Mongabay.co.id

Catatan Akhir Tahun: Perhutanan Sosial, dan Sulitnya Penetapan Hutan Adat di Tanah Papua

Hutan Papua. Orang Papua, atau masyarakat adat Papua, banyak tinggal di kawasan hutan negara--secara adat itu hak ulayat--, apakah mereka akan kehilangan hak pilih? Data Bawaslu RI di Papua, ada 600.000 calon pemilih non- KTP-el yang tak terakomodir di daftar pemilih. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

 

 

 

Papua dan Papua Barat punya UU Otonomi Khusus termasuk mengatur soal pengelolaan sumber daya alam masyarakat adat dan hak ulayat. Dalam UU Kehutanan mensyaratkan lain, harus ada peraturan daerah. Alhasil, di Tanah Papua, penetapan hutan adat begitu sulit hingga ‘terpaksa’ sebagian ajukan hutan desa, salah satu skema perhutanan sosial demi bisa mengelola hutan mereka.

Data Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menunjukkan, sampai 16 November 2020, realisasi perhutanan sosial di Papua baru 97.955,99 hektar, 4% dari target 2.365.682 hektar dan 63.098,00 hektar atau 10% dari alokasi 650.478 hektar di Papua Barat.

Meski skema hutan adat lebih sesuai dengan konteks Papua, kenyataan skema hutan desa paling banyak dipakai di kedua provinsi ini.

Ada 25 izin hutan desa di Papua dan 47 di Papua Barat. Hutan kemasyarakatan ada satu di Papua dan delapan di Papua Barat.

Hutan kemitraan dan hutan tanamanan rakyat hanya ada di Papua dengan masing-masing empat dan lima izin. Sedangkan, hutan adat masih dalam status indikatif sebanyak dua di Papua dan satu di Papua Barat.

 

Sulit ajukan skema hutan adat

Hasil penelitian Fitra menunjukkan, realisasi perhutanan sosial di Tanah Papua karena tiga faktor utama. Pertama, dualisme regulasi dan kebijakan di level nasional dan daerah dalam penetapan masyarakat adat. Kedua, rendahnya komitmen daerah pada realisasi perhutanan sosial dalam dokumen perencanaan. Ketiga, kurangnya dukungan anggaran.

Dualisme regulasi terkait aturan pengakuan masyarakat adat sebagai satu syarat pengajuan skema hutan adat di Papua. UU Kehutanan Nomo 41/1999 Pasal 67 ayat 2 menyatakan, pengakuan masyarakat adat harus melalui peraturan daerah. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri 52/2014 tentang pedoman pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat pengakuan hutan adat melalui peraturan kepala daerah (perkada). Pembentukan perda perlu biaya besar dan melalui proses politik panjang.

“Dari segi efektivitas, kami lebih condong melihat perkada sebagai solusi,” kata Gulfino Guevarrato, tim peneliti Fitra.

 

Hamparan tanah sudah bersih, yang sebelumnya hutan adat Malind Anim di Desa Zanegi, Merauke, Papua. Foto: Nanang Sujana

 

Namun perda tetap jadi syarat utama, sementara banyak kabupaten dan kota di Papua belum memiliki perda ini. Dampaknya, skema hutan adat sulit dan realiasi perhutanan sosial lebih banyak pakai skema hutan desa.

“Ini menandakan entitas adat yang selama ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat Papua belum tampak di dalam realisasi perhutanan sosial.”

 

Hambatan hutan adat di KLHK?

Naomi Marsian, Direktur Eksekutif  Perkumpulan Terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat (PT PPMA) Papua mengatakan, kebijakan perhutanan sosial lewat skema hutan adat jalan setengah hati. Hal ini, katanya, berdasarkan pengalaman Pt. PPMA dalam memproses perhutanan sosial lewat skema hutan adat di Kabupaten Jayapura.

Ada sembilan komunitas adat di Kabupaten Jayapura yaitu Bhuyaka, Moy, Tepra-Yewena Yosu, Ormu Imbhi, Yokari, Sou-Warry, Dumutru (Nambloung, Klesi, Kemtuik), Oktim Elseng. Bupati Jayapura Matius Awoitauw menerbitkan SK Nomor 39/2014 tentang pengakuan atas keberadaan sembilan komunitas adat ini. Enam sudah memiliki peta wilayah adat yang dibuat partisipatif dan pengakuan ditandatanagni Bupati Jayapura pada 2014.

SK ini sebagai pengakuan masyarakat hukum adat di wilayah ini. Memakai SK ini, Pt.PPMA mengajukan permohonan skema hutan adat untuk Wilayah Nambloung, Klesi, Kemtuik ke Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Profil dan peta wilayah adat dilengkapi dalam dokumen pengajuan. Di tingkat masyarakat adat sudah sosialisasi, konsolidasi kelembagaan, hingga perencanaan wilayah dan model pengelolaan.

