Mongabay.co.id

Pemerintah Klaim Omnibus Law Beri Manfaat Khusus untuk Petani dan Nelayan

 

 

Di tengah pro kontra Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja yang telah ditetapkan pada 2 November 2020 lalu, pemerintah terus melakukan sosialisasi dan konsultasi publik pembuatan aturan turunannya berupa rancangan peraturan pemerintah ke berbagai lapisan masyarakat.

Bagi pemerintah, keberadaan UU ini dinilai tidak hanya mendorong pemulihan ekonomi dan transformasi ekonomi namun juga sangat diperlukan untuk mengatasi permasalahan yang ada serta tantangan-tantangan yang lebih dinamis di masa depan. UU Ini dinilai juga memberi manfaat khusus untuk petani dan nelayan.

Menurut Musdhalifah Machmud, Deputi II Menteri Koordinator Perekonomian RI, saat ini Indonesia menghadapi berbagai tantangan ekonomi yang cukup berat di tengah pandemi COVID-19, di mana pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi yang cukup besar.

Indonesia juga tengah menghadapi tantangan yang disebut middle income trade (MIT) yaitu keadaan ketika perekonomian suatu negara tidak dapat meningkat menjadi negara high income countries.

“Negara yang terjebak dalam MIT akan berdaya saing lemah karena apabila dibanding dengan low income countries akan kalah bersaing dari biaya tenaga kerja. Sedangkan dibanding high income countries, kita akan kalah bersaing dari segi teknologi dan produktivitas tinggi,” katanya dalam konsultasi publik yang dilakukan di Makassar dan secara daring, Rabu (2/12/2020).

baca : Peneliti LIPI Beberkan Konflik Kepentingan, Koalisi Soroti Aktor di Balik Omnibus Law

 

Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Agtas menyampaikan laporan Baleg tentang RUU Omnibus Law Cipta Kerja kepada Ketua DPR RI Puan Maharani di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020). Foto : dpr.go.id

 

Menurutnya, dari pengalaman negara yang sukses meningkat dari MIT, kontribusi utama peningkatannya berasal dari naiknya daya saing dan produktivitas tenaga kerja.

“Melihat dinamika perekonomian global dan kondisi ketenagakerjaan kita dan tantangan untuk bisa keluar dari MIT maka diperlukan terobosan besar dalam melakukan transformasi ekonomi serta mendorong birokrasi struktural di Indonesia. Salah satu yang menjadi andalan utama adalah melalui reformasi regulasi melalui omnibus law cipta kerja,” jelasnya.

Musdhalifah menjelaskan tentang bonus demografi dalam 10-15 tahun mendatang menjadi peluang untuk harus dikelola semaksimal mungkin. Belum lagi tingkat pengangguran yang meningkat seiring dengan pandemi saat ini.

“Pada Agustus 2020 angka pengangguran sebanyak 9,77 juta jiwa yang naik sebesar 2,67 juta jiwa dibanding tahun sebelumnya, yang perlu betul-betul dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan dampak-dampak sosial yang tak diinginkan.”

Musdhalifah bilang omnibus law juga merupakan upaya pemerintah melakukan perlindungan dan kemudahan bagi UMKM dan koperasi, kemudian menciptakan lapangan kerja melalui peningkatan investasi dengan tetap memberikan peningkatan kesejahteraan dan perlindungan bagi pekerja petani dan nelayan yang saat ini sudah bekerja keras.

Di tengah kritikan terkait proses dan pembahasan UU Cipta Kerja, Musdalifa menilai sudah sesuai dengan UU No.12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

“Memang dalam penyusunannya menggunakan metode omnibus law di mana metode ini lazim dikenal di negara-negara anglo saxon. Namun dalam praktiknya Indonesia telah menerapkan metode ini pada beberapa UU, termasuk UU pemerintah daerah, dan UU pertukaran informasi perpajakan.”

baca juga : RUU Cipta Kerja Ketok Palu, Lonceng Bahaya bagi Lingkungan Hidup?

