Mongabay.co.id

Melihat Keberhasilan Sasi Melindungi Biota Laut Pulau Ay 

 

Tahun 2014, Pemerintah Negeri Adminstratif Pulau Ay, Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, membuat dan menetapkan sasi (larangan) sebagai alternatif untuk melindungi sumber daya laut (biota) dan hutan di teritorial mereka.  Sasi itu diramu dan terakomodir dalam Peraturan Negeri Administratif Pulau Ay No.1/2014 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Sasi laut yang diterapkan Pemerintah Negeri (Desa) setempat meliputi lola, lobster, teripang, ikan, penyu, siput batu laga, dan terumbu karang. Sementara sasi hutan diantaranya pala dan berbagai jenis tumbuhan, termasuk hewan ternak yang merusak tanaman atau lingkungan warga.

Andre Laminggu Sondak, Sekretaris Kelompok Konservasi Pulau Ay mengatakan, berbagai peraturan dan sasi yang diterapkan bersifat mengikat dan berujung sanksi jika ada warga melanggar.

Pemerintah Desa Pulau Ay, bahkan tak segan-segan menghukum setiap orang yang kedapatan mengambil hasil laut dan darat, sebelum sasi resmi dibuka.

Untuk biota laut seperti lola, lobster, batu laga, ikan dan lainnya dikenakan ganti rugi atau kompensasi cukup besar dan bervariasi. Sementara untuk hasil pertanian seperti pala dikenakan Rp50 ribu. Kalau tidak bayar, disanksi pakai aturan adat, semisal hukum cambuk.

Dia menyebut, peraturan tersebut merupakan kerjasama antara Pemerintah Desa, Saniri (Dewan Perwakilan Desa) dan mendapat persetujuan langsung dari masyarakat setempat, termasuk Kelompok Konservasi Pulay Ay.

“Peraturan itu sudah berlangsung lama. Masyarakat mendukung sasi karena itu kearifan lokal. Namun terkait sanksi, sebenarnya merujuk ke Perda dan Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan,” katanya.

baca : Sasi, Etika Lingkungan dan Toleransi Satu Bumi Kesultanan Bacan

 

Prosesi buka adat Sasi Laut di Pulau Ay, Banda Neira, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, Selasa, (13/11/2018). Foto : istimewa/ambonnesia

 

Pemerintah Negeri Pulau Ay juga melarang adanya pengerukan pasir, apalagi dalam skala besar, dengan anggaran mencapai Rp1 miliar. Jadi baik pemerintah kabupaten, provinsi maupun pusat, dilarang keras untuk menambang pasir.

“Kemarin memang ada proyek untuk bendungan dan PLN, tapi pengerukan pasir itu diambil di luar Pulau Ay, yakni di pesisir pantai Gunung Api Banda,” ungkapnya.

Pengerukan pasir yang berlebihan seperti penimbunan rumah juga dilarang. Semakin hari, lanjutnya, penduduk kian bertambah, sehingga pengambilan pasir dalam jumlah besar dibatasi guna melindungi wilayah pesisir dari gelombang laut.

“Meski orang kampung sini, tapi kalau tidak tinggal dan menetap, kita larang mereka untuk ambil sesuatu di pesisir pantai dan laut wilayah Pulau Ay,” katanya.

Jadi sasi yang diterapkan Pemerintah Negeri Ay itu mencakup semua termasuk laut dan darat. Kalau Kelompok Konservasi, katanya, konsen ke sasi laut. Seperti lola, siput, teripang, lobster, dan satwa laut yang dilindungi, seperti penyu dan ikan napoleon (Cheilinus undulatus).

Andre mengatakan, ketika ada warga yang kedapatan mengambil biota laut lebih awal akan dikasih peringatan. Menurutnya,  sasi berlangsung selama dua tahun, dan sebenarnya November kemarin harus dibuka, tapi terkendala COVID-19.

“Kalau buka sasi, yang diambil lola itu lobster, siput. Waktu buka sasi di tahun 2018 itu, warga pernah ambil lola sekitar 500 kilogram,” katanya.

Dia merinci untuk distribusi dan penjualan lola Rp20 ribu/kg. Sementara jenis kerang batu laga dijual Rp 200 ribu. Tapi itu dulu,” katanya.

baca juga : Survei CTC : Terumbu Karang Pulau Banda Sehat, Ada 23 Jenis Ikan Bernilai Tinggi

 

Proses ritual sasi laut di Kecamatan Banda, Maluku Tengah, termasuk di Pulau Ay. Foto : KKP

 

Kearifan lokal 

Muhayem Nasrun, salah satu warga mengaku sasi bertujuan untuk menjaga kualitas sumber daya alam laut dan darat.

Sasi itu kearifan lokal. Untuk buka sasi dilakukan musyawarah bersama tua-tua adat. Buka sasi dilakukan selama seminggu, tergantung pasang surut air laut. Buka sasi juga menghadirkan berbagai stakholder,” katanya.

