti oleh Pelindo di Benoa. Tak sedikit hutan mangrove yang mati, termasuk jenis Pidada yang akarnya sangat kuat mencengkeram pesisir, melindungi dari abrasi. Pembangunan lain adalah perluasan bandara Ngurah Rai juga dengan reklamasi.

Direktur Walhi Bali I Made Juli Untung Pratama berkali-kali menyerukan penolakan tambang pasir yang diakomodir dalam Ranperda RZWP3K Bali. Teletak di kawasan perairan Kuta, Kabupaten Badung seluas 938,34 Ha dan pesisir sawangan seluas 359,53 Ha, yang mengakomodir 2 rekomendasi teknis ijin usaha pertambangan eksplorasi pasir laut.

Isu lain adalah memastikan perlindungan Teluk Benoa yang ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Maritim dalam Ranperda RZWP3K Bali.

Ada juga gambar petani dan nelayan menghadang eksavator dengan teks “Kita Tak Tinggal Diam.”
Di frame lain, visual anak punk dengan rambut mohawk. Mengacungkan poster “Tolak Reklamasi Telul Benoa.”

Poster-poster dari lokakarya gambar juga menarik mata. Menggunakan simbol-simbol tokoh kartun atau satwa. Misalnya tokoh plankton di serial kartun Spongebob dengan teks, “Resep rahasia yang aku ingin bukan itu. Hapus tambang pesisir laut dari RZWP3K Provinsi Bali.”

Poster bernuansa komedi juga kerap menjadi objek foto saat aksi. Misalnya karya dengan teks “Jangan tolak cintaku padamu. Tolak saja reklamasi Teluk Benoa, omnibus law, tambang pasir laut Bali.”

 

Exit mobile version