 

Salah satu mahasiswa terjepit saat aksi menuntut eksekutif dan legeslatif agar menyepakati untuk menolak omnibus law. Selain itu, para mahasiswa meminta DPRD Lamongan mencabut Raperda Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Lamongan, Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Lamongan. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Beberapa manfaat UU Cipta Kerja ini, menurut Musdalifah, antara lain menciptakan lapangan kerja dan kewirausahaan melalui kemudahan berusaha. Kemudian menjamin hak-hak pekerja dalam perlindungan bekerja, dan memberi manfaat khusus bagi petani dan nelayan.

Ia mencontohkan pada sektor perkebunan di mana masyarakat yang telah bermukim di kawasan hutan tetap diberikan izin untuk memanfaatkan kawasan dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian hutan.

“Untuk nelayan yang sebelumnya proses perizinan kapal ikan harus melalui beberapa instansi dengan UU ini cukup hanya diproses di Kementerian Kelautan dan Perikanan.”

UU Cipta Kerja juga melakukan perubahan secara paradigma dan konsepsi perizinan berusaha dengan penerapan perizinan berusaha berbasis risiko, yang mengubah pendekatan perizinan dari berbasis izin ke berbasis risiko.

“Di mana untuk usaha dengan risiko rendah cukup dengan pendaftaran atau NIB. Sedangkan untuk risiko menengah dengan sertifikat standar, berisiko tinggi dengan izin.”

 

Pengaturan Omnibus Law di Sektor Pertanian

Menurut Edi Purnomo, Kepala Biro Hukum Kementerian Pertanian RI, sebagai tindak lanjut omnibus law ini di sektor pertanian pemerintah kini tengah menyiapkan dua rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang perizinan berusaha berbasis risiko dan tata cara pengawasan yaitu Norma Standar Prosedur dan Kriteria (NSPK) dan RPP pelaksanaan dari UU No.11/2020 Cipta Kerja ini yang tidak diatur di dalam RPP NSPK.

Selain itu, ada beberapa RPP dan rancangan peraturan presiden yang mempunyai kaitan dengan sektor pertanian, antara lain rancangan Perpres tentang Daftar Prioritas Investasi dan RPP tentang UMK.

“Kami tidak mengatur substansi untuk UMKM, dan tetap mengacu pada RPP tentang UMKM. Ini supaya kita clear karena ada beberapa, kalau dulu UU sektor itu bisa mengatur tentang kategorisasi, sekarang itu dikelompokkan.”

perlu dibaca : Menimbang Dampak UU Omnibus Law terhadap Masyarakat Adat

 

Petani mengolah lahan di kawasan Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Diversifikasi bahan pangan diperlukan untuk memastikan kedaulatan pangan dan terpenuhinya gizi. Foto: Djoko Subinarto

 

Dijelaskan Edi bahwa perizinan berusaha itu menurut RPP nanti akan dibagi dua, yaitu perizinan usaha dan izin komersial atau izin penunjang. Izin usaha adalah izin yang diperlukan untuk memulai suatu usaha dan ini berlaku sepanjang masih berusaha dan tidak dicabut karena sesuatu hal. Tetapi kalau izin penunjang itu ada masa berlakunya.

“Intinya kalau dulu sebelum adanya UU Cipta Kerja, izin itu berdasar license approach artinya semua harus berizin. Ke depan kita menggunakan pendekatan risk base approach artinya izin hanya diperlukan apabila dia mempunyai risiko tinggi.”

 

Sektor Perikanan Tangkap

Menurut Yuliadi, Sekretaris Dirjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), di KKP sendiri terdapat empat undang-undang yang digabungkan dalam omnibus law ini. Harapannya bisa lebih praktis dan lebih efisien sehingga bisa dimanfaatkan secara tepat dan akuntabel.

Khusus perikanan tangkap ada empat hal yang menjadi concern dalam RPP, yaitu pengelolaan sumber daya ikan, penangkapan ikan dan atau pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI yang bukan untuk tujuan komersial, kapal perikanan dan terkait kepelabuhanan perikanan.

“Untuk kegiatan pengelolaan sumber daya ikan yang terkait adalah estimasi sumber daya ikan, baik menyangkut jumlah tangkapan ikan yang diperbolehkan, pemanfaatan sumber daya ikan dan alokasi sumber daya ikan di setiap WPP berdasarkan pertimbangan komisi nasional yang mengkaji sumber daya ikan.”

