Mongabay.co.id

Sasi, Etika Lingkungan dan Toleransi Satu Bumi Kesultanan Bacan

Sasi adalah bentuk kearifan lokal yang masih terpelihara di Indonesia bagian timur, khususnya di kepulauan Maluku dan tanah Papua. Di beberapa wilayah, istilah sasi dikenal dengan lain seperti yot di Kepulauan Kei Besar, yutut di Kei Kecil, serta nama-nama lokal lainnya.

Seperti di Maluku dan beberapa wilayah Papua, praktik sasi tidak hanya dilakukan di darat, tapi juga digunakan untuk mengelola sumber daya alam yang ada di pesisir dan laut.

Sasi sendiri adalah cara mengatur panen sumber daya tertentu (hayati laut maupun darat) dalam jangka waktu yang telah ditetapkan. Tujuannya agar sumber daya dapat tetap lestari, dan tidak diambil secara berlebihan. Larangan sasi memberi waktu yang cukup, agar sumber hayati yang ada di alam dapat memiliki waktu berkembang biak dan memulihkan populasi.

Secara etimologi, kata ‘sasi’ berasal dari bahasa Bacan yang berarti ‘sumpah, bai’at, janji, ikrar atau pernyataan sikap tidak tertulis (Ibnu Tufail I.A. & Hi. Akib I.A.2008). Barang siapa melanggar sasi sejatinya ia melanggar sumpah.

Merujuk pada Pattanama dan Patipelony (2003), sasi adalah suatu sistem hukum lokal yang berisikan larangan dan keharusan untuk memetik atau mengambil potensi SDA dari jenis tertentu untuk suatu jangka waktu pendek.

Dalam pengertian umum, sasi adalah hasil aturan kesepakatan (pacakalang) bersama antara masyarakat dengan pemangku adat atau pemuka agama yang berada dalam perangkat adat. Memuat kebijakan berupa suruhan, larangan ataupun pantangan dalam memanfaatkan lingkungan dan hasil-hasilnya, guna menghindari penyimpangan yang disengaja terhadap lingkungan.

Menurut sejarahnya, sasi di Maluku telah ada sejak dahulu kala. Di Maluku hukum sasi telah menjadi praktik bersama dan menjadi komitmen bersama para tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat hingga masyarakat umum. Dengan demikian, tidak aneh jika ada istilah sasi gereja dan sasi mesjid, di luar sasi yang dilakukan secara tradisional.

Tentang keragaman agama dan kepercayaan di Kepulauan Maluku, telah ada sejak berabad-abad silam.  Sikap toleransi antar pemeluk agama dan kepercayaan pun telah berjalan baik.

Sebelum masuknya ajaran Islam dan Kristen, di Maluku masyarakat menganut kepercayaan asli. Ajaran Islam telah masuk di beberapa wilayah kesultanan, seperti wilayah negeri yang kemudian dikenal sebagai Moloku Kie Raha di Maluku Utara.

Adapun ajaran Kristen Protestan mulai diperkenalkan oleh para misionaris dari Belanda bersama datang berkembangnya Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang dibentuk pada tahun 1602. Sebelumnya ajaran Katolik telah diperkenalkan oleh orang-orang Portugis, pada abad ke-16.

Menurut Tapilatu (2008), di masa kekuasaan VOC (abad ke-17 dan ke-18) di Maluku telah berkembang suatu corak kekristenan yang khas seperti tercermin di Gereja Protestan di Maluku.

Baca juga: Sasi, Konservasi Berbasis Kearifan Lokal di Raja Ampat

 

Simbol toleransi sejak era Kesultanan Bacan, kiri atas: Mesjid Agung Bacan, kanan atas: Gereja “Ayam” di lokasi hibah lahan dari kesultanan, bawah: Kedaton Kesultanan Bacan. Foto: M. Arba’in Mahmud

 

 

Saruma dan Sasi : Akar Toleransi di Kesultanan Bacan 

Wilayah Kesultanan Bacan berada di selatan pulau Halmahera, berbatasan dengan Laut Maluku di sebelah barat dan utara, Selat Patinti dan Pulau Halmahera di sebelah timur, serta Pulau Obi dan Laut Seram di sebelah selatan. Wilayahnya terdiri dari gugusan pulau, Bacan merupakan pulau terbesar dari beberapa pulau lainnya.

