Mongabay.co.id

Obituari: Widodo Ramono, Pakar Badak Indonesia Telah Meninggalkan Kita

 

 

Tepat pukul 12.00 WIB, sebuah pesan singkat masuk ke aplikasi WhatsApp saya.

“Mas, Bapak meninggal jam 11.00 WIB tadi,” tulis Nuke Arincy, Staf Komunikasi Yayasan Badak Indonesia [YABI], Kamis [24/12/2020].

“Maaf, belum sempat bilang makasih untuk artikelnya,” lanjutnya.

Bapak yang dimaksud Nuke adalah Widodo Sukohadi Ramono, pakar badak Indonesia. Urusan konservasi badak sumatera dan badak jawa, dia ahlinya. Nomor satu di Indonesia dan diakui dunia internasional.

Menjabat Direktur Eksekutif Yayasan Badak Indonesia [YABI] sejak 1 Agustus 2009, Pak Wid biasa dipanggil, mengerti luar dalam urusan satwa bercula itu.

Baca: Totalitas Widodo Ramono untuk Badak Sumatera

 

Widodo Ramono, pakar badak Indonesia yang diakui dunia internasional. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Sekitar pukul 14.00 WIB, YABI melalui akun Instagram [badak.indonesia], mengumumkan berita duka tersebut. Kabar yang begitu menyesakkan dada, tidak hanya bagi dunia konservasi tapi semua orang yang mengenalnya.

“Telah meninggal dunia tokoh konservasi Indonesia Bapak Widodo Sukohadi Ramono, yang wafat pada 24 Desember 2020 pukul 11.00 WIB di Rumah Sakit Bogor Senior. Almarhum wafat pada usia 75 tahun meninggalkan seorang istri dan tiga anak.”

Dalam keterangan resmi itu dijelaskan, hingga saat terakhirnya, sebelum sakit pada akhir November 2020, almarhum masih bekerja di lapangan, membantu Pemerintah Indonesia dalam upaya penyelamatan badak Sumatera di Provinsi Lampung. Sambil terus mengenakan masker dan menjaga jarak, almarhum selalu menegaskan kepada seluruh rekan untuk tetap mematuhi protokol kesehatan.

“Almarhum memenangkan pertarungan melawan infeksi COVID-19 dan dinyatakan resmi sembuh, setelah menjalani perawatan dua minggu di Bogor. Dalam masa pemulihan, tim dokter menemukan kerusakan hebat dalam tubuhnya, mengakibatkan komplikasi yang menyebabkan meninggal dunia.”

Sepanjang hidup, Widodo Ramono memusatkan diri pada penyelamatan badak jawa dan badak sumatera beserta habitat alaminya di Ujung Kulon, Bukit Barisan Selatan, dan Way Kambas.

“Kepakarannya tentang konservasi badak melewati batas negara, menjadi rujukan banyak ahli, peneliti biologi, serta konservasi badak internasional. Bapak Widodo menerima berbagai penghargaan nasional dan internasional atas pengabdiannya.”

Baca: Opini: Kelahiran Badak Sumatera yang Sungguh Membanggakan

 

Urusan konservasi badak jawa dan badak sumatera adalah keahlian Widodo Ramono. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Tangguh tanpa mengeluh

Rabu, 16 Desember 2020, pukul 14.10 WIB, Pak Widodo tiba-tiba menelpon saya. Namun, karena masih menyelesaikan tulisan, panggilan itu terlewatkan. Biasanya, saya yang lebih dulu WA untuk izin menghubungi, sebagai bentuk penghormatan atas kepakaran “Bapak Badak Indonesia” ini.

Dalam beberapa kesempatan, saya sering berkata padanya. “Bapak tidak sekadar guru, tetapi juga orangtua yang begitu saya muliakan dan banggakan.”

Terhadap ucapan itu dia hanya mengatakan, “Terima kasih, Mas untuk penghargaannya. Terlepas dari segala kekurangan saya,” tuturnya, dengan rendah hati.

Baca: Perluasan Habitat, Upaya Nyata Menyelamatkan Badak Jawa dari Kepunahan

 

Widodo Ramono, menjabat Direktur Eksekutif Yayasan Badak Indonesia [YABI] sejak 1 Agustus 2009. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Pukul 14.12 WIB, saya balik menelpon.

“Saya tengah berjuang melawan COVID, Mas. Sudah 12 hari di Rumah Sakit Siloam, Bogor. Semua bagus, mulai kondisi tubuh saya hingga perkembangan kesehatan. Semua diperhatikan intensif oleh tim medis dengan pelayanan luar biasa. Mungkin, 2 hari lagi, jika semuanya membaik, saya pulang.”

“Cepat sembuh ya Pak Wid, saya doakan selalu untuk kesehatan Bapak,” jawab saya.

