Mongabay.co.id

Saat Warga Samo Ingin Wujudkan Halmahera Selatan Mandiri Pangan

 

Meski telah cukup berumur, tapi Mudin Salim masih kuat bekerja di ladang. Dia dikenal warga desa sebagai “si raja hutan” karena sejak muda dia terbiasa keluar masuk hutan. Saat di dalam hutan, dia kerap “mangasu” atau berburu ditemani beberapa anjing miliknya.

Saat menjumpai lokasi rata dan subur di hutan, dia juga melakukan tolagumi, atau memberi tanda calon ladang yang dianggap tepat untuk bercocok tanam. Lahan itu kelak akan dipakainya untuk menanam padi ladang.

Bertanam padi ladang memang erat sebagai tradisi orang Samo. Desa ini terletak di Kecamatan Gane Barat Utara, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. Mudin mungkin salah satu tipikal orang Samo klasik yang lekat dengan budaya pertanian ini.

Menurut tutur lisan warga, menanam padi ladang di Samo telah berlangsung sebagai tradisi sejak kurang lebih 300 tahun lalu, saat para leluhur negeri mulai membuka ladang-ladang di dalam hutan.

Namun, tradisi ini mulai berhenti sekitar tahun 1980-an, saat warga mulai berganti dari bertanam padi ladangnya dengan kelapa. Muasalya, harga kopra waktu itu dapat mencapai Rp2.500-Rp3.000/kg.

Baca juga: Cerita dari Kampung: Kembali ke Pangan Lokal, Dorong Produk dari Alam

 

Salah satu warga Samo sedang mengambil nira, Secara turun temurun orang Samo telah memanfaatkan sumberdaya alamnya. Foto: Asri Sikumbang

 

 

Dong so kurang lia lagi padi, dong lia kelapa (kopra) karena cepat dapat doi untuk biaya sekolah anak,” tutur Rusli (53). Dia mantan Kepala Desa Samo periode 2009-2015.

“Saat itu harga kopra seperti itu bikin orang perlahan-lahan tinggalkan padi ladang. Tahun 1986 dong di sini masih batanam padi, setelah 1988 seterusnya tidak ada lagi satu pun yang batanam padi.”

Memasuki tahun 1990-an warga mulai bekerja di hutan, yaitu bekerja di perusahaan kayu PT Barito. Banyak orang Samo yang beralih kerja dari kerja kebun menjadi harian lepas. Mudin pun termasuk yang pernah bekerja di perusahaan itu sebagai tenaga harian lepas.

“Tidak ada pembatasan bagi yang ingin bekerja sebagai tenaga harian, ya masuk saja,” jelasnya. Saat itu, adalah puncak masa kejayaan kayu di Halsel.

Seingat dia, saat itu ada sekitar 4-5 grup tenaga harian lepas, satu grup beranggotakan sekitar 12 orang. Tugas Mudin waktu itu melakukan survey areal tegakan pohon di hutan. Dia bekerja di situ hingga perusahaan tutup menjelang tahun 2000.

Menurut data dari Forest Watch Indonesia (FWI), hutan di Halsel memang terus turun.  Dari luas daratannya 859.115 hektar, maka pada tahun 2000, luas hutan alamnya adalah 677.165 hektar (78,8 persen luas daratan). Tujuh belas tahun kemudian, luas hutan hutan alamnya tinggal 519.987 hektar.

Dari 157.178 hektar tutupan hutan yang berkurang selama periode 2000-2017, deforestasi terjadi di area izin HPH 24.642 hektar, perkebunan sawit  8.351 hektar, pertambangan 27.487 hektar, areal tumpang tindih Izin 23.521 hektar, dan di luar dari area izin ada 73.176 hektar.

Baca juga: Warga Gane Menanam Kembali, Penuhi Pangan dengan Ramah Alam

 

Ibu-ibu warga Samo membawa hasil bumi. Foto: Asri Sikumbang

 

 

Kembali Bercocok Tanam

Dengan usaha kayu yang meredup, sekarang Mudin kembali bertani. Dia menanam padi ladang setelah sekian lama tradisi ini ditinggalkan oleh warga. Dia pun mengajak sekitar 20 KK lain bertani padi ladang.

“Membersihkan lahan untuk menanam padi ladang itu butuh waktu sekitar 1-3 bulan. Saat musim penghujan padi ladang tong (kita) tak bisa tanam. Masa panen dan mulai tanam dasarnya kalender Hijriah,” jelas dia.

