- Rumput laut salah satu sektor terdampak pandemi COVID-19. Harga sempat anjlok drastis membuat petani di Sulsel sempat ingin menghentikan produksi.
- Terlepas dengan adanya pandemi, petani rumput laut menghadapi banyak permasalahan, seperti penyakit dan perubahan musim serta kurangnya kualitas akibat panen yang terlalu cepat karena mengejar keuntungan cepat.
- Tidak hanya di tingkat petani, permasalahan rumput laut secara makro adalah ketiadaan sistem yang bekerja, sehingga pelaku usaha tak punya acuan.
- Untuk memberi nilai tambah bagi rumput laut Jasuda mendampingi UKM memproduksi beragam produk makanan dan kosmetik berbahan dasar rumput laut.
Pandemi COVID-19 telah menghantam berbagai sektor ekonomi masyarakat. Salah satu komoditas ekspor yang sempat mengalami kontraksi yang cukup besar adalah rumput laut. Puncaknya di bulan April di mana harga anjlok ke harga Rp10 ribu dari sebelumnya Rp20 ribu – Rp22 ribu per kg untuk jenis Cottoni.
Kondisi ini sempat membuat petani di sejumlah daerah di Sulsel gelisah dan hendak menghentikan penanaman. Untunglah kondisi ini tak berlangsung lama. Harga perlahan naik ke harga Rp15 ribu dan bahkan Rp17 ribu.
“Penyebab turun ya karena memang faktor demand kurang, pabrik sempat berhenti atau kurangi produksi satu shift saja, baik di Makassar ataupun di Surabaya. Utilitas biasa 65 persen selama pandemi cuma 54 persen turun 10 persen. China cukup berpengaruh juga, dulu beli banyak lalu tiba-tiba stop. Mereka juga sempat mengurangi produksi,” ungkap Boedi Sardjana Julianto, Direktur Jaringan Sumber Daya (Jasuda), di Makassar, pertengahan November 2020 lalu.
Anjloknya harga rumput laut, menurut Boedi, mengutip informasi dari Asosiasi Industri Rumput Laut Indonesia (Astruli), juga disebabkan perang dagang AS dan China.
“Pasar China masuknya di pasar-pasar yang biasa kita masuk, di situ kita kalah bersaing. Pasar Eropa, Filipina, masuk di pasar yang biasa kita masuk di AS. Mereka memang lebih kompetitif, juga ada keringanan pajak. Kalau kita tidak ada seperti itu,” katanya.
Terlepas dari situasi pandemi, kondisi rumput laut di Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan memang memiliki beragam permasalahan. Di tingkat petani selain terkait penyakit dan perubahan musim, juga terkait kurangnya kualitas akibat panen yang terlalu cepat karena mengejar keuntungan.
“Panen bagusnya tak kurang dari 45 hari, namun ini juga tergantung kondisi petani. Kadang mereka ingin segera memetik hasil sehingga panen lebih cepat. Belum lagi penjualan instan karena faktor kemalasan dengan berbagai alasan, repot pak, susah pak,” jelas Boedi.
Menurut Boedi, jika petani ingin mendapat hasil maksimal maka ada budaya yang harus diubah. Rumput laut yang dibersihkan dan dikeringkan dengan baik bisa bernilai jual 10 kali lipat dibanding harga biasa.
baca : Produksi Rumput Laut di Pusaran Pandemi COVID-19
Permasalahan di Tata Niaga
Menurut Asdar Marzuki, salah satu pengurus Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI), permasalahan rumput laut tidak hanya terkait hal-hal yang bersikap mikro di tingkat petani dan industri, namun juga ada masalah paling besar di tingkat makro, yaitu terkait sistem.
“Sebenarnya permasalahan di rumput laut itu di makro, pada tiadanya sistem yang bekerja, dimana kita tidak punya acuan. Memang ada SNI, namun hitungannya lebih pada pembuatan program bukan pada bisnis yang berkelanjutan,” katanya.
Asdar menilai pemerintah juga tidak siap ketika berhadapan dengan perdagangan internasional. Segalanya ingin diatur pemerintah tanpa mengukur kemampuan beli tanpa melibatkan sektor swasta.
Masalah lain pada ketidakkompakan berbagai asosiasi rumput laut yang ada, sementara pemerintah sendiri berupaya mengendalikan tata niaga rumput laut ini meski bukan pelaku. Road map dibikin namun semuanya dari pemerintah.
“Seyogianya pemerintah fasilitasi dan mendorong naik kelas pelakunya ke skala internasional dan kemudian menata aturan di bawah, didukung infrastruktur dan kebijakan. Masyarakat pasti mampu untuk menyesuaikan. Sekarang, masyarakat tetap berkutat dengan masalah bahan baku. Ekspektasi maunya ada nilai tambah, ada aturan-aturan ramah lingkungan dsb., sementara di tingkat bawah masih dengan masalah kurang bibit, tali, dsb.”