“Amin YRA, terima kasih Mas. Nanti kalau saya sudah sehat, kita ketemuan lagi. Bicara tentang badak sumatera di SRS dan Indonesia,” ucapnya.

“Siap pak, seperti biasa saya meluncur ke kantor,” ujar saya.

Dua hari berselang, Jum’at [18 Desember 2020], saya mengirimkan pesan singkat WA. Isinya, memberi berita gembira bila profil lelaki bijaksana ini sudah diterjemahkan dalam versi Inggris.

“Malam Pak Wid. Saya mau mengabarkan bila profil Bapak tentang Totalitas Widodo Ramono untuk Badak Sumatera, sudah diterjemahkan ke versi Inggris di Mongabay.com. Cepat sembuh ya Pak… Kami doakan selalu. Amin,” tulis saya.

Pesan yang ternyata belum sempat dibaca, hanya tersampaikan, hingga akhir hayatnya.

Baca: Widodo Ramono, the man on a mission to save Sumatran rhinos

 

Widodo Ramono saat peresmian SRS II di Way Kambas, Lampung, 30 Oktober 2019. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

**

Sebelumnya, Senin [19 Oktober 2020], saya menemui lelaki kelahiran Blora, 4 April 1945 ini di ruang kerjanya, di Kantor YABI, Jalan Bima 4 Nomor 10, Bumi Indraprasta 1, Kelurahan Bantar Jati, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor.

“Terima kasih, Mas, telah membuat profil saya. Saya sangat menghargai tulisan mengenai saya, tentunya juga dengan memahami keterbatasan saya,” tuturnya, mengawali pembicaraan jam 09.00 pagi.

“Kami buatkan juga video pendek tentang Pak Wid, yang sudah dimasukkan dalam tulisan. Semoga bisa memberi inspirasi dunia konservasi di Indonesia. Bisa belajar langsung dari Bapak adalah suatu kehormatan,” jawab saya.

Kami tidak hanya bahas badak, tapi juga berhasrat membuat webinar serta buku. Webinar bertema “Masa Depan Badak Sumatera di SRS” yang tertunda dan buku yang semoga terwujud. Tiga jam, diskusi ringan ditemani Kurnia Rauf juga, Senior Advisor YABI, serasa singkat.

Baca: Andatu dan Delilah, Badak Sumatera yang Kian Mencuri Perhatian di Way Kambas

 

Widodo saat memberikan materi pada kegiatan konservasi badak sumatera di Rumah Konservasi, Way Kambas, Lampung, 31 Juli 2018. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Dalam perbincangan itu, Widodo menyampaikan perkembangan SRS II. Suaka Rhino Sumatera [Sumatran Rhino Sanctuary, SRS] II, di Taman Nasional Way Kambas, Lampung, merupakan pusat konservasi semi in situ badak sumatera seluas 150 hektar. Secara resmi, beroperasi 30 Oktober 2019.

Didirikan tahun 1996, area awal SRS adalah 100 hektar. Perluasan dilakukan, selain bertujuan membuat kehidupan badak nyaman, tentunya ingin menghasilkan keturunan lebih banyak.

“Secara ‘value’ hadirnya SRS II semakin penting bagi konservasi badak sumatera. Terlebih, keberadaan badak sumatera di Bukit Barisan Selatan sejauh ini mulai jarang ditemukan,” ujarnya.

Di hutan Way Kambas sendiri, Widodo menuturkan, ada beberapa tempat yang jelas ada badaknya. Hal ini ditandai dengan kubangan, bekas pakan, kotoran dan urine. Meski begitu, kondisinya juga tak lepas dari ancaman rusaknya habitat dan juga perburuan.

“Saat ini di SRS II telah kami tempatkan badak Delilah yang sebelumnya ada Harapan. Untuk keamanannya, dua unit RPU [Rhino Protection Unit] disiagakan 24 jam penuh, tanpa henti.”

Widodo menuturkan, pihaknya telah meminta izin ke KLHK untuk menempatkan 3 individu badak baru lagi [1 jantan dan 2 betina], di SRS II, yang akan ditangkap di Way Kambas. Ini tentunya tindak lanjut dari RAD [Rencana Aksi Darurat] Badak Sumatera.

“Hadirnya darah baru, diharapkan menambah keragaman genetik badak di SRS. Kesehatan dan keamanan tentu prioritas utama.”

Harapannya, semoga SRS II segera diisi individu baru dan konservasi badak semakin baik lagi.

“Kita terus berupaya menghasilkan anak-anak badak yang sehat dan kuat, sebanyak mungkin. Kedepan, apabila habitatnya benar-benar aman, tentu saja badak yang ada akan dikembalikan lagi ke hutan, rumah aslinya,” tegas Widodo, sebagai cita-cita luhur yang harus diwujudkan.