Mudin sendiri mengerjakan dua lokasi lahan miliknya. Lahan pertama berlokasi di KM 6 seluas setengah hektar. Tiap enam bulan hasil panennya bisa sampai 200 kg lebih. Sudah tiga kali dia panen di sini. “Ini lebih dari cukup untuk kebutuhan keluarga”.

Lahan kedua berada di KM 8, luasnya satu hektar. Diantara tanaman padinya, dia tanami juga dengan ubi jalar, singkong, pisang dan jagung. Hasil panennya bisa sampai satu ton lebih. Karena sudah merasa cukup, hasil panen ini dia bagi ke warga lain.

Mudin juga kerap memberikan lahan tolagumi kepada warga lain.  Mahdi salah satu yang dia beri.

Luas lahan Mahdi sekira 1 hektar. Hasil panen padinya sekitar 200 kg. Dia sebut hasil panen lalu dia kurang beruntung. Batang padinya banyak kena serangan hama tikus dan burung.

“Baru-baru kalu tara gagal panen, dan tara hama, tong hasil dua ton itu ada,” kata Mahdi.

Tak begitu beruntung hasil panen padi, Mahdi mendapat peruntungannya dengan menanam pisang. Sekarang dia punya 200 batang pisang. Dia bilang dari pisang dia bisa hidupi keluarganya.

Tong jual di kampong sini sudah. Satu pohon kadang dapa Rp20.000-25.000 tergantung ukuran. Yang paling besar dapa Rp30 ribu.”

Di luar bertani, Mahdi sesekali melaut sebagai pekerjaan sampingan. Biasanya dalam setahun ada bulan-bulan dimana ikan banyak muncul di tepi laut. Selebihnya ikan-ikan itu hilang bermigrasi.

Bagi warga Samo, menanam padi ladang dilakukan tanpa pupuk. Untuk mengusir hama, biasanya mereka menggunakan kulit batang pohon bawa bawa. Pohon ini berbau tak sedap. Untuk mengusir hama, warga menabur dilahan ladang.

“Kalau hama dia datang dia dapa ciom bobou (mencium bau) itu deng langsung dia hindar, tapi dia tara kase mati hama, user (mengusir) saja,” terang Mahdi.

Selain padi dan pisang, ada juga warga Samo yang menanam kacang dan rempah di ladang mereka. Salah satunya Adam Pance (70), pria asal Makasar yang sudah menetap di Samo sejak tahun 1980-an.

Adam merantau ke Maluku sudah sejak tahun 1970-an. Dulu dia pernah kerja di PT Barito sebagai pekerja chainsaw. Dia masih ingat, dulu kerja kayu untuk membuka jalan logging. Adam pun sohor sebagai “tukang sengsor” yang jasanya kerap dipakai masyarakat untuk buka ladang.

Dia bilang tak lama bekerja di perusahaan, alasannya menjadi karyawan beda dengan bertani. Upah hanya sekali diterima tiap bulan, beda jika bertani.

“Bertani, hasilnya bisa dijual kapan dan dimana saja,” kata Adam. Dia mangaku Samo sudah jadi kampung halaman keduanya.

Adam punya lahan seperempat hektar yang dia usahakan, kebunnya dia tanami kacang tanah, serai, kunyit, jahe, lengkuas dan pisang. Dalam satu bulan Adam dan keluarga dapat peroleh penghasilan kotor hingga Rp2 juta. Istrinya biasa jual hasil ladang sampai ke Kota Ternate.

 

Ibu-ibu Samo sedang membersihkan beras. Foto: Asri Sikumbang

 

 

Kemandirian Pangan

Kecamatan Gane Barat sendiri terdiri dari 12 desa, selain Samo, desa lainnya adalah Boso, Jikolamo, Dolik, Suka Damai, Tokaka, Nurjihat, Moloku, Samat, Posi Posi, Gumira, dan Batulak.

Meski warga akrab dengan usaha cocok tanam, sejatinya mereka belum mandiri pangan. Sayur mayur dan beras harus didatangkan dari luar daerah. Ketergantungan ini tentu saja amat riskan, jika suatu ketika terjadi gagal panen atau puso.

“Kemandirian pangan itu artinya punya bibit sendiri, punya teknologi sendiri, bisa produksi sendiri, bisa mengelola sendiri. Ini belum,” jelas Ahmad Mahmudi.

Mahmudi adalah peneliti senior dari Lembaga Insist yang sedang melakuan kajian pangan di Gane Barat Utara. Timnya telah mulai bekerja melakukan scooping sejak Maret 2020 lalu.