Menurut Asdar, meski ada road map namun orientasinya lebih kepada proyek. Sumber daya yang digunakan juga semuanya dari pemerintah yang terbatas, padahal dari swasta justru lebih besar.
“Semestinya siapkan platform supaya swasta bisa bermain dan kemudian mendorong sistem yang berkelanjutan. Prinsipnya selama ini kita mengakui besar dan hebat tetapi tidak ada yang menunjukkan itu.”
baca juga : Pariwisata Mati, Rumput Laut Hidup Lagi (bagian 1)
Asdar juga menilai pemerintah selalu melihat bahwa investasi itu adalah kalau masuk dari luar, lupa bahwa resources terbesar itu adalah bagaimana mengelola resources sendiri dan memberi nilai tambah sehingga terjadi pertukaran pelaku.
“Seharusnya UU tentang melindungi investasi di Indonesia diperkuat, kalau ada masuk dari luar mestinya peluang investasi melalui joint venture, jangan berdiri sendiri. Mereka diberi keringanan pajak, kawasan ekonomi khusus, sementara kita semuanya malah dikenakan pajak.”
Hal lain menurut Asdar, pemahaman pemerintah tentang nilai tambah yang keliru yang selalu berpikir harus berupa produk langsung jadi, padahal dalam wujud aslinya pun bisa bernilai tinggi jika dikelola dengan baik.
“Selalu dipikir rumput laut jadi produk, ini pun hanya berapa persen. Selalu didorong misalnya pabrik tepung, padahal jika dalam bentuk rumput laut bisa bernilai lebih besar jika dikelola baik, pasarnya lebih besar dan tidak spesifik.”
Pendampingan UMKM
Dalam beberapa tahun terakhir Jasuda sendiri berupaya melakukan pembinaan, fasilitasi dan pendampingan ke para petani rumput laut. Jasuda juga menjadi sumber informasi harga bagi petani dan pengusaha dan memfasilitasi kelompok usaha mencari produsen rumput laut.
“Jasuda itu lebih ke service provider, bagaimana memberikan informasi, fasilitasi pasar, kemudian memberi technical skill dan konsultasi. Kalau yang paling sering di akses di website kami adalah informasi harga. Kemudian kalau di lapangan mereka minta informasi produser atau kelompok tani, koperasi atau buyer yang bisa suplai rumput laut dengan standar kualitas yang dia tetapkan dan kualitasnya terjamin,” jelasnya.
Jasuda juga memfasilitasi pasar keluar bermitra dengan sebuah perusahaan di Argentina dan Vietnam untuk berbagi informasi suplai produk yang cocok.
“Mereka minta saran ke Jasuda siapa suplai yang bagus dan jaminan kualitasnya seperti apa.”
Jasuda juga melihat posisi usaha kecil mikro, potensial dilatih diajarkan bagaimana menggunakan rumput laut sebagai bahan dasar makanan minuman yang sehat.
“Fungsi Jasuda di situ adalah mencoba mempromosikan rumput laut sebagai salah satu bahan baku yang valuable yang punya fungsi bagus untuk makanan, minuman dan kosmetik,” tambah Boedi.
perlu dibaca : Rumput Laut Indonesia Terus Berjuang untuk Produksi bagi Dunia
Melalui divisi baru bernama Posko UKM Jasuda, Jasuda melatih dan mendampingi UMKM mengembangkan produk berbahan dasar rumput laut. Beberapa jenis usaha yang telah berhasil dikembangkan adalah produk brownies, kerupuk, dodol, bakso, dan beragam produk makanan lainnya.
Bahkan, tepung dari rumput laut juga bisa menjadi bahan utama pembuatan bedak khas Bugis yang disebut ‘bedak bolong’ atau bedak hitam untuk kecantikan.
“Itu bedak bolong tiga tahun kita coaching mentoring dari memasang plastik sampai kemasan, milik seorang pengusaha UKM di Wajo namanya Bu Tenri. Sekarang mereka sudah jual ke mana-mana dan ikut pameran ke mancanegara karena dianggap UKM terbaik. Mereka pasarkan lewat online, dan sudah ada izin BPOM.”
Jasuda bersama mitra usahanya bahkan kini tengah mengembangkan produk plastik berbahan rumput laut yang ramah lingkungan, yang memiliki waktu luruh 1 bulan dan bisa dimakan.
“Sudah ada yang melakukan, tahun 2021 siap operasional. Plastiknya elastis kena air bisa langsung lumer. Ini sudah dikembangkan sejak 2-3 tahun terakhir. Sekarang sedang coba scaling up membangun industri. Kita pakai rumput laut jenis spinosum, karena lebih ekonomis, harga di lapangan murah kadang malah dibuang-buang saja.”