Mongabay.co.id

Ulat Sagu, Kuliner dari Kampung Yoboi

Ulat sagu siap santap. Foto: Naomy Wenda

 

 

 

 

Ulat sagu, salah satu makanan khas dari Kampung Yoboi, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua. Akhir November lalu, para pemuda kampung mengadakan Festival Ulat Sagu.

Ondoafi Kampung Yoboi, Papua Jungle Chef, Econusa, dan Pemerintah Papua, Pemerintah Kabupaten Jayapura dan Pemerintan Kampung Yoboi mendukung acara yang berlangsung tiga hari, 26-28 November ini.

Kampung Yoboi diapit hamparan dusun sagu dan danau. Bangunan berdiri di atas air mulai dari rumah adat, rumah warga, gereja, sekolah, bahkan lapangan dan kebun sayuran.

 Baca juga:Merawat Hutan Sagu di Sentani

Pemukiman warga memanjang di pinggiran danau. Jalan utama di bagian tengah dengan rumah-rumah mengapit sisi kiri dan kanan. Seluruh jalanan dengan material kayu bercat warna-warni menambah keindahan kampung.

Menyeberangi danau jadi satu-satunya jalan menuju kampung ini. Biasanya, melalui Dermaga Yahim, salah satu dermaga penghubung ke kampung-kampung di Danau Sentani. Kampung Yoboi hanya ditempuh dalam waktu kurang lebih 10 menit menggunakan perahu motor. Tarifnya Rp 5.000.

 

 

Saat festival, ada sekitar 56 stan terbangun di depan rumah warga. Makanan utama adalah ulat sagu mentah maupun yang sudah diolah. Ada juga sagu bakar, papeda panas, papeda bungkus, gabus bakar, merah goreng sambal, dan berbagai makanan maupun minuman lain.

Pengunjung yang ingin tahu cara mengambil ulat sagu bisa langsung melihat di dalam dusun sagu. Untuk meramaikan festival ini, panitia juga mengadakan lomba video dan foto.

Selama festival berlangsung, pengunjung berkesempatan menelusuri tiap sudut kampung. Halaman rumah adat, halaman rumah warga, sekolah, sampai dermaga jadi ruang terbuka bagi pengunjung duduk bercengkarama sambil menikmati kuliner.

Ulat sagu sudah jadi makanan warga turun temurun. Ulat sagu ada di batang sagu yang membusuk. Untuk mendapatkan ulat sagu, sagu siap panen ditebang. Sisi luar, dibuat lubang-lubang. kumbang hitam jenis kelapa merah (Rhynchopnorus ferrugenesis) akan masuk ke batang sagu, makan dan bertelur. Telur-telur lalu menetaskan jadi larva. Larva ini yang disebut sebagai ulat sagu. Ulat sagu diambil sebelum tumbuh jadi kumbang.

Selain konsumsi sendiri, warga juga mengambil untuk dijual. Perlu lebih tiga bulan sejak sagu ditebang hingga ulat sagu bisa panen.

Baca juga: Menjaga Sagu, Harapan Menuju Kedaulatan Pangan Papua

Billy Tokoro, Ketua Panitia Festival Ulat Sagu ini menyatakan, ada 500 batang sagu ditebang untuk keperluan festival ini. Proses penebangan lebih dua setengah bulan sebelumnya. Penebangan ini sekaligus menata hutan sagu, membuat berjarak hingga produktivitas makin meningkat.

“Kita punya hutan sagu dan danau. Kita yakin hutan sagu yang kita jaga di saat ini berikan berkat. Jadi kita manfaatkan. Yang paling pas sakali untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.” Ulat sagu berprotein tinggi, harga tinggi dan banyak peminat.

 

Batang sagu yang telah melewati masa panen akan roboh dan jadi media tumbuh jamur dan ulat sagu. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Billy berharap, festival ini bisa meningkatkan ekonomi warga Kampung Yoboi, sekaligus menjaga kedaulatan pangan dan menarik minat masyarakat terutama anak muda untuk mengenal dan mencintai kuliner lokal yang bergizi tinggi.