Menurut dia, ada tingkatan dalam konteks ketahanan pangan bagi warga komunitas, yaitu ketersediaan pangan, kecukupan pangan, ketahanan pangan, baru kemandirian pangan. Berdasarkan kajiannya, semua desa di Kecamatan Gane Barat Utara, masih banyak yang ada di tingkat pemenuhan ketersediaan pangan, masih jauh dari kata mandiri pangan.

Padahal potensi alam yang ada besar. Lahan dan air tersedia, para petani pun memiliki kemauan dan hasrat. Untuk itu perlu ada pendampingan untuk meningkatkan produksi hasil pangan.

Selain Samo, sejumlah desa di wilayah Gane Barat Utara juga memiliki kemiripan, salah satunya Desa Posi Posi. Desa ini jumlah warganya 89 KK, 60 persennya memilih bercocok tanaman jangka pendek.

Potensi pertanian di sini cukup besar, banyak pohon sagu, tapi sayangnya tak satu pun warga setempat yang menekuni usaha bikin produk dari sagu.

Bagi Mahmudi hal terpenting adalah warga mampu memetakan potensi desanya. Untuk pertanian, baginya potensi harus dibedakan menjadi tanaman pangan dan tanaman industri.

 

Kebun pisang yang diusahakan oleh warga Samo. Pisang menjadi salah satu komoditas yang dikembangkan oleh warga. Foto: Asri Sikumbang

 

 

“Padi, cabai, tomat, singkong, pisang itu tanaman pangan. Pala dan cengkeh tanaman industri yang tidak bisa dimakan, sementara kelapa kopra bisa keduanya.”

Dengan memetakan potensi pertanian, maka rencana kerja ke depan bisa disusun. Ini yang sedang digagas oleh Mahmudi dan rekan kerjanya dari Insist dan EcoNusa.

Mereka menginisiasi Sekolah Transformasi Sosial (STS) untuk desa-desa di Kecamatan Gane Barat Utara. Tujuannya agar desa memiliki basis produksi, distribusi, dan teknologi tepat guna.

Strategi STS adalah membangun ‘sekolah-sekolah kampung’, yaitu gerakan belajar dan bekerja di kampung, saling belajar metode pertanian berkelanjutan, dan membuat database perencanaan pembangunan kampung.

“Sekolah kampung ini tidak seperti halnya perguruan tinggi, di bawah pohon pun itu adalah tempat belajar. Rumput yang kering pun itu adalah guru apalagi orang. Prinsipnya semua orang adalah guru dan sekaligus semua orang adalah murid,” terang Mahmudi.

Salah satu program yang diajarkan adalah membuat pupuk organik dari bahan baku lokal, prinsipnya harus ramah lingkungan. Pupuk organik diharap akan memperbaiki struktur tanah, memberi nutrisi tanaman, dan dapat menghalau serangga.

Di sisi lain, pertanian mandiri pangan juga sedang dipersiapkan oleh Pemdes Samo.

Dengan memanfaatkan sebagian anggaran dari Dana Desa, Pemdes Samo berniat membangun kebun kampung. Kebun ini bisa dimanfaatkan oleh warga yang ingin bertani. Harapannya tahun 2021 bisa mulai terlaksana.

Jafar Anhar, (67) Kepala Desa Samo menyebut ada lahan desa seluas satu hektar di lokasi KM 5. Lahan ini nantinya akan diperluas lagi jadi empat hektar. Rencananya ia akan dibagi kelola dalam tiga kelompok.

Kedepan tak hanya padi ladang yang akan diprioritaskan di kebun desa itu, tapi juga sayur-mayur, cabai, tomat, bawang yang semua jadi kebutuhan warga. Intinya semua hasil produksi pangan di  Samo bakal dapat meningkat.

“Tanaman padi tong harus buka, supaya dorang (masyarakat) bisa nikmati dia punya hasil yang sadiki bae-bae (baik),” tutup Jafar.

 

* Asri Sikumbang, penulis adalah jurnalis Diahinews. Penulis berdomisili di Ternate, Maluku Utara. Artikel ini didukung oleh Forest Watch Indonesia (FWI), Universitas Pattimura dan Mongabay Indonesia.

 

***

Foto utama: Panen padi ladang yang diusahakan Masyarakat Adat Pagu dan Modole di Halmahera Utara, padi ladang juga dikembangkan di Desa Samo. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version