Mongabay.co.id

Ekosofi, Era Baru Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Indonesia

 

Buku         : Era Baru Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan

Penulis      : Hadi S. Alikodra

Tebal        : 528 + 44 Halaman Romawi

Tahun Terbit : November 2020

Penerbit     : PT. Penerbit IPB Press

**

 

Anda pernah dengar kata ekosofi? Apa kaitannya dengan konservasi?

Secara umum, konservasi kita maknai sebagai pengelolaan biosfer atau tatanan kehidupan di Bumi yang dilakukan secara bijak. Tentunya, demi pemenuhan kebutuhan manusia dan pembangunan.

Kegiatan konservasi meliputi pengawetan, perlindungan, dan pemanfaatan sumber daya alam beserta keanekaragaman hayati yang ada. Tujuannya, tentu saja untuk menghasilkan manfaat berkelanjutan bagi kehidupan kita semua dan generasi mendatang.

Dengan kalimat sederhana bisa dikatakan, konservasi ingin menyelamatkan sumber daya alam dan membendung kerusakan di Bumi secara arif.

Bagaimana kondisi Bumi saat ini? Tanda-tanda kerusakan lingkungan terlihat jelas di planet berusia 4,5 miliar tahun ini.

Tanda-tandanya jelas, seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan lahan, gangguan satwa liar, hingga hama dan penyakit yang merebak. Bahkan, hingga saat ini umat manusia masih diselimuti ketakutan akibat merebaknya pandemi COVID-19.

Rusaknya sumber daya alam dan lingkungan, menunjukkan etika dan moral lingkungan belum sepenuhnya menjadi pedoman manusia dalam berperilaku sekaligus menghargai alam, terlebih demi pemenuhan pembangunan yang jauh dari kata berkelanjutan.

Meski hingga sekarang, konservasi maupun pembangunan berkelanjutan masih banyak diperdebatkan oleh berbagai kalangan, sesuai latar dan pemahaman masing-masing.

Konservasi banyak dipahami masyarakat luas sebagai aturan yang membatasi kegiatan untuk memanfaatkan sumber daya alam. Pengertian yang sulit ini, akibatnya membuat praktik konservasi secara nyata sulit dilakukan. Meskipun, isu penyelamatan lingkungan hidup telah digaungkan di dunia sejak 1970 dan pencanangan program konservasi Indonesia telah dilakukan sejak 1983, akan tetapi penerapannya sejauh ini, belum menunjukkan keberhasilan yang signifikan.

Di sisi lain, keberhasilan konservasi pun mutlak diikuti dengan kesiapan teknologi dan perangkat governace yang mendukung.

 

Laut, pantai, dan hutan yang hijau di Kalimantan Timur. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Akar masalah

Akar masalah rusaknya lingkungan adalah manusia dengan pertumbuhan penduduk dan segala perilaku serakahnya. Tindak tanduk yang mengabaikan kelestarian alam, terlebih penghargaan kepada Tuhan yang menciptakan Bumi beserta segala isinya, termasuk manusia itu sendiri. Bumi semakin kritis, sebagai akibat dosa ekologi yang dilakukan manusia.

Terhadap kondisi ini, para filsuf, pemuka agama, dan ilmuwan/intelektual menghendaki diterapkannya etika Bumi baru sebagai panduan perilaku manusia dan pembangunan guna mencegah kehancuran Planet Biru ini.

Pendekatan ekosofi pun diusung. Filsafat yang disebut juga ekologi-dalam ini, diperkenalkan oleh Arne Naess, filsuf asal Norwegia, untuk pertama kalinya tahun 1973.

Ekosofi merupakan suatu pendekatan yang memadukan dimensi intelektual, spiritual, dan emosional. Dimensi intelektual menekankan pada kita, sebagai umat manusia untuk terus mempelajari, meneliti, memahami, dan menghargai alam atau lingkungannya.

Dimensi spiritual diartikan bahwa sumber daya alam yang diciptakan Tuhan harus dimuliakan sebagai bentuk penghargaan kita terhadap Sang Pencipta. Sementara sisi emosional membentuk manusia untuk beretika dan bermoral, guna terjaminnya kualitas hidup manusia dari generasi ke generasi.

 

Buku Era Baru Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan karya Prof. Hadi S. Alikodra. Olah digital buku: Mongabay Indonesia

 

Pendekatan tiga dimensi tersebut sangat gamblang dibahas dalam buku berjudul “Era Baru Konservasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Membumikan Ekosofi Bagi Keberlanjutan Umat.”

Hadi S. Alikodra, pengamat dan praktisi konservasi keanekaragaman hayati serta analisis kebijakan pengelolaan lingkungan hidup, mengupas tuntas persoalan pemuliaan alam ini melalui konservasi dan penyelamatan lingkungan di Indonesia. Ingat, keanekaragaman hayati merupakan tumpuan hidup umat manusia sekarang dan akan datang yang perlu dijaga kelestariannya.

