Mongabay.co.id

Kolaborasi Pengetahuan dan Praktik Ekologis di Rumah Belajar Nusa Penida

 

Sebuah pondok sederhana menjadi demplot belajar praktik hidup ekologis di era modern Nusa Penida. Kepulauan kecil yang jadi bagian Pulau Bali ini sudah menunjukkan kearifan ekologis di masa lalu. Kini, sejumlah pihak menggalinya kembali dan mengkombinasikan dengan teknologi.

Rumah Belajar Bukit Keker, itu nama yang dilekatkan pada sebuah pondokan yang diapit rumah-rumah penduduk di Desa Nyuh Kukuh, Nusa Penida. Dari Sanur, menyeberang dengan speedboat sekitar 45 menit. Kapal cepat makin mudah diakses, pagi dan sore di Sanur.

Karena baru dirintis satu tahun, barangkali belum banyak warga setempat yang mengetahuinya. Lokasinya sekitar 10 menit naik motor dari pelabuhan Banjar Nyuh, Nusa Penida. Ketika tiba, pengunjung disambut Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) kecil dengan halaman berisi tanaman sayur.

Menanam sayur seperti bayam atau sayur hijau bukan hal mudah di Nusa Penida. Lapisan tanah dan humusnya tipis karena dominasi kapur dan batu. Sayuran ini ditanam di bedengan yang diisi tanah dan dibentengi batu-batu kapur untuk menahan tanah.

Ketika masuk di area dalam, terlihat pondokan sederhana dan gazebo bulat kecil untuk tempat berkumpul. Sebagian atap pondokan dipasangi voltovoltaic panel surya untuk membangkitkan energi panas matahari.

Sementara di area kandang sapi ada instalasi biogas untuk memanen gas dari kotoran ternak. Area rumah belajar dirindangi sejumlah pohon jenis beringin berkayu putih yang khas di Nusa Penida. Ia tumbuh subur di atas bebatuan.

baca : Kebun Hidroponik di Atap Hotel, Siasat Pasok Pangan di Nusa Penida

 

Pekarangan Rumah Belajar Bukit Keker yang ditanami berbagai tanaman. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Nusa Penida di masa lalu terbukti menerapkan praktik hidup adaptatif, namun seiring tekanan industri pariwisata, ada perubahan cara hidup. Hal ini mendorong pemunculan kembali kesadaran bertani dan menyiasati pemenuhan energi secara mandiri dengan bantuan teknologi.

Praktik di rumah belajar Bukit Keker ini didiskusikan di webinar bertajuk Peningkatan Ketahanan Sosial Budaya Ekologis Masyarakat sebagai Upaya Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim di Nusa Penida. Dihelat oleh Pojok Iklim, forum diskusi rutin Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KHLH), dan GEF-SGP pada 25 November 2020.

I Wayan Karta adalah warga Nusa Penida yang kini mengelola rumah belajar Bukit Keker. Ketika berkunjung, ia menunjukkan instalasi biogas yang baru beroperasi. Tantangan warga adalah bertani dan beternak di lahan kering.

Tipe iklim di Nusa Penida adalah tropis dengan hujan bermusim, warga menandai musim hujan dengan penanggalan Bali, sasih (bulan) kapat, kalima, dan kanem. Dalam kalender masehi mulai September-Desember curah hujannya cukup tinggi. “Beternak dan bertani tadah hujan adalah bentuk bertahan warga menghadapi perubahan iklim,” ujar Karta.

Khususnya ternak sapi sebagai tabungan masa depan. Karena pulau ini lebih banyak bebatuan dengan lapisan tanah tipis, warga memiliki siasat membuat bataran. Semacam terasering dengan pinggiran batu bertumpuk untuk menjaga erosi tanah. “Saat hujan, tanahnya tidak hilang,” lanjutnya.

Siasat lain adalah membuat dan menggunakan cubang, semacam sumur untuk menyimpan air hujan. Air hujan ditangkap di sebuah permukaan sekitar cubang yang disebut telabah. Namun Karta menyebut variasi tanaman belum banyak, sehingga kandungan yang bernutrisi untuk pakan sapi kurang.

baca juga : Tantangan Mengelola Bentang Alam di Nusa Penida

 

Salah satu model cubang, sumur panen air hujan di salah satu rumah warga Nusa Penida yang jadi siasat tabungan air untuk musim kemarau. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Padahal kualitas tanah Nusa Penida termasuk subur, dengan pondasi batu kapur tebal merupakan akuifer air. Karta mengibaratkan sebagai pot alami dengan kapur sebagai lapisan yang kedap air. Karena itu, hasil panen palawija cenderung lebih baik seperti singkong dan jagung, karena kadar airnya lebih sedikit.

Sapi Nusa Penida juga dikenal jenis unggul karena kebal penyakit dan kualitas dagingnya baik. Karena terpapar musim panas yang panjang, upaya yang masih dikembangkan untuk ketahanan pangan misal dengan pembuatan pakan fermentasi. “Meningkatkan pakan dengan nutrisi lebih tinggi dengan silvopastoral, menggabungkan tanaman pangan,” sebut Karta.

Pembuatan rumah belajar ini diharapkan jadi ruang berbagi pengetahuan dari kearifan lokal dan pengembangan. Saat ini, yang nampak di rumah belajar adalah pembuatan demplot tanaman, menggunakan pupuk organik dari TPST, dan produksi biourine dari sistem biogas.

