Mongabay.co.id

Saat Kuskus Makin Sulit Dicari, Ritual Suku Nuaulu pun Bisa Hilang Lenyap

 

Kerutan usia tampak di wajah tetua Negeri Nuanea, kepalanya diikat kain merah, ciri yang digunakan orang Nuaulu dewasa. Sahiane Matoke namanya, dia tinggal di Dusun Rouhua yang masuk wilayah Negeri Sepa.

Suku Nuaulu adalah suku asli penghuni daratan Pulau Seram. Berdasarkan data Aliansi Masyarakat Hukum Adat Nusantara (AMAN), pada tahun 2015 jumlah suku ini 3.417 jiwa. Laki-laki 1.704 jiwa, perempuan 1.713 jiwa, dan anak-anak 315 jiwa.

Pekerjaan mereka rata-rata berburu dan bertani. Adapun orang Nuaulu memiliki keterikatan erat dengan hutan dan alam tempat hidupnya.

“Dulu sebelum pembalakan [hutan], gampang kita cari kuskus, sekarang sulit. Berburu dua sampai tiga hari baru kita bisa jumpa,” ungkap Sahiane.

Bahkan sebutnya, kadang untuk berburu kuskus sekarang seseorang harus masuk sampai jauh, bahkan bisa masuk ke hutan milik negeri tetangga.

Bagi orang Nuaulu, kuskus adalah binatang penting yang digunakan dalam ritual adat yang disebut pataheri. Ritual ini adalah proses inisiasi anak laki-laki saat masuk usia dewasa.

Dalam petaheri, kedewasaan ditandai dengan pemakaian ikat kepala berwarna merah (kaeng berang) di kepala dan celana pendek atau cidaku. Saat dianggap telah memsuki usia dewasa, seorang pria Nuaulu harus sudah bisa berburu, memanah dan memanjat pohon. Keahlian tersebut, berguna sebagai modal menikah guna menghidupi keluarga kelak.

Ritual pataheri biasanya dimulai dengan puasa. Selama berpuasa, kaeng berang diikat di leher karena dipercaya akan menjauhkan dari gangguan setan. Dalam upacara itu, sebagai bagian dari upacara harus ada kuskus hidup yang akan dikurbankan dalam ritual persembahannya. Bagaimana ceritanya?

Baca juga: Suku Nuaulu, Hutan Keramat dan Semakin Hilangnya Hutan Pulau Seram

 

Anak Nuaulu berpose bersama usai menjalani ritual pataheri. Dalam ritual ini, inisiasi dewasa dilakukan lewat pemasangan kain berang (kain merah) atau karanunu di kepala mereka. Foto: Dodie Tiwery/ Balai Pelestarian Budaya Maluku.

 

 

Mengikuti tradisi orang Nuaulu, pada zaman dahulu seorang anak laki-laki dikatakan telah jadi pria dewasa dengan diuji di medan perang. Mereka dianggap dewasa, jika saat pulang mereka membawa kepala manusia.

Dengan perkembangan zaman, kepala manusia sekarang diganti dengan kepala kuskus. Sayangnya, kuskus semakin sulit didapat, saat habitatnya di dalam hutan mulai terusik dan menghilang.

Pasalnya, Hutan keramat orang Nuaulu yang disebut Hutan Negeri Lama, sejak tahun 2012 masuk dalam wilayah konsesi IUPHHK-HPH PT Bintang Lima Makmur (PT BLM). Dari 12 marga suku, 10 marga kawasan hutan keramatnya tumpang tindih dengan area konsesi.

Sejak aktivitas pembalakan kayu dan pembukaan hutan berjalan, masyarakat sebut kuskus makin sulit dijumpai. Persoalan kuskus yang semakin langka ini cukup membuat pusing Sahiane dan para penatua adat Nuaulu.

“Masa harus kembali seperti zaman orang-orang tua dulu [pergi bunuh orang]. Itu kan bertentangan dengan hukum.” Sejak tahun 1970-an ritual menggunakan kepala manusia memang sudah tidak dijalankan lagi oleh orang Nuaulu.

Dia menjelaskan, sudah beberapa kali rencana patineri ditunda, karena kuskus tidak kunjung didapat.

Selain tempat hidup kuskus, di dalam hutan juga terdapat lokasi-lokasi keramat lain, seperti bekas permukiman kuno dan tempat batu keramat marga yang dipercaya memiliki kekuatan magis.