Sejak berabad lalu, Kesultanan Bacan membawahi masyarakat yang heterogen, yakni masyarakat adat tradisional, masyarakat beragama Islam, dan warga para penganut Katolik dan Kristen. Guna menghindari perpecahan dan pertentangan antar kelompok masyarakat, di masa Sultan Muhammad Ali (Sultan Bacan VII, tahun 1607-1670) Sultan mengembangkan konsep ‘Saruma’.

Saruma berasal dari bahasa Bacan yang berarti ‘teman/sahabat’ atau secara filosofis berarti ‘serumah’. Di bawah atap satu rumah terdapat kamar-kamar yang berbeda, tetapi disatukan oleh sebuah rumah yang sama.

Menurut Ibnu Tufail Iskandar Alam (Ompu Juru Tulis Raa/Sekretaris Kesultanan Bacan) kepada penulis, konsep saruma hampir sama dengan konsep Bhinneka Tunggal Ika. Dengan demikian, dapat dikatakan saruma menjadi satu indikator berkembangnya budaya toleransi di Kesultanan Bacan.

Sebagai contoh konkret penerapan toleransi ‘saruma’ di Kesultanan Bacan adalah pemberian wakaf/hibah tanah kesultanan (sejak abad XV) untuk pembangunan Gereja Protestan Maluku (GPM) Klasis Pulau-pulau Bacan di lingkungan Kedaton/Istana Kesultanan Bacan.

Bahkan pada masa peristiwa konflik horizontal tahun 1999, bangunan Gereja ‘Ayam’, -sebutan khas gereja tersebut, selamat dari ancaman kerusuhan tersebut.

Adapun sasi, -merujuk pada asal-usul sejarahnya, dapat ditarik hingga pemerintahan Sultan Bacan I (Sultan Muhammad Baqir, 1230-1319). Sasi diperkenalkan sebagai hukum yang dapat menjerat orang yang melanggar ketentuan, dan dijalankan dengan filosofi Aha Kolano, artinya melestarikan produksi, bahan-bahan, sumber daya yang ada di kawasan gudang logistik dan lumbung-lumbung masyarakat.

Kawasan Aha Kolano berisikan tanaman pangan utama (sagu), hasil hutan (kayu), hasil ikutan (rotan, damar) dan hasil sampingan (buah-buahan). Sasi dibuat dalam rangka memelihara Aha Kolano tersebut.

Pada pemerintahan Sultan Bacan V (Sultan Alauddin I), Sultan mengangkat “Sangaji” yang membawahi lima tipikal masyarakat yang berbeda, yaitu para penganut animisme, dinamisme, Islam, Katolik dan Kristen. Sangaji bertindak sebagai koordinator dan penghubung masing-masing kelompok, dan langsung bertanggungjawab kepada Sultan.

Di masa pemerintahannya, Sultan Alauddin I memiliki dua visi, pertama memajukan syiar agama dan kedua memajukan kesejahteraan sosial masyarakat. Dalam konteks inilah sasi kemudian dikembangkan dalam tiap-tiap komunitas disesuaikan dengan nilai dan pranata kelompok yang heterogen baik asal, keyakinan dan agamanya.

Menurut Ibnu Tufail Iskandar Alam, budaya sasi Kesultanan Bacan berkembang dan menyebar di Pulau Maluku (Ambon) di bawa oleh para Pendeta Kristen pasca pembaptisan umat di Bacan, yaitu di masa periode pemerintahan Sultan Bacan VII (1607-1670).

Selanjutnya, ajaran sasi Kesultanan Bacan ini diadopsi oleh gereja dan disebarkan ke wilayah Maluku lain, dikenal sebagai sasi gereja seperti halnya yang berkembang saat ini.