Dari pemetaan, ada 22 jenis silvopastoral di lahan kering, dengan 9000-an pohon di 3 lokasi. Di sekitar lokasi rumah belajar saat ini, ada pengembangan lahan pertanian organik seluas 30 are untuk tanaman buah mangga, kelapa, jeruk, jambu, kem, markisa, dan sayuran. “Kami akan berusaha mengembangkan etalase dan tempat pembelajaran ternak dan pengelolaan sampah,” imbuh Karta.

Kunci utama bertani di lahan kering adalah media tanam dan pupuk. Pengalaman Karta, bertani organik pilihan terbaik karena tanah makin subur. Adaptasi ini mendorong ketahanan pangan, peningkatan kesuburan, hijauan, dan keberagaman tanaman karena dua pola musim kemarau dan hujan.

perlu dibaca : ‘Bom’ Benih, Cara Unik Hijaukan Nusa Penida

 

Ternak sapi Bali di Rumah Belajar Bukit Keker yang jadi percontohan di Nusa Penida, Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Pengelolaan Sampah

Pengalaman mengelola sampah rumah tangga, sekolah, dan akomodasi wisata dibagi Catur Yudha Hariani dari Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali yang memfasilitasi di Desa Nyuh Kukuh, lokasi rumah belajar.

Ia mengakui pemerintah belum punya sistem pengelolaan sampah yang baik, masih dikembangkan. Desa Nyuh Kukuh adalah salah satu pintu masuk turis dan warga yang bekerja di Nusa Penida. Dari pemantauan, sampah yang dihasilkan keluarga paling sedikit 1-5 kg/hari. Sebagian warga membuang di lahan kosong karena punya lahan luas. Sisanya dibakar dan diambil truk pengangkut sampah.

Penelusuran audit sampah pada 27 April 2019 menyimpulkan sampah dengan kemasan merek Aqua terbanyak, diikuti Coca Cola, Mayora, dan lainnya. Volume sampah kresek juga dominan, diikuti plastik bening, jerigen, kemasan produk, dan lainnya. “Kami bertemu dengan sejumlah perusahaan produsen sampah itu untuk mendorong tanggungjawab perusahaan,” sebut Catur.

Untuk memulai perubahan perilaku, PPLH menggandeng anak muda dengan pembentukan Relawan Nyuh Kedas mempromosikan 5R : reduce, reuse, recycle, replace, replant.

Timbulan sampah per hari rata-rata 550 kg/hari dari 178 KK. Jumlah organik sekitar 500 kg/hari, anorganik 300 kg/hari. Dari jumlah penduduk Nyuh Kukuh itu, kurang dari sebagian atau 88 KK yang jadi pelanggan pengangkutan sampah. Dari pemetaan ini dihasilkan peta sebaran sampah dan sosialisasi kegiatan, hingga terwujud TPST Nyuh Kukuh yang dilengkapi alat kerja cikar, APD, dan perlengkapan pemilahan. Pola pemilahan sampah dilakukan dengan memberikan karung yang berisi tanda empat jenis yakni organik, anorganik bernilai, residu, dan B3.

“Masyarakat senang sampahnya diangkut karena belum dapat layanan angkut sampah. Jumlah yang dibuang sembarangan dan dibakar mulai menurun,” sebut Catur. Organik yang biasanya dibuang sembarangan, dikelola jadi kompos. Pengusaha restoran dan hotel pun menurutnya mulai mendaftar langganan angkut sampah di TPST Nyuh Kukuh.

 

Instalasi biogas dan tempat pengolahan sampah di Rumah Belajar Bukit Keker yang jadi percontohan. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Energi Mandiri

Siasat lain adalah panen energi terbarukan yang dibagi Rai Astrawan dari komunitas I Ni Timpal Kopi yang memfasilitasi kegiatan kampanye energi bersih.

Seiring meningkatnya industri pariwisata, ada peningkatan kebutuhan energi. Percontohan yang dipilih rumah belajar adalah biogas dan solar panel. Biogas dipilih karena hampir tiap rumah tangga punya ternak dominan sapi. Pola beternak warga masih berpindah-pindah, ini jadi tantangan.

Rai menyebut kebutuhan air dan kontur tanah jadi tantangan buat biogas karena yang digali batuan kars. Selain itu perlu input air untuk dikonversi jadi gas. Program percontohan ini menyeleksi 10 orang calon penerima manfaat. “Ada kegagalan proyek sebelumnya yang membuahkan trauma. Proyek (pihak lain) sebelumnya mangkrak,” sebutnya.

Pembangunan struktur digester biogas dilakukan warga, syaratnya kandang lebih tinggi dibanding digester. Ternak sapi pun dikandangkan.

Sementara untuk energi bersih, yang dipilih adalah pemasangan panel surya 1 WP, dengan inverter 2 KW. Konsumsi energi di rumah belajar sekitar 1400 watt di siang hari, sedangkan malam hari 2000 watt. Workshop perawatan dilakukan dengan pelajar SMK dan tim engineering hotel yang sudah berpengalaman.

“Energi bersih bukan hal baru, tapi terbengkalai. Pernah ada proyek besar tapi tak dibarengi partisipasi warga,” jelas Rai. Ia mencontohkan PLTB dan panel surya di Puncak Mundi yang dibuat saat konferensi perubahan iklim 2006 di Bali. Jejak instalasi mangkrak itu dinilai bisa jadi jejak kegagalan implementasi energi bersih.

Made Suarnatha, pendiri Yayasan Wisnu yang memfasilitasi proses di rumah belajar ini mengatakan intervensi proyek besar tapi mangkrak menimbulkan fobia sosial. Karena itu perlu pendekatan ke warga agar aktivitasnya kontekstual dan terukur.

 

Exit mobile version