Mongabay.co.id

Insentif Imbal Jasa Lingkungan bagi Para Perawat Hutan di Kalbar

 

 

 

Suara gemericik air dari riam kecil yang mengalir ke sungai bersamaan dengan kicauan burung dan suara binatang hutan. Matahari terik di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, ini terhalang rindang tajuk pepohonan. Begitulah suasana asri di Hutan Desa Laman Satong.

Masyarakat biasa menyebut kawasan ini dengan Hutan Manjau. Topografi berbukit, dengan luas 1.070 hektar. Areal hutan desa ini terbagi dua, terbelah jalan akses menuju dataran lebih tinggi. Surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan atas hutan desa keluar pada 2011.

Yohanes Terang, tokoh Santong sudah menjaga hutan sejak pembalakan liar masih marak. Kini, hutan itu dikelola desa dan mereka bikin aturan-aturan pemanfaatan yang berkelanjutan.

“Masyarakat boleh mengambil hasil hutan bukan kayu, tapi dilarang menebang,” katanya.

Adapun persyaratan hutan desa yang harus dipenuhi antara lain, masyarakat tak boleh membuka lahan atau menebang pohon di hutan desa. Mereka juga ikut proyek REDD+. Lembaga Pengelola Hutan Desa akan peroleh pembayaran 100% kalau pembukaan lahan tak lebih dari 2,2 hektar per tahun.

Kalau konversi hutan lebih dari 2,2 hektar-4,4 hektar, mereka akan dibayar 50% per tahun. Bila mereka membuka lahan di hutan desa lebih 4,4 hektar, masyarakat tak akan mendapatkan insentif sama sekali.

Adi Yani, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kalbar mengatakan, konsep pengelolaan dengan beri insentif ekonomi kepada masyarakat yang menjaga hutan, jadi pendorong masyarakat memanfaatkan hutan, sekaligus melindungi.

Mekanisme pemberian intensif dalam upaya penurunan emisi dengan melindungi hutan atau lebih dikenal dengan nama reducing emissions from deforestation and forest degradation (REDD+).

Saat ini, kata Adi, di Kalbar, yang sudah berjalan skema sukarela melalui penjualan sertifikat Plan Vivo seperti di Laman Satong Ketapang dan Nanga Lauk, Kapuas Hulu.

Masyarakat Dayak Tolak Sekayam, di Dusun Manjau, Desa Laman Satong, Kecamatan Matan Hilir Utara, Ketapang pun berhasil mendapatkan manfaat dari menjaga hutan desa mereka.

“Warga desa mendapatkan kompensasi insentif imbal jasa lingkungan, yang dananya dikelola kelompok,” kata Adi.

 

Yohanes Terang, Kepala Desa Laman Satong pertama. Foto : Andi Fachrizal/ Mongabay Indonesia

 

Di hutan desa ini, terdapat berbagai macam pohon eksotik Kalimantan seperti merawan pasir (Hopea ferruginea) dan belian atau ulin (Eusideroxylon zwageri).

Hutan Desa Manjau mengandung 97,88 ton karbon ekuivalen untuk setiap hektar di zona lindung, dan 34,30 ton ekuivalen setiap hektar pada zona rehabilitasi.

Berdasarkan validasi Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Plan Vivo pada 2015, hamparan vegetasi ini mampu mereduksi atau mengurangi emisi sebesar 4.684 ton karbon dioksida ekuivalen setahun.

Imanul Huda, Country Program Manager People Resources and Conservation Foundation (PRCF) Indonesia, mendampingi Desa Nanga Lauk di Kabupaten Kapuas Hulu, untuk konsep serupa.

“Mekanisme pembayaran dengan cara performance base payment, dana akan dibayar mengacu kepada kebutuhan pembiayaan terhadap pengelolaan hutan desa,” katanya.

Di Nanga Lauk, katanya, tidak semata dinilai karbon yang jadi potensi. Ada aspek lain yaitu biodiversitas dan pengembangan mata pencaharian masyarakat, dengan alokasi pembiayaan disediakan jangka panjang, selama 25 tahun. Mekanisme ini disebut sustainable conservation commodity mechanism (SCCM).

Melalui mekanisme ini mitra dari pemgelola hutan desa di Nanga Lauk punya kewajiban untuk konservasi yang bisa diserahkan kepada pengelola hutan desa.

Hasil pengurangan emisi oleh Lembaga pengelola Hutan Desa (LPHD) ini tidak diambil oleh mitra atau pembeli sertifikat, tetapi bisa diserahkan ke negara sebagai bagian kontribusi untuk nationally determined contribution (NDC).