Di masa kolonial, aturan hukum sasi juga telah di bakukan lewat Reglement Pemerintah Hindia Belanda tahun 1915 –1922 seri No. 45 tentang sasi, dikenal sebagai Reglement Te Paperoe (Reglement sasi negeri Paperu).

Baca juga: Jalinan Masyarakat Hukum Adat dengan Laut dan Pesisir Tak Terpisahkan, Seperti Apa?

 

Maluku kaya dengan sumber daya laut dan darat. Salah satunya dari perikanan. Sasi mengatur kapan waktu diperbolehkan untuk tangkap ikan. Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Sasi dan Aturan Pelaksanaannya

Menurut Ibnu Tufail, penerapan sasi dalam satu komunitas tertentu bertujuan untuk: 1) meningkatkan produksi SDA; 2) meningkatkan kematangan (buah/produk) yang optimal; 3) menghindari sistem ‘ijon’/riba; 4) mempertahankan pertumbuhan vegetatif; dan 5) menghindari terjadinya penyerangan hama dan penyakit.

Tempat penerapan sasi biasa dilakukan di dua tempat, yakni di lokasi/dalam ruangan dan di tempat umum (masjid/gereja). Sasi di lokasi dilakukan apabila terjadi pelanggaran sasi dan si pelanggar tidak mengakui.

Sasi dilakukan dengan cara yang bersangkutan (si pelanggar) disumpah dengan kitab suci di atas kepalanya. Sasi akan batal jika pihak keluarga minta maaf dan membenarkan adanya pelanggaran tersebut, sehingga sasi hanya berdampak pada yang bersangkutan dan tidak membuat malu keluarga.

Adapun sasi yang diterapkan di tempat umum, tatacaranya sama seperti halnya di ruangan, tetapi pelaksanaannya disaksikan oleh masyarakat dan dilakukan di hari dan waktu tertentu, seperti usai sholat Jumat atau ibadah gereja.

Dalam perkembangannya, sasi masih berlaku hingga sekarang dan berkembang untuk penyelesaian masalah sosial (hubungan masyarakat/pergaulan). Selain dalam bentuk ajaran atau norma sosial, sasi yang berkembang di Bacan juga berwujud benda berupa uru atau matakao dan talibagu.

Uru (matakao) adalah alat sesajian berupa potongan kayu atau batangan milu (tongkol jagung) berukuran kecil, dibungkus rapi dan diikat dengan kain warna merah dan dibentuk seperti orang-orangan (boneka).

Uru juga dapat dibuat dari botol ukuran sedang, disamping dihiasi kain merah dan dihiasi hiasan koronci (janur) dari daun jenis pohon woka (sejenis lontar). Hiasan koronci woka diikatkan atau ditusuk pada gaba (pelepah sagu) yang telah dibentuk sebesar lubang botol, dan berfungsi sebagai tambat atau penutup botol.

Setelah diberi mantera, botol tersebut diisi air, ditutup dengan sumbat yang telah tertancap di koronci pada tutup gaba, kemudian diletakkan dalam saung ukuran kecil, terbuat dari atap sagu.

Selanjutnya, talibagu adalah batas demarkasi kepemilikan lahan masyarakat adat tanpa kasat mata, berupa simbol pemantraan mengikuti batas areal kepemilikan lahan, tidak menggunakan sarana secara nyata.

Si pelanggar talibagu akan langsung terkenan semacam kepenatan pada betis, sehingga tidak mampu berjalan dan jatuh tersungkur seketika itu juga. Jika si pelanggar tidak membawa pendamping dan tidak diketahui oleh masyarakat, maka dapat berakibat pada efek kematian.

Oleh karenanya, pemulihan kondisi hanya dapat dilakukan dengan menghubungi si pemilik lahan, kemudian melalui pemberian mantra talibagu melakukan proses ritual tertentu, si pelanggar dapat kembali pulih.

Di Maluku, sasi berkembang menjadi lima jenis, yakni sasi umum (air dan darat), sasi pribadi, sasi agama, sasi negeri/ kampong dan sasi babaliang (Judge & Nurizka, 2008). Pun dikenal istilah kewang sebagai kelompok orang yang menjaga kesepakatan sasi, sebagai salah satu lembaga adat di Maluku.

