Mongabay.co.id

Beragam Tantangan Pengelolaan Hutan Tingkat Tapak di Maluku Utara

 

 

 

Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) mestinya dapat berperan penting dalam pengelolaan hutan di tingkat tapak. Sayangnya, lembaga ini memiliki berbagai masalah, seperti terjadi di Maluku Utara, mulai dari keterbatasan sumberdaya aparatur, minim pendanaan hingga konflik kepentingan dalam menjalankan tugas di lapangan. Belum lagi sinergitas antar lembaga belum maksimal. Begitu antara lain isu yang mengemuka dalam diskusi daring pengelolaan hutan belum lama ini.

Abdul Kadir Kamaludin, dekan Fakultas Pertanian, Universitas Khairun Ternate, Maluku Utara mengatakan, provinsi ini sebagai daerah kepulauan, dalam membangun daerah harus punya strategi termasuk dalam mengelola hutan di kepulauan.

Daerah kepulauan, katanya, memiliki karakterisitk sendiri, seperti laut lebih luas dari daratan. Peduduk relatif sedikit dengan persebaran tak merata.

Sumberdaya alam daerah kepulauan juga beragam. Kehidupan warga juga sangat ditentukan keterisolasian geografis dengan keunikan tersendiri. Habitat atau kondisi flora dan satwa banyak yang endemik. Begitu juga keragaman biotik.

“Di Maluku dan Maluku Utara, ada 15 jenis paruh bengkok. Ini baru dari jenis paruh bengkok,” katanya.

Dari segi ekonomi, daerah kepulauan juga terbatas dengan skala kecil. Sarana prasarana tak memadai, akhirnya produksi dan pemasaran ekonomi tak lancar. Usaha ekonomi, katanya, juga terbatas.

Dari aspek pemasaran ekonomi juga sangat mahal. Laut luas juga dengan ombak dan angin bisa jadi rawan bencana.

Maluku Utara , dengan 805 pulau besar kecil, 82 pulau berpenghuni dan 723 pulau belum ada penghuni. Meski belum berpenghuni, sebagian pulau itu ada kegiatan masyarakat, seperti warga tinggal di pulau A tetapi berkebun di pulau B. Keunikan lain di Malut, katanya, petani bisa berkebun dan ke laut.

“Kalau ada musim cengkih dan pala atau kelapa mereka ke kebun. Jika belum musim panen mereka melaut.   Sumberdaya alam di Malut juga ada di dua kawasan konservasi yakni taman nasional dan cagar alam.”

 

Bisnis kehutanan hasil eksploitasi dan kesulitan bagi masyarakat adat atau lokal. Foto: FWI

 

Maluku Utara juga memiliki persoalan tenurial termasuk hutan sejak masa orde baru hingga kini. Di masa Orde Baru, kata Kadir, implementasi tenurial lahan menjadi problem termasuk penguasaan hutan.

Kala itu, UU Kehutanan sebelum reformasi membuka peluang investasi dalam negeri dan luar negeri, seperti hutan tanaman industri. Sedang masyarakat adat tak punya kewenangan mengelola hutan. Eksploitasi hutan juga tak memperhatikan masyarakat adat.

Akhirnya, akses masyarakat ke hutan terutama masyarakat adat terbatas. Banyak lahan masyarakat adat menjadi kawasan transmigrasi. Bahkan, katanya, fungsi lembaga adat melemah dan penggunaan lahan oleh masyarakat adat menyusut.

Pada era reformasi, lahir UU 41/1999 tentang Kehutanan, mulai masuk pengelolaan hutan untuk keperluan masyarakat. Undang-undang ini, katanya, jadi dasar hukum skema kehutanan berbasis msyarakat, misal, skema kehutanan sosial yang mengatur tiga jenis KPH: konservasi, lindung dan produksi.

Sony Trison, dosen Fakultas Kehutanan IPB mengatakan, kondisi hutan Indonesia belum memberikan manfaat majemuk. Untuk itu, perlu tata kelola agar pemanfatan lebih jelas dan komprehensif terutama dalam pengembangan program untuk masyarakat. Terlebih, katanya, saat ini masyarakat terutama di sekitar dan dalam hutan makin jauh dari sejahtera.

“Indonesia dihadapkan pada potensi konflik tenurial. Justru ini sangat memberi risiko terhadap segala usaha. Ini juga sangat mempersulit di dalam kerangka hutan memberi manfaat yang majemuk bagi masyarakat,” kata pria yang juga Sekretaris Pusat Studi Agraria IPB ini.

