Mongabay.co.id

Abrasi Parah, Pulau Mensemut Terancam Tenggelam

 

 

 

 

Rusman, dan puluhan warga Pulau Mensemut, Desa Penaah, Kecamatan Senayang, Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau, dalam keadaan was-was, terlebih saat masuk musim angin utara. Tahun ke tahun abrasi terus mengikis tepi pantai, pulau yang mereka huni pun terancam tenggelam.

Pada 2020 ini, abrasi sudah merobohkan lima rumah kayu warga pulau itu, salah satu milik Rusman. Rusman bercerita, kepada Mongabay, tiap Desember 2020 sudah langganan warga melihat pulau parah terkikis abrasi.

Garis pantai pulau ini terus mendekati pemukiman warga karena terkikis ombak dan badai yang kuat. Apalagi tahun ini, katanya, angin utara sangat kencang hingga abrasi makin menjangkau bagian darat pulau.

“Sebenarnya, hampir setiap tahun air laut naik, tetapi tahun ini makin parah, bagaimana lagi, namanya musibah,” kata Rusman.

Dalam Desember ini, katanya, lima rumah warga roboh karena abrasi, termasuk teras Rusman. Tidak ada korban jiwa dalam kejadian itu tetapi warga kehilangan tempat tinggal.

Saat ini, Rusman dan puluhan warga Mensemut kembali gotong royong membangun rumah kayu yang roboh.

Rusman juga Ketua RT Pulau Mensemut mengatakan, ada 18 keluarga menetap di Pulau Mensemut. Rata-rata mata pencaharian mereka melaut.

Pemerintah, katanya, sudah meminta mereka pindah dan tinggal di pulau lain untuk menghindari musibah, namun menolak.

Menurut mereka, Mensemut tempat melaut cukup bagus, jarak tidak terlalu jauh dan perairan ini banyak ikan. “Kalau kami pindah ke pulau lain, belum terjamin pulau baru banyak ikan,”

Salah satu pulau relokasi di Pulau Hantu. Mereka menolak karena pulau yang berjarak dua jam dari Pulau Mensemut itu tak kaya ikan hingga perlu ongkos besar untuk bisa menangkap ikan. “Bahkan masyarakat Pulau Hantu melaut ke sini (Pulau Mensemut),” katanya.

Meskipun relokasi ke pulau lain tidak jadi solusi, kata Rusman, membangun bendungan pemecah ombak bisa mengatasi abrasi. Dia sudah menyampaikan soal pemecah ombak itu kepada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lingga.

 

Pantai makin mendekati rumah warga di Pulau Mensemut. Beberapa rumah sudah roboh kena terjang ombak. Foto: Yayasan Kajang

 

Kondisi terakhir, katanya, masyarakat masih bertahan di rumah kayu mereka masing-masing. Beberapa rumah roboh mulai dibangun kembali. “Kondisi sekarang angin sudah tidak terlalu kencang, tetapi kemungkinan Januari akan naik lagi.”

Rusman mengatakan, abrasi yang terjadi di Pulau Mensemut membuat masyarakat cemas. Apalagi beberapa rumah warga sudah roboh karena abrasi. “Semoga tahun depan dibangun bendungan pemecah ombak,” katanya.

Rusman bersama warga berupaya menahan ombak dengan tanaman mangrove di sepanjang tepi pantai. “Bakau bagusnya di dalam sungai, kalau disini gelombang laut besar, bakau belum besar, tetapi sudah duluan habis diterjang ombak,” katanya.

Ancaman Pulau Mensemut, tenggelam jadi perhatian Ketua Yayasan Kajang Densy Fluzianti. Yayasan ini bergerak bidang sosial membantu hak-hak dasar Suku Laut di Lingga.

“Saya sering ke pulau-pulau, awal masuk Pulau Mensemut 2003, ketika itu pulau itu masih luas, sekarang makin kecil,” katanya.

Kondisi abrasi makin parah. Jarak pantai ke rumah warga makin dekat, awalnya 30 meter sekarang sudah 10 meter. “Air laut sudah sampai ke tepian rumah warga, dan juga merobohkan rumah warga,” katanya.

Densy berharap pemerintah memberikan solusi terhadap masalah masyarakat laut itu. “Pulau ini berada dengan laut lepas, jadi angin sangat terasa [kuat].”

Jarak Pulau Mensemut, dengan Lingga sekitar dua jam perjalanan, terdapat 60 jiwa tinggal di pulau itu. “Kita khawatir jika pemerintah tidak memperhatikan kondisi ini pulau itu akan tenggelam,” katanya.

Oktanius Wirsal, Pelaksana Tugas Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Lingga, mengatakan, sudah kunjungan ke Pulau Mensemut. Abrasi terjadi cukup parah mengakibatkan tepi pantai terkikis.

“Masyarakat sudah menyadari pulau itu makin mengecil karena abrasi angin utara,” katanya kepada Mongabay belum lama ini.

BPBD, akan mengambil membantu warga Pulau Mensemut. “Kita akan rapat dengan stakeholder terkait, masalah penanganan abrasi teknis ada di Dinas Pekerjaan Umum dan Perkim, kajian di dinas terkait,” katanya.

 

Penampakan beberapa rumah waga yang roboh diterjang ombak besar di musim angin utara. Goto: Yayasan Kajang

 

Okta tidak menampik abrasi terus terjadi berpotensi membuat pulau itu tenggelam. “Kalau kita lihat situasi disana butuh pemecah gelombang, sekitar 200 meter.”

Dia berharap, BNPB bisa membantu membangun pemecah gelombang. “Tentu, harus permintaan dari pemerintah daerah.”

Andiko Sutan Mancayo, aktivis lingkungan di Batam mengatakan, pemerintah harus hadir dalam musibah yang menimpa masyarakat di Pulau Mensemut. “Harus ada upaya mitigasi dari pemerintah,” kata pria yang kini Senior Sustainability Lawyer AsM Law Office itu.

Untuk jangka pendek, katanya, pemerintah bisa membangun batu pemecah ombak, dan menanam mangrove di sekitar pulau. Untuk jangka panjang, kata Andiko, perlu ada kajian sosial dan ekonomi terlebih dahulu apalagi soal keputusan pemindahan warga.

“Kalau hanya mau memindahkan tanpa kajian mendalam, itu namanya tidak mau mengurus.”

Riko Kurniawan, Direktur Eksekutif Walhi Riau mengatakan, abrasi di Pulau Mensemut merupakan dampak pemanasan global. “Bahkan, kondisi seperti di Pulau Mensemut akan banyak lagi terjadi ke depan di daerah-daerah lain,” katanya.

Apalagi, kata Riko, tidak ada komitmen kuat dari pemerintah dalam menghadapi perubahan iklim global ini. Jelas, katanya, dalam jangka pendek harus ada antisipasi agar pulau tidak tenggelam, seperti dengan pemecah ombak.

Selain itu, katanya, program penanaman mangrove dari pemerintah juga harus menyasar pulau-pulau kecil yang terancam abrasi seperti Pulau Mensemut. “Bahkan harus menjadi prioritas.”

Untuk solusi jangka panjang, katanya, pemerintah dan para pihak harus mengurangi emisi karbon dalam berbagai aktivitas guna mencegah perubahan iklim.

 

 

*** Keterangan foto utama:   Penampakan Pulau Mensemut, Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau, nyaris tenggelam  dampak perubahan iklim. Foto: Yayasan Kajang

 

Exit mobile version