Mongabay.co.id

Tekan Dampak Perubahan Iklim Mulai dari Jamban, Seperti Apa?

 

 

 

 

Mengurangi dampak perubahan iklim bisa mulai dari rumah. Bisa dengan hemat listrik, mengurangi sampah. Tak kalah penting adalah sarana sanitasi yang aman berupa sistem pengelolaan limbah padat dan cair atau jamban guna menciptakan lingkungan hidup bersih dan sehat untuk melindungi kesehatan manusia.

“Sanitasi berkelanjutan dan ketahanan iklim, keduanya seperti tidak saling berhubungan. Ternyata ada hubungannya,” kata Tri Dewi Virgiyanti, Direktur Perkotaan, Perumahan dan Permukiman, Bidang Sarana dan Prasarana, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

Dia katakan itu dalam diskusi USAID Indonesia Urban Water, Sanitation and Hygiene (IUWASH) PLUS bekerja sama dengan Cleanomicm, belum lama ini.

Tri bilang, sampai 2050, perubahan iklim diperkirakan memberikan dampak cukup besar bagi Indonesia antara lain kenaikan suhu dalam kisaran 0,8-2 derajat Celcius, dengan peningkatan durasi gelombang panas. Permukaan air laut naik berkisar 150-450 milimeter.

Indonesia juga bakal menghadapi frekuensi dan intensitas hujan lebat yang meningkat di musim hujan. Kala kemarau hari tanpa hujan lebih lama.

“Dampaknya terhadap sanitasi, kalau banjir air sungai yang tercemar akan mencemari wilayah lebih luas. Kalau kekeringan kualitas air menurun.”

Air di sungai pun, katanya, akan makin pekat hingga sulit diolah jadi air bersih. Pengolahan air bersih, katanya, makin mahal kalau kualitas makin buruk. “Akan ada dampak yang saling mengkait dan saling mempengaruhi antara sanitasi dan perubahan iklim,” katanya.

Perubahan iklim juga menyebabkan berbagai bencana, yang berpotensi merusak infrastruktur publik, termasuk punya masyarakat, seperti sarana sanitasi di rumah pribadi.

Sementara septic tank yang terendam berpotensi menyebarkan bibit penyakit, dan lumpur tinja sulit diolah.

Jason Seuc, pelaksana tugas Direktur Kantor Lingkungan Hidup USAID Indonesia, dalam pembukaan diskusi mengatakan, isu perubahan iklim sering terdengar, namun jarang menyadari bahwa terkait dengan sanitasi.

“Banjir, kekeringan, dan kenaikan permukaan laut, mengancam sistem sanitasi dari toilet, tangki septik, hingga instalasi pengolahan air limbah domestik,” katanya.

 

Pemukiman yang kerap terencam mengancam kesehatan warganya. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Banjir, katanya, dapat mencemari sumur untuk air minum. Banjir juga bisa merusak toilet dan menyebarkan kotoran manusia ke masyarakat.

Situasi itu, katanya, bisa menyebabkan penyakit kronis bahkan mematikan. Untuk itu, setiap orang harus memiliki sanitasi aman, akses air minum sehat dan sarana cuci tangan memadai.

“Sanitasi aman dan berkelanjutan dapat membantu mencegah dampak buruk perubahan iklim terhadap kesehatan manusia,” katanya.

Tema sanitasi berkelanjutan dan perubahan iklim kali ini ingin menekankan, setiap orang harus memiliki sanitasi berkelanjutan yang tahan perubahan iklim. Tujuannya, memastikan kesehatan masyarakat tetap terjaga.

“Selain dari itu upaya ini juga sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan.”

Pemerintah Amerika Serikat, katanya, melalui Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat atau USAID mendukung Pemerinta Indonesia dalam meningkatkan akses sanitisasi aman melalui berbagai kegiatan, seperti penyusunan kerangka pengelolaan lumpur tinja di tingkat nasional. Juga, peningkatan kapasitas pengembangan alat bantu dan pendekatan efektif bagi pemerintah daerah dan institusi penyedia layanan lain untuk meningkatkan akses sanitasi aman di 35 kota kabupaten. “Salah satunya melalui program layanan Lumpur Tinja Terjadwal.”

Tri bilang, tren akses ke sanitasi Indonesia dari tahun ke tahun memang meningkat. Kalau akses ke sanitasi layak pada 2011 capaian 58,44%, pada 2019 mencapai 77,44%. Sayangnya, akses ke sanitasi aman masih kecil, meski tren juga naik, pada 2016 mencapai 4,6%, dalam 2019 tercatat 7,5%.

Akses ke sanitasi layak ini merujuk pada pemakaian toilet cukup air yang dilengkapi tangki septik. Namun belum dianggap aman kalau tangki septik belum kedap, dan tinja tak tersedot berkala untuk diolah kembali.