“Saat ini mekanisme ini belum terbangun, masih menunggu peraturan presiden yang masih disusun.” Pemerintah sedang menyusun Peraturan Presiden soal Nilai Ekonomi Karbon. Untuk skema wajib melalui proyek REDD+ masih dalam persiapan.

 

Hutan Desa di Laman Satong Kecamatan Matan Hilir Utara, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Foto : Andi Fachrizal/ Mongabay Indonesia

 

Di Kota Pontianak, ada juga area hutan kota mempunyai potensi sama. Ia juga kawasan konservasi ex-situ, atau upaya pelestarian alam di luar habitat asli, khusus untuk berbagai jenis tumbuhan di Kalimantan.

Gusti Hardiansyah, Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura, mengatakan, Arboretum Universitas Tanjungpura, sebelumnya, merupakan padang ilalang dan rumput teki.

Pembangunan arboretum sebagai areal pelestarian plasma nutfah sekaligus hijauan kampus merupakan tindak lanjut hasil rumusan dari seminar soal Hutan Kota dan Hijauan Kampus di Bogor pada 1987.

Gusti mengatakan, kawasan ini juga mempunyai manfaat sebagai penghasil oksigen ( O2 ) atau paru-paru kota.

Budi Suriansyah, pengurus awal Arboretum, dalam risetnya mengatakan, arboretum dengan luas 3,4 hektar dapat menyumbang O2 sebanyak 6.250 kg per tahun per hektar. Setara 20.000 kg pertahun dapat mensuplai O2 bagi 102 orang perhari penduduk Kota Pontianak dan sebagai penyerap karbondioksida.

Dengan luas 3,4 hektar itu arboretum dapat menyerap gas CO2 pertahun sebesar 1.821,024 ton perhektar per tahun.

“Kawasan ini, daerah resapan air, penyaring dan pereduksi polutan di udara, penghambat suara atau menurunkan tingkat kebisingan kota,” kata Gusti.

Arboretum juga penyusun atau memperbaiki (ameliorasi) iklim mikro, mengurangi tingkat erosi tanah, habitat satwa, serta sebagai sarana rekreasi alam.

Untuk dukungan dukungan pendanaan, salah satu dari Tropical Forest Conservation Act (TFCA) Kalimantan. Ini merupakan program kerja sama pengalihan utang antara Pemerintah Indonesia, Pemerintah Amerika Serikat. Tujuannya, untuk melindungi keragaman hayati penting, menjaga karbon hutan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui kegiatan ekonomi selaras dengan sumber daya hutan di Kalimantan.

“Di Kalbar, TFCA Kalimantan mendukung program konservasi di Heart of Borneo di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat” katanya.

TFCA Kalimantan mengalokasikan 80% dari dana hibah untuk mendukung aktivitas-aktivitas konservasi di empat kabupaten itu. Sekitar 20% dari dana hibah tersedia teralokasi untuk mendukung aktivitas-aktivitas yang sesuai dengan mandat hibah di luar kabupaten sasaran di Kalimantan.

Pendanaan lain lewat Badan Layanan Umum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Pembiayaan ini untuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Badan Layanan Umum (BLU) efektif beroperasi mulai 1 Januari 2020, dan mengelola dana Rp4,29 triliun.

“Dana terkumpul dari berbagai sumber, baik dalam negeri maupun luar negeri. Ada dari dana reboisasi, dana dari REDD+ Norwegia, juga ada dari ADB yang GCF (green climate fund),” kata Marcelinus Rudy, Kepala Bidang Perlindungan Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kalbar.

Upaya mitigasi dan adaptasi iklim, konservasi, keragaman hayati, dan berbagai kearifan lokal yang perlu dilindungi, katanya, dengan cara menyediakan kemudahan akses pendanaan dan menjamin keberlanjutan ketersediaan dana untuk berbagai pihak.

 

 

Aksi pemetaan hutan desa. Foto: PRCF, Imanul Huda

 

***

Menjaga tutupan hutan dan lahan begitu penting mengingat deforestasi dan degradasi hutan di negeri ini terus terjadi.

Siti Nurbaya, Menteri KLHK, mengatakan, deforestasi tahunan Indonesia yang dulu pernah lebih dari 3,5 juta hektar periode 1996-2000. Kini, telah turun jadi 0,44 juta hektar dan akan terus turun di masa mendatang.

Pada tingkat ekosistem, Indonesia memiliki 51 juta hektar kawasan lindung, atau lebih 28% daratan. Ia belum termasuk 1,4 juta hektar hutan bernilai konservasi tinggi (HCVF) di dalam konsesi perkebunan sawit dan cukup banyak di konsesi hutan tanaman industri, diperkirakan sekitar dua juta hektar.