“Kita buat festival untuk tarik anak muda. Segala sesuatu di Yoboi berhubungan dengan sagu. Anak muda datang semua yang kita sajikan makanan lokal.”

Meski ulat sagu sebagai menu utama, tetapi banyak juga makanan lain tersedia. Mama Anderia Suebu, warga Kampung Yoboi juga sagu bakar, dan papeda bungkus. Makanan itu, katanya, sudah lama jadi makanan sehari-hari warga kampung.

Pengolahan ulat sagu, katanya, sederhana. Ulat diambil lalu bersihkan, kemudian rebus atau bakar dengan cukup menaburi garam. Bumbu yang terlalu banyak mengurangi rasa enak pada ulat sagu.

Karena kandungan protein tinggi, katanya, ulat sagu pun jadi makanan penting yang harus disiapkan suami saat istrinya hamil dan melahirkan. Ulat sagu juga dipercaya bisa meningkatkan produksi air susu.

“Waktu melahirkan, waktu dalam kamar dan belum keluar ke ruang tengah itu sudah dikasi makan dengan ulat sagu, jamur sagu. Supaya air susu banyak.”

Selama festival, Mama Anderina menjual sagu bakar, jamur sagu, ulat sagu, dan papeda bungkus. Dia senang dengan antuasiasme pengunjung datang ke kampungnya.

Dia berharap, festival berikutnya, stan-stan bisa disiapkan lebih baik hingga pengunjung langsung melihat proses pengolahan makanan ini.

“Jadi, kitong bisa bakar sagu, bisa putar papeda di sini bisa orang datang lihat seperti apa orang Sentani punya makanan. Baru ke hutan juga bisa lihat bagaimana ulat sagu pu cara ambil di dalam sagu, trus bawa mau makan dengan sagu bakar atau dengan papeda atau mau maka dengan pisang itu bisa semua.”

 

Produk olahan sagu. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Melianus Wally, Abuafa Kampungn Yoboi mewakili ondoafi dalam sambutan cara penutup mengatakan, satu perkembangan besar di Kampung Yoboi ada Festival Ulat Sagu.

“Kita minta pemerintah Kabupaen Jayapura jadikan ini program tahunan. Di Kampung Yoboi ini jadi program kampung.”

Kampung Yoboi dan beberapa kampung di Danau Sentani akan dikembangkan sebagai daerah kunjungan wisata. Aristoteles Ap, Kepala Bidang Perlindungan Hutan mengatakan, Dinas Kehutanan Papua menyatakan, festival ini bagian dari pengelolaan jasa jasa lingkungan lewat ekosiwata.

Kampung Yoboi, katanya, punya potensi hutan sagu yang terjaga sekaligus mendatangkan manfaat ekonomi bagi masyarakat. Dinas Kehutanan Papua mendukung, kelompok sadar wisata yang sudah terbentuk di Kampung Yoboi.

“Beberapa fasilitas lain akan kami support. Tahun depan, kami berencana membangun jembatan yang menghubungkan Kampung Yoboi dan memasuk hutan sagu Kampung Yoboi sepanjang 700 meter.”

Asisten III Setda Kabupaten Jayapura Timothius Demetouw menyatakan, Kabupaten Jayapura memiliki kesitimewaan dibanding wilayah lain di Papua. Sentani, ibu kota kabupaten ini berada di antara Danau Sentani dan Pegunungan Cyclop.

Keduanya saling terkait erat. Pemerintah Kabupaten Jayapura, katanya, mendorong kampung-kampung sekitar untuk memanfaatkan potensi wilayah ini.

“Ke depan kita akan terus membenahi kampung ini karena memiliki daya tarik. Tidak ada tempat seindah Kampung Yoboi. Orang bisa jalan dari ujung ke ujung di atas rumah panggung. Ini luar biasa.”

 

 

Warga memperlihatkan ulat sagu. Foto: Naomy Wenda
Ulat sagu siap santap. Foto: Naomy Wenda
Exit mobile version