Baca: Harapan, Badak Sumatera yang Patut Kita Banggakan

 

Suaka Rhino Sumatera [Sumatran Rhino Sanctuary, SRS], Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Totalitas

Kepakaran Widodo terhadap badak sungguh diakui dunia internasional. Tahun 1991, Widodo mendapatkan gelar Knight of the Golden Ark dari Golden Ark Foundation pimpinan Prince Bernhar.

Pada 2014, Widodo memperoleh penghargaan Fred M. Packard International Parks Merit dari IUCN World Commission on Protected Areas, atas perannya sebagai ahli badak dan keberhasilannya menjalankan Rhino Protection Unit [RPU].

Setahun berselang, September 2015, Widodo dianugerahi Sir Peter Scott Award for Conservation Merit dari IUCN Species Survival Commission. Penghargaan tertinggi bidang konservasi ini disematkan atas pengabdiannya menyelamatkan badak jawa dan badak sumatera dari kepunahan.

Dari dalam negeri, Widodo mendapat bintang Satyalencana Wira Karya dari Pemerintah Republik Indonesia, atas komitmennya menyelamatkan badak dari ancaman kepunahan. Penghargaan yang diberikan langsung Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, pada 17 Agustus 2017, di Manggala Wanabakti, Jakarta.

Baca juga: Badak Sumatera, Seberapa Tangguh Kita Menyelamatkannya?

 

 

 

Hayani Suprahman, Koordinator Lapangan JRSCA Ujung Kulon Yayasan Badak Indonesia [JRSCA-YABI], menuturkan persahabatan sejatinya dengan Widodo.

“Dari tahun 80-an, Mas. Saya pertama kali bekerja di Balai Konservasi Sumber Daya Alam II Tanjungkarang, Lampung. Waktu itu, beliau Kepala Balai.”

Widodo Ramono, menurut Hayani, bukan sekadar pimpinan, tapi juga kakak, guru, dan orangtua. Banyak hal bisa diteladani dalam kerja, beserta semangat dan motivasinya.

Di bidang konservasi, terutama konservasi jenis, Widodo sangat luas pengetahuannya, dan benar-benar bisa mengimplementasikan. Sebut saja Pusat Latihan Gajah [PLG] Way Kambas, SRS, RPU, dan JRSCA [Javan Rhino Study and Conservation Area].

“RPU di Ujung Kulon telah memberikan andil dalam peningkatan populasi badak jawa. Sementara PLG Way Kambas, menjadi contoh terbentuknya PLG lain di Sumatera.”

Dia pemikir hebat, sekaligus pekerja keras dan ulet. “Sosok legenda konservasi ada dalam dirinya,” jelasnya, Kamis sore [24/12/2020].

 

Badak sumatera yang berada di SRS, Way Kambas, Lampung. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Sunarto, ekolog satwa Indonesia, tidak mampu menyembunyikan kesedihannya atas kepergian Widodo.

“Jasanya sangat luar biasa, sudah menghasilkan banyak orang muda hebat untuk melanjutkan misi konservasi. Saya beruntung, sempat belajar banyak, bahkan melihat sendiri betapa besar perhatiannya pada satwa dan staf lapangan. Meski, saya ada jeda sekitar satu atau dua generasi konservasi.”

Sunarto punya pengalaman mengesankan pada sosok Widodo. Menurut dia, di akhir Ramadan, biasanya Widodo safari ke lapangan via darat, membagikan sarung dan bingkisan untuk staf.

“Hal tak terlupakan adalah beberapa tahun lalu. Pak Widodo mau lomba makan durian dengan kami yang jauh lebih muda, di Kota Agung, Tanggamus, Lampung.”

Kita tentunya sangat kehilangan. Kita sangat membutuhkan orang yang memiliki komitmen dan konsistensi dalam dunia konservasi. “Saya yakin visinya akan banyak yang meneruskan: memulihkan dan melestarikan badak beserta satwa liar lainnya.”

“Saya mengenal Pak Widodo melalui dunia pendidikan, penelitian, dan pengabdian untuk badak sumatera di Suaka Rhino Sumatera. Dia pejuang konservasi, khususnya badak. Dedikasinya total,” terang Elly Lestari Rustiati, pengajar di jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Lampung [Unila].

Bekerja sama dengan Widodo dalam penyelamatan badak sumatera di SRS, meninggalkan kesan mendalam. Sikap seorang bapak begitu kental dan keterbukaannya luar biasa.

“Saya sangat kehilangan figur bapak konservasi, baik secara pribadi maupun dalam karya.”

Elly menyatakan terima kasih atas pengabdian dan kecintaan Widodo pada dunia konservasi. “Kami akan meneruskan langkahnya, tanpa pernah melupakan jasanya.”

Selamat jalan Pak Wid.

 

 

Exit mobile version