“Proses-proses ini menurut saya di tingkat kabupaten dengan pemerintah daerah dan masyarakat adat sudah clear. Kita mengalami hambatan dalam proses permohonan ke KLHK. Itu tidak ada komunikasi jelas soal bagaimana hasil tindak lanjutnya.”

Padahal, katanya, kalau melihat lebih jauh, skema hutan adat ini sejalan juga dengan amanat UU Otonomi Khusus Papua Nomor 21/2001. Turunan dari UU ini, ada Perdasus 21/2008 tentang pengelolaan hutan berkelanjutan di Papua, Perdasus 22/2008 tentang pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam masyarakat adat di Papua. Juga Perdasus 23/2008 tentang hak ulayat dan hak perorangan masyarakat adat atas tanah di Papua.

Dominannya, skema hutan desa pada realisasi perhutanan sosial di Tanah Papua menunjukkan, negara tidak paham dan tak peduli dengan konteks sosial budaya.

“Pola yang tepat adalah pola mengorganisir masyarakat adat dengan pendekatan kewilayaan juga kampung sampai ke marga karena tanah dibagi berdasarkan itu.”

Skema hutan adat, katanya, memberi ruang memberdayakan masyarakat adat. Dengan pendekatan itu, katanya, mereka menjaga, mengelola hutan dan menerima manfaat.

 

Hutan Papua yang terus terancam. Foto: Nanang Sujana

 

Picu masalah baru

Ferdinan Rumbino, dari bagian Rehabilitasi Hutan dan Perhutanan Sosial, Dinas Kehutanan Papua menyebutkan, skema hutan adat dan skema kemitraan kehutanan juga paling cocok di Papua.

Skema hutan desa, katanya, menimbulkan persoalan baru seperti masalah hak ulayat, pembentukan kelompok yang tidak sesuai dengan marga atau suku pemilik.

“Kalau hutan adat kan masyarakat adat yang punya lokasi. Hutan adat sudah menjadi hak kepemilikan hingga lebih baik mendorong hutan adat.”

Rumbino menegaskan, penting koordinasi dengan pemerintah kabupaten bersama DPRD agar menghasilan aturan pengakuan masyarakat adat demi mendorong skema hutan adat di Kabupaten Jayapura.

 

Harapan hutan desa menuju hutan adat

Sulitnya syarat pengajuan hutan adat mendorong masyarakat dan pemerintah di Papua menggunakan skema hutan desa. Salah satu di Hutan Desa Sira Distrik Saifi, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat. Pada 18 September 2014, Kampung Sira mendapat SK.768/MENHUT-II/2014 tentang Penetapan Areal Kerja Hutan Desa Sira.

Arkilaus Kladit dari Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Sira menyatakan, sudah lebih tiga tahun mereka menunggu pengesahan perda pengkauan masyarakat hukum adat. Proses panjang itu mendorong mereka menggunakan skema hutan desa hingga bisa mengelola wilayah hutan mereka.

Meski berstatus hutan desa, wilayah hutan ini melekat dengan hak adat. Menurut dia, masyarakat sebenarnya lebih senang jika status langsung hutan adat.

“Hutan desa yang sekarang itu melekat dengan hak adat. Seketika masyarakat memiliki SK pengelolaan seperti hutan desa, itu melekat langsung dengan punya hak milik. Jadi seketika hutan adat itu dia langsung untuk ditetapkan, saya pikir masyarakat lebih senang.”

Hingga kini, ada lima kelompok yang mengelola hutan desa dan dua sudah aktif dalam aktivitas produksi yaitu pengelolaan sagu dan pisang. LPHD Sira didampingi BPSKL Maluku Papua, Dinas Kehutanan Papua dan kesatuan pengelolaan hutan.

Mereka mendapat dukungan pelatihan, dan modal berupa uang dan peralatan. Arkilaus bilang, penting dukungan modal dan pedampingan dalam proses pengelolaan hutan di Sira.

Lentjie Leleulya, dari Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Maluku Papua (BPSKLMP) menyatakan, sembari skema hutan desa, warga seperti di Kampung Sira tetap bisa meneruskan proses pengajuan hutan adat. Kalau nanti persyaratan sudah memenuhi, status hutan desa bisa dievaluasi kembali.

“Hutan desa yang sudah ditetapkan, ketika kelengkapan dokumen sudah ada, bisa diusulkan kembali, dievaluasi hutan desa dan diusulkan jadi hutan adat.”

Selain itu, masyarakat juga bisa mengajukan skema hutan adat untuk wilayah di areal penggunaan lain (APL) tanpa harus menunggu perda pengakuan masyarakat adat. Perda pengakuan masyarakat adat hanya untuk wilayah dalam kawasan hutan negara.