Guru Besar Ilmu Pelestarian Alam dan dan Pembinaan Margasatwa Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor [IPB] ini membagi bukunya menjadi empat bagian saling melengkapi: Ruang lingkup konservasi dan pembangunan berkelanjutan; Konservasi sumber daya alam berbasis ekosistem; Konservasi sumber daya alam dan lingkungan; serta Pengembangan kapasitas institusi. Keseluruhan, buku ini terdiri 20 bab, yang setiap bab dituliskan kesimpulan.

 

Alam menawan di Rikit Gaib, Kabupaten Gayo Lues, Aceh, yang berbatasan langsung dengan hutan Leuser. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Bumi yang kritis

Kuntoro Mangkusubroto, mantan Menteri Pertambangan dan Energi era Kabinet Reformasi Pembangunan, dalam kata sambutannya menuturkan, Bumi yang kini huni sakit kritis. Alamnya kian rusak dan tercemar. Pemanasan global hingga pandemi virus corona [COVID-19], merupakan sedikit tanda yang ditunjukkan.

“Semakin keseimbangan lingkungannya rentan dan terganggu, semakin terancam pula kehidupan manusia.”

Permasalahan lingkungan saat ini, menurut Kuntoro, bukan semata mengatasi kemiskinan atau dampak ekonomi global. Tapi juga beririsan dengan wilayah etik. Penyelesaiannya menuntut penerapan etika lingkungan, demi lingkungan yang lebih terlindungi dan pembangunan yang lebih berkelanjutan. Pendekatannya mencakup aspek keseimbangan ekologi, sosial, hingga ekonomi.

“Gerakan konservasi lingkungan harus dimulai dengan menumbuhkan etika/moralitas manusia dalam hubungannya dengan alam. Mengingat, pada akhirnya, manusia adalah subjek utama perusak lingkungan; subjek yang menempatkan dirinya seolah berada di luar sistem alam sehingga jadi semena-mena mengeksploitasi sumber daya alam dan lingkungan.”

Konservasi merupakan kegiatan mulia. Nilai agung ini sepatutnya didukung oleh perilaku etis yang yang bersandar pada kesadaran mulia pula. “Manusia itu sekadar bagian dari, bukan mengatasi alam,” jelasnya.

 

Badak sumatera yang hidupnya dibayangi ancaman kepunahan akibat rusaknya habitat dan juga perburuan. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Hadi S. Alikodra kepada Mongabay Indonesia, Rabu [16 Desember 2020] menuturkan, manusia harus memiliki etika terhadap Bumi. Cara-cara lama yang tidak bersahabat, yang mengakibatkan rusaknya alam hingga terjadi global warming, harus kita tinggalkan.

“Menurunnya produksi pangan dan terganggunya sektor perikanan, hingga mewabahnya penyakit yang bersumber dari satwa sebagaimana sekarang ini, virus corona, merupakan ulah manusia. Kita harus memulai era baru.”

Manusia harus melupakan sifat egoisnya. Siapa yang harus dirombak? Kita semua. Kita harus merombak etika dan moral kita terhadap lingkungan menjadi lebaih baik, bila kita mengaku sebagai manusia.

“Para pengambil kebijakan, guru, dosen, menteri, pengusaha, pemerintah, mahasiswa, aparat negara, juga masyarakat luas. Mari mulai berpikir, kita hidup itu tidak sendiri, ada manusia lain dan ciptaan lain yang sama-sama memiliki hak hidup di dunia.”

Buku yang ditulis komprehensif sejak 2012, juga menyoroti Konservasi Ekosistem Kepulauan [Bab 16]. Ekosistem pulau-pulau besar seperti Sumatera, Jawa, dan Kalimantan telah terfragmentasi menjadi sub-sub ekosistem yang semakin menyempit. Sementara Papua, pulau harapan yang kondisi keragaman hayatinya sangat bagus harus dipertahankan keasliannya.

Seperti yang dituliskan di halaman 417, perencanaan tata ruang bagi pembangunan ekosistem kepulauan sangat penting dilakukan atas dasar pengetahuan dan karakteristik bentang alam daratan dan lautan. Secara spesifik, faktor-faktor tersebut ditentukan oleh proses-proses geomorfologi, kolonisasi kehidupan, dan potensi perusakan.

Alikodra menuturkan, ekosofi merupakan ilmu baru yang sangat baik diterapkan dalam kehidupan. “Di Indonesia, melalui buku ini, saya perkenalkan perdana pendekatannya. Diharapkan, perilaku umat negeri ini menjadi lebih baik dalam hal menjaga sekaligus melindungi alam Indonesia yang sungguh luar biasa keragaman hayatinya,” papar Ketua Dewan Pertimbangan Penghargaan Kalpataru 2016-2020.

 

 

Exit mobile version