Mongabay.co.id

Gembili, Tanaman Adat Suku Kanume

Daun gembili. Foto: Wikipedia

 

 

 

 

Fitalis Ndiken, petani asal Kampung Yanggandur, meletakkan gembili (Dioscorea esculenta L.), atau dalam bahasa Kanume disebut nai di halaman, di bawah pepohonan rindang. Dia baru usai panen. Gembili atau kombili bagi warga setempat merupakan makanan pokok selain sagu. Bagi Suku Kanume, gembili, juga merupakan tanaman sakral untuk acara-acara adat.

Yanggandur, satu perkampungan dalam sub Suku Marind yakni Suku Kanume. Kampung ini terletak jalur di jalur Trans Papua, Kabupaten Merauke, Papua.

Bagi warga Yanggandur, gembili tidak boleh diperjualbelikan sembarangan. Makanan ini, katanya, sangat dihormati pemiliknya secara adat. Biasa ia tersaji sebagai makanan dalam acara adat Suku Kanume, atau kalau bila ada kunjungan dari luar Yanggndur.

Ndiken bilang, tamu senang mengkonsumsi gembili karena rasa enak. Di Yanggandur, kombili dikenal sejak zaman leluhur Kanume.

Beberapa kampung yang masuk dalam sub suku ini antara lain, Kampung Yanggandur, Rawa Biru, Sota, Erambu, Ndalir, Onggaya, Tomer, Toray, Wasur, dan Kondo. Mereka punya pesta adat dan kerabat berasal dari kampung lain turut menyumbang gembili, sagu, kelapa, bunga anggin, wati (sejenis minuman adat), tebu, maupun babi lokal.

“Tanpa gembili,  acara adat hambar karena menghadirkan roh leluhur Kanume,” katanya.

Ndiken bilang, cara menanam gembili, dengan buka lahan sesuai kemampuan pemilik. Biasa buka lahan ukuran 50 x 100 meter, lalu pembersihan atau rentes dulu.

Lantas bikin lubang tanah sedalam tiga centimeter, beri penongkat umbi dalam lubang dan tutup. Saat menanam, katanya, tunas mengarah ke tanah, bila tidak, umbi tak berisi banyak.

Menariknya, ada tradisi menyisihkan bibit dengan mendirikan bevak, beratapkan kulit bus lalu dibuat semacam para-para yang tidak menyentuh tanah.

Lalu, di setiap kebun, pemilik harus menanam keladi, wati, pisang, pinang asli serta sirih lokal selain gembili. Cara menggali pun harus duduk sopan, baru mengambil gembili.

 

 

***

Penduduk Kampung Yanggandur, sekitar 525 jiwa belum termasuk anak-anak. Rumah warga pada umum beratap seng, ada ada sebagian terbuat dari papan, dan kayu. Tak seluruh jalan di kampung aspal. Hanya jalan besar dan Kampung Rawa biru.

Agustinus Sangra, Sekretaris Kampung Yanggandur, mengatakan, penduduk setempat bermata pencaharian petani ladang tetapi terkadang menyuling minyak kayu putih.

Dia bilang, hasil alam sangat menjanjikan selain minyak kayu putih, penduduk mulai mencoba vanili dan lada.

Sangra bilang, potensi lain lagi sagu, gembili. Tanaman-tanaman ini sekaligus tanaman budaya masyarakat. Kampung mereka berada di Taman Nasional Wasur.

Warga sekitar hanya berladang. Mereka berharap , Dinas Pertanian membantu, seperti mesin traktor tangan karena kini mereka hanya mengandalkan parang, sekop dan cangkul.

Ada juga potensi lain, seperti pisang, manga, kemiri, tebu, keladi banyak tetapi terkendala tak ada pasar. Pasar yang dibangun beberapa tahun lalu, katanya, tak berfungsi karena terlalu jauh dari kampung.

Kini,  pasar yang terbangun sudah terbakar saat musim kemarau. Mereka berharap, bus Damri angkut sayuran dan jual ke pasar di Merauke.

Dia bilang, penduduk Yanggandur ingin sekali menjual gembili tetapi terbentur adat dan budaya Kanume.

 

Bibit gembili Fitalis Ndiken. Foto: Agapitus Batbual/ Mongabay Indonesia

 

Adrianus, Wakil Dekan Faperta Universitas Negeri Musamus bilang, bangga masyarakat Yanggandur memiliki tanaman lokal yakni gembili. Menurut dia, potensi gembili sangat besar. Dia berharap , warga tetap budidaya tanaman ini jangan sampai punah.

“Jangan mengganti pengan lokal ke beras, terlebih, kombili punya nilai kesakralan di Kanume.”

Warga juga tanam gembili secara alami, tanpa pupuk.

Gembili, katanya, sumber karbohidrat dan memiliki kandungan zat yang bisa meningkatkan imun tubuh, dan mencegah radikal bebas. Gembili, kata Adrianus, terkenal di daratan Merauke maupun rawa.

Yarman,   Kepala Kantor Balai Taman Nasional Wasur di Merauke bilang, di Kanume cocok tanam gembili ini selain sagu dan merupakan tanaman sejak leluhur mereka.

Gembili, biasa panen setahun sekali. Saat panen, sudah tradisi warga menyisihkan gembili sebagai bibit cadangan musim depan.

Dia bilang, makan gembili dalam pesta adat wajib. Warga, katanya, biasa membuka kawasan tertentu melalui aturan adat di daerah agak berbukit yang disebut dek untuk tanam gembili.

Untuk tanam gembili, katanya, Balai Taman Nasional Wasur, mendampingi warga Yanggandur dan memberikan bantuan seperti alat pertanian. Balai Taman Nasional Wasur, katanya, juga bekerja sama dengan Dinas Pertanian dan Perkebunan, Dinas Pemerintahan Kampung.

Agustinus Yoga Priyanto, Kepala Seksi Produksi Tanaman Pangan dari Dinas Tanaman Pangan, Holtikultura dan Perkebunan bilang, warga tanam gembili dengan kearifan lokal dan tradisional.

Dia bilang, bukan hanya warga Yanggandur, seluruh sub Suku Kanume, paham musim tanam dengan jarak 7-8 bulan hingga pasca panen.

Untuk saat ini, katanya, gembili masih jadi umbi khusus acara adat. “Bila orang selain sub Suku Kanume bisa berbahaya, ada pelanggaran adat juga,”katanya.

Sebenarnya secara budidaya, kata Agustinus, gembili bisa tanam tiga kali dalam setahun dengan teknik irigasi. Dengan begitu, katanya, bisa meningkatkan pendapatan warga dengan tetap memakai kearifan lokal.

Untuk itu, katanya, perlu perlahan sosialisasi, misal kepada tokoh adat, aparat kampung hingga warga kampung mengenai pemanfaatan optimal gembili sebagai pangan lokal dengan tanam lebih dari sekali setahun.

Dengan pola tanam, misal, dua kali setahun, katanya, sekaligus dapat menjaga tanaman tak punah. Ia bisa disimpan untuk ketahanan pangan di tingkat kampung.

“Harus terpadu antara terknologi dengan kebudayaan setempat, apalagi gembili masuk dalam upacara sakral dan tidak boleh sembarangan dimanfaatkan oleh orang bukan sub Suku Kanume. Jenis ini tidak boleh ditanam oleh kelompok lain.”

 

 

*** Keterangan foto utama: Daun gembili. Foto: Wikipedia

Exit mobile version