 

Yupens dan Agustinus, menatap hutan adat Wonilai, Papua, tempat mereka hidup dan bermain sudah berubah jadi perkebunan-sawit. Foto: Christopel Paino/ Mongabay Indonesia

 

Kendala dana

Dalam operasi, Dinas Kehutanan maupun KPH di Papua dan Papua Barat mengeluhkan anggaran kurang dalam mendorong realisasi perhutanan sosial. Ia sejalan dengan hasil penelitian Fitra yang menunjukkan rendahkan alokasi anggaran di masing-masing Dinas Kehutanan untuk program ini.

“Rata-rata belanja sektor kehutanan hanya 1/3 dari anggaran belanja di Dinas Kehutanan. Sekitar 2/3 untuk belanja pegawai dan belanja rutin kantor dan administrasi,” kata Rizka Fitriani, tim peneliti Fitra.

Dari 2017 sampai 2020, anggaran Dinas Kehutanan belanja pegawai dan administrasi kantor mencapai 57,3% di Papua dan 65,7% di Papua Barat.

Selain itu, besar anggaran biaya dana untuk pengelolaan hutan belum sebanding dengan luas lahan yang dikelola. Kalau dirincikan, anggaran pengelolaan hutan Rp5.868 perhektar pertahun di Papua dan Rp14.836 perhektar pertahun di Papua Barat.

Papua dan Papua Barat, katanya, merupakan surga hutan di Indoensia saat ini. “Dengan unit cost yang sangat kecil untuk pengelolaan hutan cukup luas itu jadi tidak berimbang.”

Fitra juga menemukan, persentase belanja untuk kegiatan yang mendukung perhutanan sosial selama periode 2017-2020 hanya 6,4% di Papua dan 8,49% di Papua Barat.

Tahun 2017, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 230/PMK 07/2017, revisi jadi PMK 131/2019 tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Kehutanan Dana Reboisasi (DBH-DR). Aturan ini memberi peluang kepada pemerintah daerah menggunakan alokasi dana DBH-DR untuk program yang pemberdayaan masyarakat dan perhutanan sosial.

Total alokasi DBH-DR untuk Papua pada 2018 mencapai Rp39,6 miliar dengan penggunaan Rp34,9 miliar. Fitra tidak menemukan penggunaan untuk program perhutanan sosial.

Di Papua Barat, total DBH-DR untuk 2018-2019 teralokasi Rp35,069 miliar, hanya terpakai Rp17,978 miliar. Sebanyak Rp2, 143 miliar di tahun 2018 dan Rp6,034 miliar pada 2019 untuk perhutanan sosial.

Kalau menghitung keseluruhan DBH-DR provinsi, DBH-DR sisa di kabupaten sebeluam berlakukan UU 23/2014, katanya, pada 2019 ada Rp251, 114 miliar di Papua dan Rp164,344 miliar di Papua Barat.

Dana ini, kata Rizka, cukup besar dan serapan hanya 10,6% di Papua dan 9,3% di Papua Barat pada periode 2018-2019. Dana sisa DHB-DR ini, katanya, dapat diupayakan untuk mendukung kegiatan atau program yang meningkatkan kapasitas masyarakat penerima izin perhutanan sosial.

“Penggunaan DBH-DR sisa untuk labupaten kota untuk perhutanan sosial ini dapat dilaksanakan melalui mekanimse penugasan oleh gubernur. Dengan kata lain, DBH-DR sisa ini dapat didorong untuk mendukung perhutanan sosial.”

Ava Warawarin, KPHP Fakfak mengatakan, selama dua tahun KPHP hanya menganggarkan operasional kantor. Tak tersedia dana ke lapangan termasuk untuk pendampingan program perhutanan sosial. Dana operasional itu, katanya, turun dari Rp400 juta tahun pertama jadi hanya Rp200 juta tahun kedua.

Fakfak, katanya, memiliki hutan desa paling banyak di Papua Barat, ada 13. Sebanyak 11 aktif turun pendampingan, jadi hanya delapan pada tahun kedua karena terkendala dana. Selama ini, KPHP Fakfak didukung BPSKL Maluku Papua.

Ava berharap, pemanfaatan DBH-DR bisa optimal untuk mendukung program perhutanan sosial.

“Kalau bisa ke depan ada control bersama untuk dana bagi hasil dipakai untuk kegiatan hutan desa. Dari hasil presentasi anggaran besar tapi untuk perhutanan sosial sedikit.”

Misbah Hasan, Sekjen Fitra mengatakan, masukan dalam diskusi ini akan memperkaya kajian mereka baik menyangkut dinamika implementasi perhutanan sosial di Tanah Papua maupun komitmen kebijakan dan anggaran.

 

 

Hutan di Papua, yang terbabat jadi sawit. Foto: video Burning Paradise: Palm Oil in The Land of the Tree Kangaroo

 

 

***Keterangan foto utama: Hutan Papua. Orang Papua, atau masyarakat adat Papua, yang  kesulitan mendapatkan penetapan hutan adat di tanah ulayat mereka sendiri. Foto: Rhett Butler/Mongabay

Exit mobile version