Prosesi budaya sasi di Maluku dilaksanakan melalui upacara buka dan tutup sasi, baik menurut adat maupun menurut gereja. Upacara tutup sasi merupakan pernyataan bahwa larangan itu mulai berlaku dengan memberikan tanda sasi, yaitu berupa kayu yang diikat dengan pucuk daun kelapa muda dan tanaman pada batas areal terlarang.

Pada akhirnya, dilaksanakan upacara buka sasi berupa pengangkatan tanda sasi tadi dengan upacara adat sebagai tanda larangan itu tidak berlaku lagi. Setelah sesudah upacara itu, barulah si pemilik dapat mengambil hasilnya yang sudah matang.

Baca juga: Meriahnya Panen Teripang Buka Sasi di Kampung Folley Raja Ampat

 

Buka sasi laut seperti yang dilakukan oleh masyarakat di Raja Ampat, Papua Barat. Foto : Nugroho Arif Prabowo/TNC

 

 

Sasi  dan Benih Toleransi Ekologi

Menurut penulis, sasi yang berkembang di Bacan dan Ambon sejatinya mempunyai benang merah sama, yakni Toleransi Sebumi, toleransi berbasis ekologi. Lewat sasi maka persoalan ekologi dan lingkungan dapat menjadi satu ‘jembatan toleransi’ antar umat beragama pun dengan masyarakat lain yang tidak beragama sekalipun.

Semua anak manusia terlebur pada kesadaran sama untuk merawat satu sajadah/satu altar bumi yang sama dan menjadi wali atasnya (khalifah fil ardhi) dengan spirit kearifan ajaran agama dan keyakinan masing-masing.

Toleransi sebumi tersebut terwujud dengan adanya sasi masjid, sasi gereja dan sasi yang berkembang di masyarakat adat tradisional. Meski dasar ajaran pelaksanaan sasi berbeda, tetapi tujuan dan pelaksanaan sasi tersebut relatif sama.

Jika dalam wacana teologi, kadang toleransi menjadi sangat mahal dan ‘rentan’ miskomunikasi, sebaliknya dalam ranah ekologi justru sebaliknya, dan dapat diusung siapa pun yang peduli.

 

Referensi

Asrorun Ni’am Sholeh, Dr. (ed.), 2017, Peran Fatwa MUI dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara: Fatwa MUI dalam Pandangan Akademisi, Jakarta.

Ibnu Tufail I.A. & Hi. Akib I.A. (2008) berjudul “Sasi Sebagai Wujud Pengelolaan Lingkungan” disampaikan dalam Prosiding Seminar Peran Kraton, Puri dan Kesultanan Nusantara se-SUMAPAPUA dalam Pelestarian Lingkungan Hidup, diselenggarakan Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 15 April 2008 di Gowa, Sulawesi Selatan.

https://id.wikipedia.org/wiki/Sasi

https://sururudin.wordpress.com/2008/ 09/28/sejarah-gereja-protestan-di-maluku/

https://www.kompasiana.com/muharbainmahmud

Mahmud, MA. “Resolusi Hijau MUI: Mendamba Fiqih Lingkungan Menuju Toleransi Sebumi (Studi Kasus MUI Provinsi Maluku Utara dan MUI Kota Ternate)”. International Conference on MUI Studies, 25-26 Juli 2017.

 

 

* Muh. Arba’in Mahmud, penulis adalah pegiat Forum Koordinasi Daerah Aliran Sungai (Forum DAS) Moloku Kie Raha. Berdomisi di Kota Ternate. Artikel ini didukung oleh Forest Watch Indonesia (FWI), Universitas Pattimura dan Mongabay Indonesia.

 

 

 

***

Foto utama: Ilustrasi mengumpulkan ikan bersama-sama dalam acara manam’mi di Kepulauan Talaud, Sulut. Konsep relasi manusia dengan alam dalam berbagai tradisi budaya di Indonesia amat erat Foto: Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version