Mongabay.co.id

HAM, Hak Atas Lingkungan Sehat dan Perlindungan Warga Negara

Manusia mempunyai cita-cita yang kuat menciptakan masyarakat dalam kehidupan sosial yang damai dan teratur sesuai dengan ukuran pemahaman akal budi.

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak kodrati yang dimiliki setiap manusia. Dalam aplikasinya, ia tidak lagi membedakan jenis kelamin, budaya, bahasa, warna kulit, ataupun kewarganegaraan. HAM adalah hak yang di dapat dan melekat sebagai hakekat manusia. Semua orang mempunyai hak yang sama di mata negara.

Lingkungan hidup sehat adalah kunci dasar dalam menghormati HAM. Setiap manusia mempunyai hak untuk menikmati kesehatan, kebahagiaan, dan ketersediaan lingkungan yang aman dan sehat. Lingkungan dan alam terikat dalam sebuah entitas sosial yang tidak bisa dipisahkan dengan manusia.

Jika ekosistem rusak, maka ada hak manusia yang diambil secara paksa. Dengan demikian, hak atas lingkungan juga berarti erat hubungannya dengan tatanan keadilan.

Menurut Hugo Grotius, aturan keadilan didasarkan pada kecenderungan: Pertama, Setiap orang harus membela hidupnya dan menentang kecenderungan yang merugikan. Kedua, setiap orang diperkenankan memperoleh hak yang berguna bagi hidupnya.

Diakui, memang hak atas lingkungan hidup belumlah secara eksplisit diatur di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Gerakan lingkungan hidup (Environmental Movement) di dunia biasanya diambil dari Pasal 28 sebagai dasar justifikasi argumen bahwa hak atas lingkungan juga menjadi bagian dari HAM.

 

Pasukan anti api Manggala Agni coba memadamkan api akibat karhutla di Konawe Selatan beberapa waktu lalu. Dok: Foto: Manggala Agni

 

HAM dalam Konteks Pengelolaan Lingkungan

Indonesia adalah negara yang mengakui nilai-nilai universal hak asasi manusia, negara memiliki kewajiban untuk melindungi (to protect), menghormati (to respect) dan memenuhi (to fulfill) hak-hak dasar warga negara, yaitu; pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, lapangan kerja, keamanan, dan lingkungan yang baik dan sehat.

Lebih lanjut, dalam konstitusi Pasal 33 (3) UUD 1945 telah mengatur distribusi dan pengelolaan sumber daya alam dalam frase ‘kekayaan alam yang dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’.

Namun amanat konstitusi tersebut belum seluruhnya dijalankan para penyelenggara negara. Sebaliknya, masih banyak penduduk yang hidup dalam garis kemiskinan dan tinggal di lingkungan yang buruk.

Hak dasar warga juga terancam oleh berbagai pengerusakan alam, pencemaran air dan udara, deforestasi, perampasan sumber kehidupan rakyat (agraria dan sumber daya alam).

Sebagai contoh dalam persoalan deforestasi, data analisis Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat laju kehilangan hutan periode 2013-2017 mencapai rata-rata 1,47 juta hektar/tahun.

Tren hilangnya tutupan hutan, yang biasanya tertinggi terjadi di Kalimantan dan Sumatera, akan bergeser ke arah Indonesia Timur yang diproyesikan akan meningkat pada periode 2017-2034.

Hilangnya tutupan hutan dan praktik illegal logging dan pembukaan lahan, tentu saja akan menjadi pemicu karthutla dan terjadi kabut asap, serta bencana ekologi seperti banjir dan tanah longsor yang akan menanti. Akibat segenap eksploitasi itu, rakyat pula yang menjadi korban keserakahan eksploitasi sumberdaya alam.

Kelompok minoritas dan kaum miskin, -yang minim akses informasi dan akses pada pengambilan kebijakan, yang biasanya menjadi korban pertama dan terberat dari konsekuensi pelanggaran HAM atas kerusakan lingkungan hidup yang berdampak pada bencana alam.

Hal ini tentunya menjadi kontradiktif dengan semangat konstitusi yang dijanjikan untuk memberikan jaminan bagi warga negara.

 

 

Banjir yang merendam Samarinda di awal tahun 2020. Foto: Istimewa/Mongabay Indonesia

 

 

Ekosida dan Kesadaran HAM Lingkungan

Dalam tata hukum lingkungan hidup dikenal istilah ekosida, yang diartikan sebagai pemusnahan atau pengerusakan sistem ekologi. Lingkungan penyangga yang rusak pada akhirnya akan membuat seluruh sistem kehidupan hancur. Diibaratkan sebagai sebuah proses ‘bunuh diri’ yang dipicu malpraktek pengelolaan lingkungan.

Deplesi ekologi itu tentu saja terjadi akibat munculnya kebijakan pembangunan yang tidak memperhatikan kelangsungan lingkungan hidup dan generasi masa mendatang.

Dari sisi praksis kesadaran, maka pentingnya pemahaman tentang hak asasi di bidang lingkungan hidup merupakan salah satu sebuah solusi untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.

Semua mempunyai hak untuk melindungi lingkungannya dari pengerusakan alam yang dilakukan individu atau organisasi (perusahaan) yang berdampak buruk kepada manusia.

Berbagai kasus perusakan lingkungan hidup dan bencana alam seharusnya memperkuat dan membuka mata para pemangku kepentingan untuk lebih menciptakan keadilan secara ekonomi, sosial maupun lingkungan bagi generasi saat ini maupun generasi yang akan datang, sesuai dengan adagium keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi (salus populi suprema lex).

Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah kunci untuk mengatasi problematika pelanggaran HAM dalam aspek lingkungan hidup. Pembangunan berkelanjutan yang dilakukan sudah waktunya dilakukan dan berbasis pada tata kelola lingkungan yang baik (Good Sustainable Development Governance).

Pemerintah, -sebagai penyelenggara kebijakan negara, tentu saja harus berperan aktif dalam membuat kebijakan yang difungsikan untuk menyelamatkan lingkungan hidup sesuai konstitusi yang diatur.

Jika pemerintah berfokus untuk mengejar pendapatan negara dengan melanggar asas perlindungan sistem ekologi, maka pemerintah terlibat dalam usahanya menjadikan rakyat kehilangan hak atas lingkungan hidup yang baik.

Sudah saatnya dilakukan gerakan masif untuk menyelamatkan dan melindungi lingkungan hidup yang berdasarkan pada hak asasi manusia. Pada dasarnya, setiap manusia berhak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat. Lingkungan hidup juga harus ditempatkan sebagai subjek dinamis untuk dihormati.

Dengan demikian, gerakan HAM dan lingkungan akan lebih dirasakan dan bermanfaat bagi segenap warga negara.

 

 

* Joko Yuliyanto, penulis adalah penggagas Komunitas Seniman NU. Penulis Buku Kaum Minor. Aktif menulis opini di media daring. Artikel ini adalah opini penulis.

 

***

Foto utama: Petugas sedang memadamkan kebakaran yang terjadi di savana pulau Gili Lawa Darat dalam kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) kabupaten Manggarai Barat, Flores, NTT. Foto diambil pada tahun 2018. Dok: Balai TNK

 

 

Exit mobile version