“KLHK bekerja keras konsolidasikan high conservation value kawasan berupa kebijakan kawasan lindung dalam upaya konektivitas habitat satwa yang terfragmentasi selama ini karena perizinan,” kata Siti.

Pada tingkat spesies, Indonesia menyusun peta jalan memulihkan populasi 25 spesies yang terancam punah. Dari 270 lokasi, beberapa populasi spesies meningkat dalam lokasi pemantauan, seperti jalak Bali, harimau Sumatera, badak Jawa, gajah Sumatera, dan elang Jawa.

Sedangkan di level genetik, katanya, Indonesia mempromosikan bioprospeksi (bioprospecting) untuk keamanan dan kesehatan pangan. Juga upaya korektif pemerintah terkait penanganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) melalui perbaikan peringatan dini dan antisipasi, serta mitigasi.

Indonesia juga menetapkan setop izin di hutan primer dan lahan gambut, juga pengaturan muka air tanah dengan teknik hidrologi. Termasuk, penegakan hukum terhadap kegiatan ilegal, dan penerapan efektif sistem jaminan legalitas hutan Indonesia dikenal dengan SVLK.

Pemerintah, katanya, juga menetapkan Permenlhk No. 70/2017 tentang Tata Cara Pelaksanaan Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation, Role of Conservation, Sustainable Management of Forest and Enhancement of Forest carbon Stocks. Kalbar pun jadikan aturan ini acuan kegiatan REDD+ termasuk soal pengukuran, pelaporan dan verifikasi kegiatan REDD+.

Di Kalbar, berdasarkan kajian Kelompok Kerja (Pokja) REDD+, per tahun rata-rata tingkat deforestasi hutan di Kalbar mencapai 68.840 hektar.

“Luasan ini 90 kali lebih luas dari lapangan bola,” kata Sekretaris Daerah Kalbar, A.L Laysandri, belum lama ini.

Tercatat, degradasi hutan di Kalbar kini mencapai 10.835 hektar per tahun. “Ini memerlukan perhatian serius agar deforestasi dan degradasi hutan ini dapat berkurang,” katanya.

Indonesian National Carbon Accounting System (INCAS), Kementerian LingKungan Hidup dan Kehutanan, menyebutkan, Kalbar salah satu provinsi di Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 5,3 juta jiwa. Luas wilayah kurang lebih 15 juta hektar, dengan 8,2 juta hektar hutan dan 1,6 juta hektar adalah lahan gambut.

Untuk menekan laju deforestasi dan degradasi hutan di Kalbar, kata Adi, pemprov memiliki dua peraturan daerah [perda] tentang pengelolaan usaha berbasis lahan berkelanjutan.

Ada Perda No. 6/2018 tentang usaha berbasis lahan berkelanjutan dan Peraturan Gubernur No. 60/2019 tentang tata cara dan mekanisme penetapan areal konservasi dalam pengelolaan usaha berbasis lahan tingkat kabupaten.

“Sumber daya alam harus juga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat yang hidup di sekitar. Penting merancang konsep-konsep perhutanan sosial di Kalimantan Barat.”

Sampai akhir 2018, realisasi akses kelola perhutanan sosial di Kalbar mencapai 115 akses kelola terdiri dari 63 hutan desa, 17 hutan kemasyarakatan HKm), 31 hutan tanaman rakyat dan empat penetapan hutan adat dengan total sekitar 265.000 hektar.

“Masih ada lagi 31 usulan usulan perhutanan sosial juga dalam proses penangguhan izin karena status lahan berada dalam fungsi ekosistem gambut sekitar 74.921 hektar.”

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, KLHK, realisasi perhutanan sosial Kalbar ini merupakan tertinggi secara nasional dari sisi luasan.

Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial (Pokja PPS) yang beranggotakan multi pihak baik dari unsur pemerintah, dunia usaha, akademisi dan NGO/LSM maupun kerjasama antar pemerintah ini telah dikukuhkan melalui Keputusan Gubernur Kalbar Nomor 693/Dishut/2016. Atau sesuai aturan revisi lewat Keputusan Gubernur Kalbar Nomor 755/Dishut/2017 tertanggal 18 Desember 2017.

“Kerjasama multipihak untuk pendampingan masyarakat dalam mewujudkan konsep-konsep keberlanjutan, dan jadikan masyarakat sekitar hutan sebagai penerima manfaat dari imbal jasa menjaga lingkungan patut terus dikembangkan,” kata Adi.

 

 

***

Foto utama: Hutan adat masyarakat Dayak Iban seluas 9.480 hektar di Dusun Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kecamatan Embaloh, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

 

 

Exit mobile version