Dia mengatakan, Pemerintah Negeri juga melarang orang-orang masuk ke zona lindung, kecuali bagi pihak-pihak seperti universitas dan lembaga penelitian, yang mau melakukan observasi di sana.

Mereka juga mengaku, kalau melakukan monitoring laut pada zona-zona terlarang, tim konservasi bisa menghasilkan sebanyak Rp5 juta dalam setahun. Dan itu sangat efektif, karena memang dari pihak luar banyak kedapatan melanggar sasi yang diterapkan.

“Saya bangga dengan sasi ini. Karena dari tahun 2014 hingga saat ini, biota-biota laut terlindungi. Terumbuh karang dan pasir juga terlindungi dan terlihat bagus. Sisi lain orang tidak timbun batu pantai dan juga membuat kejahatan lain,” katanya.

Nasrun juga mengaku, Pulau Ay dan Rhun dalah satu kawasan Taman Wisata Perairan (TWP). Namun di Rhun belum ada peraturan negeri, sehingga belum bisa mengambil langkah lebih jauh.

Dia menjelaskan, dalam Bab V Pasal 11 Peraturan Negeri Administratif Pulau Ay No.1/2014, tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam menyebut, tim konservasi bertanggungjawab dalam perencanaan lingkungan hidup untuk pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Pulau Ay berkelanjutan.

Tim Konservasi Perairan Negeri Adminstrasi Pulau Ay berhak melakukan penangkapan dan menyerahkan pelaku yang melakukan perbuatan perusakan lingkungan di kawasan perairan Pulau Ay kepada pihak berwajib.

“Tim Konservasi juga berhak melaksanakan pengamanan, penyitaan dan pemusnahan atas barang yang digunakan untuk merusak lingkungan,” katanya.

Sementara bagi penduduk setempat, lanjutnya, wajib menjaga, mengawasi, dan memelihara kelestarian wilayah pesisir dan laut, di dalam wilayah atau kawasan konservasi perairan Negeri Administrasi Pulau Ay. Penduduk juga bertanggungjawab dalam perencanaan pengelolaan lingkungan.

perlu dibaca : Pertama di Dunia, Ratusan Nelayan Tuna Pulau Buru Maluku Raih Sertifikat Ekolabel MSC

 

Ikan napoleon di Kepulauan Banda, ikan di foto ini panjangnya mancapai 2 meter. Foto: Marthen Welly/CTC

 

Larangan dan sanksi

Untuk zona inti atau lindung, setiap orang dilarang mengambil biota laut (hewan atau tumbuhan) yang hidup atau mati. Kemudian tidak boleh menyalakan lampu atau penerangan lainnya dalam jarak 100 meter dari batas zona inti.

Dalam aturan itu disebutkan dilarang membuang jangkar dan berlabuhnya kapal. Menangkap ikan dengan obat bius atau racun, menangkap atau membunuh hewan-hewan dilindungi, seperti napoleon, penyu, dugong, hiu, lumba-lumba, pari manta dan hiu paus.

Larangan lain seperti menambang terumbu karang, pasir, batu, mengambil telur penyu dan telur burung laut, membuang jangkar dan menggunakan jaring di wilayah terumbu karang. Kemudian mengambil biota laut yang di-sasi seperti lobster, lola, batu laga, dan teripang.

“Jika melanggar semua larangan ini, akan dikenakan sanksi administrasi dengan nilai bervariasi, mulai dari Rp100 juta hingga paling kecil Rp1 juta,” tegas peraturan itu.

Untuk biota laut itu disanksi Rp100 juta, sementara terumbu karang Rp10 juta. Aturan itu juga menjelaskan tentang pemanfaatan sub zona parawisata bahari dan zonasi perikanan berkelanjutan.

Hal-hal yang dizinkan dalam zonasi-zonasi tersebut seperti penelitian ilmiah dan pendidikan, kegiatan pariwisata, diving dan snorkeling, menangkap ikan dengan alat-alat tradisional dan ramah lingkungan. Dan menempatkan alat bantu berupa rumpon dan lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

“Jika tidak membayar denda yang ditetapkan, para pelaku kejahatan akan dilaporkan ke pihak berwajib (polisi),” jelas peraturan tersebut.

Sebagaimana diketahui, sasi bagi masyarakat di Maluku adalah sebuah adat yang diwariskan para leluhur sejak berabad-abad lalu. Sasi ini dimaksudkan untuk menjaga sumber daya alam agar tetap terawat. Secara sederhana sasi adalah perintah larangan untuk tidak mengambil hasil hutan (pertanian) atau laut sebelum tiba waktunya.

Selain di Banda, sasi juga ditemukan di Desa Nuruwe Seram Bagian Barat, Haruku, dan Negeri Ameth, Kecamatan Nusa Laut, Kabupaten Maluku Tengah. Seperti di Negeri Haruku ada sasi ikan lompat.

 

Exit mobile version