Saat ini, katanya,  di Indonesia sekitar 14 juta hektar lahan dan hutan ada konflik dan tersebar di berbagai wilayah.

Dalam konteks pembangunan kehutanan, katanya, perlu memberikan perhatian menyeluruh bagi tata ruang daerah, baik tematik, spasial maupun integratif. Selain itu, perlu menekankan isu tata kelola, isu ekonomi, sosial dan lingkungan hidup.

Kaitan dengan KPH, katanya, memang banyak problem dari kapasitas, kapabilitas, pengembangan sumber daya manusia maupun hubungan antar lembaga.

“Saya kira sangat urgen kita bisa lakukan berbagai pendekatan. Di tingkat tapak, saya melihat ada strategi pembangunan berkelanjutan dari pemerintah dan masyarakat juga universitas. Bagaimana menuju KPH mandiri,” katanya.

Untuk itu, katanya, perlu pikirkan ke depan model kolaborasi dalam pengelolaan KPH. Tujuannya,  KPH tidak sendirian tetapi ada keberagaman. Kolaborasi ini, katanya, seperti ada kementerian, pemerintah daerah (kabupaten dan provinsi), perguruan tinggi dan lembaga swasta lain. “Ini potensi yang bisa dikembangkan ke depan.”

Bisa juga, katanya, mendorong sinergi KPH dengan perhutanan sosial. Perhutanan sosial , katanya, bisa jadi titik masuk sinergi antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama Kementerian Pertanian.

 

Jemur cengkih, pala dan fuli (bagian dari buah pala), hasil dari KPH Ternate-Tidore di Kampung Kalaode. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Dengan sinergi semacam itu, katanya, bisa dibuka dan dihubungkan berbagai peluang. “Saya kira perlu diperkuat di level nasional. Masuk sampai ke level bawah. KPH sebagai unit managemen di tingkat tapak, sudah bisa belajar dari situ.”

Bagaimana mengembangkan masyarakat dengan KPH? Dia bilang, perlu memperhatikan sumberdaya alam dengan bisnis. “Kolaborasi itu perlu menjual kemasan yang disesuaikan kebutuhan masyarakat. Perlu mengembangkan produksi di KPH.”

Terobosaannya, manfaatkan sumber-sumber pendanaan yang relevan dengan kebutuhan pengembangan masyarakat. Perlu juga, katanya, membangun kebersamaan.

Kristin Wulandari, dosen Universitas Lampung bicara soal membangun sinergitas di tingkat tapak. Baginya , sinergitas bidang kehutanan itu tak lepas dari tiga hal, yakni, sosial, ekonomi dan ekologi.

Dalam mengelola hutan ketiganya harus simultan. Masyarakat pasti tidak mau disuruh jaga hutan kalau tidak bisa makan atau hidup dari sana.  “Tiga hal ini harus selalu ada dalam setiap kegiatan maupun program.”

Salah satu dari KPH angkat bicara. Ibrahim Tuhateru, Kepala KPH Ternate-Tidore tak menampik berbagai permasalahan di tingkat tapak.

Dia bilang, persoalan sumberdaya manusia, dan pendanaan memiliki masalah tersendiri di tingkat tapak. Dia bercerita soal implementasi kenerja di lapangan.

KPH Maluku Utara yang dibentuk berdasarkan Permen KLHK 73/8/2/2010 diperkuat kelembagaan dengan Pergub 69/2016 lalu Pergub 44/2017. Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) KPH Ternate Tidore, mengelola 11 blok kawasan hutan mencapai 8.499 hektar dan masuk kategori KPH hutan llindung.

“KPH diharapkan berperan dengan punya sumbangsih sektor ril kehutanan. Dari pemanfaatan hutan, hasil hutan dan pertanian,” katanya.

KPH Ternat-Tidore, katanya, punya banyak potensi, antara lain, pengelolaan jasa lingkungan. Ada wisata alam Gunung Kapur Tomajiko di Pulau Hiri, wisata mangrove dan lumba lumba di Pulau Mare, kawasan wisata hutan Gunung Gamalama . “Juga akan dibuat pengamatan satwa terutama endemik Ternate,” kata Ibrahim.

Untuk hasil hutan bukan kayu, katanya, dikembangkan bambu tutul di Tidore, dengan fasilitasi Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) dan Dinas Kehutanan. Ada juga potensi minyak atsiri, pengembangan minyak cengkih, serai wangi, minyak pala dan kayu manis.

 

***

Keterangan foto utama: Pemandangan dari puncak Tidore. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version