Harapannya nanti bahwa di dalam pengelolaan laut kita diharapkan berbasis pada 11 WPP-RI, yang diharapkan akan semakin efektif dan efisien dalam pengelolaannya.

perlu dibaca : LBH: Omnibus Law Perparah Kerusakan di Laut dan Pesisir

 

Kesibukan nelayan dan masyarakat yang terlihat di Lampulo, Banda Aceh, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Terkait pengawakan kapal, ada enam hal yang menjadi perhatian KKP. Pertama menyangkut tata kelola pengawakan perikanan yang dilaksanakan secara terintegrasi pada satu kementerian yaitu KKP. “Semula masih bekerjasama dengan Kementerian perhubungan laut, namun kini dikelola KKP.”

Kedua, terkait tata kelola menyangkut pendidikan, pelatihan, sertifikasi dan perlindungan awak kapal perikanan. Ketiga terkait perlindungan baik itu sebelum, saat dan setelah bekerja.

Keempat, sebelum bekerja harus memenuhi persyaratan dan berkomitmen untuk bekerja untuk kapal perikanan. Kelima, harus dilengkapi dengan perjanjian kerja dan jaminan sosial untuk menjamin hak jaminan keselamatan kerja. Keenam, terkait pembedayaan nelayan khususnya ABK yang pernah bekerja di kapal asing.

 

Kelemahan UU Ciptaker Sektor Perikanan Kelautan

Berbagai kalangan terutama para pemerhati isu kelautan dan perikanan melihat UU Cipta Kerja dinilai masih ada kelemahan yang harus segera diperbaiki oleh Pemerintah Indonesia yang akan melaksanakan regulasi tersebut.

Menurut Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) dalam kertas penilaian yang dirilis ke publik pada Minggu (11/10/2020), ada sejumlah hal yang harus diwaspadai dari UU tersebut.

Di antaranya, adalah rumusan Pasal 27 angka 10 yang mempertahankan Pasal 30 UU Perikanan yang membuka akses penangkapan ikan oleh kapal ikan asing (KIA) pada zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia.

“Hal ini berpotensi kuat menyebabkan eksploitasi sumber daya ikan Indonesia secara besar-besaran oleh pihak asing, seperti halnya terjadi di tahun 2000-an sampai dengan 2014,” demikian bunyi poin pertama yang menjadi fokus kritik IOJI.

Kemudian, dalam Pasal 27 angka 15 UU Cipta Karya, terdapat klausul yang menghapus kewajiban penggunaan awak kapal berkewarganegaraan Indonesia sebesar 70 persen di satu kapal ikan berbendera asing yang beroperasi di Indonesia.

Bagi IOJI, penghapusan kewajiban ini akan memicu kemungkinan KIA yang beroperasi di Indonesia tidak akan lagi mempekerjakan awak kapal perikanan (AKP) dari Indonesia. Bahkan dengan pasal tersebut, KIA berpotensi akan mempekerjakan AKP asing 100 persen.

baca juga : Menimbang Dampak RUU Omnibus Law Cipta Kerja di Sektor Kelautan dan Perikanan

 

Nelayan di Lamongan sedang menangkap ikan. Selain ikan tongkol, jaring ini juga digunakan untuk menangkap ikan kembung. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Dari perspektif hukum internasional, IOJI menilai bahwa pembukaan akses untuk KIA seharusnya mengacu pada empat syarat yang diatur dalam Pasal 62 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut (UNCLOS).

Berkaitan dengan itu, IOJI menganalisa bahwa pembukaan akses ZEE Indonesia untuk KIA saat ini sudah tidak sesuai dengan keempat syarat pada pasal 62 UNCLOS. Hal itu, karena Indonesia masih dihadapkan dengan kebutuhan untuk memenuhi permintaan ikan yang relatif tinggi.

Selain itu, kehadiran KIA juga akan memukul mundur pada nelayan tradisional dan skala kecil yang selama ini beroperasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Potensi itu akan terjadi, karena nelayan dan masyarakat tidak lagi menjadi prioritas dalam mendapatkan manfaat dari sumber daya ikan di ZEEI.

“Ketentuan UU Cipta Kerja tersebut di atas akan membawa Indonesia kembali ke kondisi terdahulu, dimana eksploitasi sumber daya perikanan didominasi oleh korporasi besar bermodal asing,” tegas IOJI.

 

Exit mobile version