“Merasa sudah aman, karena ada septic tank, toilet tidak kelihatan kotor, tidak bau. Ini belum tentu aman. Kita harus memastikan air limbah dan tinja diolah dengan baik, hingga ketika dibuang ke sungai sisa aman untuk lingkungan,” katanya, seraya bilang, air bisa jadi air baku untuk penggunaan lain termasuk air bersih, dengan biaya optimal.

Tri mengatakan, sampai 2019, hanya ada 196 kabupaten dan kota memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah Domestik (IPALD), hanya 255 kabupaten dan kota memiliki Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPALT). Belum lagi tambah masalah tidak semua instalasi itu beroperasi optimal karena keinginan masyarakat untuk penyedotan rutin masih rendah.

Dalam UU Nomor 23/2014 disebutkan, pengelolaan air limbah domestik urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar semua daerah. Pada Peraturan Pemerintah Nomor 2/2018 tentang standar minimal pelayanan menyebutkan setiap warga negara berhak mendapatkan pelayanan pengolahan air limbah.

“Karena belum banyak menyadari pentingnya itu. Ada pula layanan swasta penyedotan tapi belum optimal dalam mengolah. Bahkan sebagian masih membuang sembarangan. Ini tantangan.”

Akses kepada sanitasi keluarga berpendapatan rendah pada 2018 sebanyak 30% belum layak, 13% masih buang air besar sembarangan (BABS) di tempat terbuka. Rumah tangga berpendapatan rendah lebih rentan terhadap banjir dan risiko kesehatan. Anak-anak memiliki risiko tinggi dengan pencemaran air dan lingkungan hidup karena pengelolaan air limbah di lingkungan hidup dan saluran pembuangan minim.

Data nasional masih ada 7,61% BABS terbuka, atau sekitar 20 juta orang. Indonesia tercatat sebagai negara dengan penduduk kedua terbanyak yang masih mempraktikkan kebiasaan buruk ini.

Dari penelusuran, ada 150.000 anak Indonesia meninggal setiap tahun karena diare dan penyakit lain dampak sanitasi buruk.

 

Seorang warga memanfaatkan air bersih di bak penampungan depan rumahnya. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Kristin Darundiyah, Kasie Pengamanan Radiasi, Subdit Pengamanan Limbah dan Radiasi, Dit. Kesehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan menjelaskan, sanitasi aman sudah menjadi kebutuhan dasar, sebagaimana makanan, air minum, dan udara. Tanpa sanitasi aman keberlangsungan hidup menjadi terancam.

“Kita tahu kehidupan berlangsung dengan aktivitas mengonsumsi makanan, minum. Ujung-ujungnya, membuang kotoran dengan sarana sanitasi. Itu penting dan jadi kebutuhan dasar.”

Kementerian Kesehatan memiliki program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Tujuannya, antara lain, mengubah perilaku dan pemahaman masyarakat agar berperilaku sehat dan menjaga kondisi lingkungan saniter. Indikatornya, mengurangi penyakit diare dan penyakit berbasis lingkungan lain.

 

Layak belum tentu aman

Sanitasi aman adalah sistem sanitasi yang memutus sumber pencemaran limbah domestik ke sumber air. Sanitasi aman ini meliputi penampungan air limbah domestik di tangki septik sesuai standar, penyedotan lumpur tinja secara berkala, sampai pengangkutan ke unit pengolahan, serta IPLT yang berfungsi dengan baik.

Adri Ruslan, senior spesialist on site sanitation USAID IUWASH PLUS mengatakan, tangki septik yang benar yang kedap, memiliki ukuran standar, terdapat pipa masuk dan keluar, serta lubang hawa dan penyedotan.

“Di perkotaan banyak yang sudah memiliki toilet dan septic tank, tapi belum aman. Mereka tidak memiliki lubang sedot. Hingga yang mereka bangun bukan tangki septik tapi masih cubluk, yang meresap ke tanah,” kata Adri.

Di lapangan juga masih ditemukan banyak pekerja atau tukang bangunan beranggapan tangki yang baik adalah tangki yang tidak pernah disedot. Sebagian menyebut sebagai tangki antipenuh.

“Padahal itu keliru. Antipenuh. Ini keliru. Tangki septik yang aman, memang harus disedot, ada pipa masuk dan pipa keluar, harus kedap, ada pipa hawa.”

IUWASH PLUS melatih tukang untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam membangun tangki septik yang aman. “Diharapkan ke depan septic tank yang dibangun aman.”

 

 

****** Keterangan foto utama: Kamar mandi dan WC di sekitar Kali COde. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version