 

 

Sahiane Matoke, tetua adat Suku Nuaulu. Dia tinggal di  Dusun Rouhua, Negeri Sepayang. Foto: M Jaya Barends

 

 

“Sebelum prosesi adat, mesti dilakukan pencarian kuskus atau babi di Negeri Lama dan di Batu Keramat,” ujarnya.

Berbeda dengan Sahiane, Manus Leipary, -salah satu warga Nuaulu yang sering keluar masuk hutan, bersikap lebih pesimistis. Dia bilang prosesi adat tampaknya sudah tidak bisa dilakukan lagi kedepan.

“Prosesi ritual adat tidak bisa lagi berjalan, karena hutan sudah rusak,” sebut Manus.

Manus bilang, sebenarnya dia mendukung program yang dibuat pemerintah, selama itu tidak merugikan dan menghargai hak-hak adat. Misalnya, aktivitas pembalakan di hutan keramat harusnya dihindari.

Manus sendiri punya pengalaman traumatis, saat menjumpai lokasi bekas permukiman kuno marganya di dalam hutan, telah digusur dan berubah jadi jalan logging truck.

 

Bekas rumah tua marga Leipary yang telah beralih fungsi menjadi jalan logging di hutan Negeri Lama di sekitar Sungai Nua, Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Foto: M Jaya Barends

 

Ritual Pataheri Masuk Warisan Budaya

Dari sejumlah ritual suku Nuaulu, pataheri telah ditetapkan sebagai salah satu warisan budaya Indonesia, sesuai amanat UU Nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan kebudayaan.

Staf Produksi Bagian Film Balai Pelestarian Budaya Maluku yang sering membuat dokumentasi ritual suku di Pulau Seram, Dodie Tiwery, menyebut sudah selayaknya warisan budaya suku Nuaulu ini perlu dilindungi.

Tanpa adanya hutan, Dodie bilang budaya orang Nuaulu bisa hilang ditelan zaman. Meski sekarang sudah hidup menetap, suku Nuaulu punya relasi kuat dengan hutan.

Dodie menepis jika ritual adat patineri disebut membuat kuskus punah. Menurutnya tidak semua kuskus diambil, ada aturan adat dalam mengambil kuskus dari dalam hutan. Dengan demikian populasinya dapat terjaga.

”Tidak semua kuskus diburu, hanya jenis tertentu saja.”

Berdasarkan penelitian Usmany et al dari Universitas Pattimura kepada sifat fenotif kuskus di Desa Lumoli, Seram Barat dijumpai empat jenis mahluk marsupial ini, yaitu: kuskus coklat (Phalanger orientalis), kuskus putih (P. urinus), kuskus kelabu (P.vestitus), dan kuskus totol (Spilocuscus maculatus).

Bagi orang Nuaulu, kuskus selain dipakai untuk ritual juga mereka konsumsi, namun ada pengecualian bagi jenis-jenis kuskus tertentu.

Menanggapi kondisi berkurangnya wilayah hutan di Seram, Dosen Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon, Dr Marthina Tjoa, menyebut semakin ini akan berdampak pada sosio-budaya masyarakat asli.

Pasalnya semua ritual suku bergantung dengan alam, mulai dari pataheri, pinamou (ritual inisiasi dewasa bagi anak perempuan yang masuk pubertas), pembangunan rumah adat dan yang lainnya. Spesies yang ada di hutan adalah bagian penting pendukung ritual ini.

Tjoa bilang, dari pengamatannya biasanya penyesuaian akan dilakukan untuk mempertahankan ritual yang ada.

”Tetapi pada intinya penyesuaian itu dilakukan, tapi tidak merubah nilai,” ujarnya.

Meski begitu, Tjoa menekankan pentingnya dilakukan kajian mendalam aktivitas pembalakan hutan terhadap ritual orang Nuaulu. Tanpa adanya hutan, maka tidak ada lagi ritual, bahkan eksistensi suku pun lambat laun akah hilang.

“Kita perlu tahu apa dampaknya bagi praktik ritual yang ada di orang Nuaulu,” pungkasnya.

 

*  M Jaya Barends, penulis adalah jurnalis dan kontributor berita media daring, berdomisili di Ambon. Artikel ini didukung oleh Forest Watch Indonesia (FWI), Universitas Pattimura dan Mongabay Indonesia.

 

***

Foto utama: kuskus, satwa marsupialia, jenis satwa berkantung, yang dijumpai di pulau-pulau Indonesia bagian timur, penyebarannya dari Sulawesi, Kepulauan Maluku hingga ke Papua. Foto: Rhett A Butler/Mongabay

Exit mobile version