Mongabay.co.id

Tangani Pandemi Corona, Belajar dari Wabah Pes di Jawa

Barak isolasi wabah di Songgoriti Malang. Foto: dokumen dari Syefri Luwis, penulis buku “Epidemi Penyakit Pes di Malang

 

 

 

 

Tahun 2020, hampir berlalu, tetapi kondisi pandemi Coronavirus Disease (COVID-19) di Indonesia, makin memburuk. Sementara vaksin belum ada kejelasan. Korban meninggal dunia, sudah tembus 200 orang per hari. Satuan Tugas Penanganan COVID-19 sampai 27 Desember 2020 melaporkan 713.365 orang positif, tambah 6.282 orang dan meninggal dunia total 21.237 jiwa, atau ada tambahan 243 orang.

Di negeri ini, sejarah mencatat, selain pandemi flu Spanyol 1918, sebelum itu, wabah pes menyerang mulai 1910. Wabah pes pertama menyerang Malang, Jawa Timur dan menyebar ke pelosok negeri. Selama 1911-1939 wabah pes merenggut 39.254 nyawa di Jawa Timur, Jawa Tengah 76.354 jiwa, dan 4.535 jiwa di Yogyakarta.

Sepanjang 1933-1935, wabah pes mencapai puncak di Jawa Barat merenggut 69.775 jiwa. Begitu paparan Syefri Luwis, penulis buku “Epidemi Penyakit Pes di Malang : 1911-1916” dalam diskusi daring Cikal Bakal Malang, belum lama ini.

Dia bilang, sebelumnya ditemukan kasus pes pada 1905 Tanjung Merowa Deli, Sumatera. Dua korban, pekerja perkebunan terinfeksi pes. Pemerintah kolonial mengabaikan, meski dokter menjelaskan pes bisa terjadi lagi.

Wabah pes muncul lagi berawal dari impor beras dari Rangon, Burma (Myanmar) Oktober 1910. Pemerintah mengimpor beras dari Burma karena krisis beras, Jawa gagal panen. Sedangkan di Burma tengah terjadi epidemi pes. Beras diangkut dengan kapal diturunkan di Surabaya, lantas didistribusikan melalui jalur kereta.

Beras tertahan karena jaringan kereta terputus akibat banjir antara Wlingi, Blitar-Malang. Beras dipindahkan ke gudang penyimpanan di sekitar jalur kereta. Di dekat gudang beras banyak ditemukan tikus mati, terinfeksi kutu yang menularkan penyakit pes.

Penyakit pes karena bakteri berbentuk batang atau basil bernama Yersinia pestis. Basil ini ada di kutu tikus jenis xenopsylla cheopis, kutu ini yang menyebarkan penyakit pes. “Wabah ditemukan pertama di Dampit dan Turen, Malang. Sejumlah penduduk meninggal,” katanya.

Pes mewabah karena saat itu musim hujan, suhu udara rendah hingga kutu mudah berkembangbiak, tikus jadi inang bagi kutu itu. Tikus yang terinfeksi bersarang di tempat tidur yang terbuat dari bambu . Kutu tikus menggigit orang yang tidur. Kutu juga menggigit kaki orang karena saat itu lantai beralas tanah dan banyak penduduk tak pakai alas kaki.

Sejumlah surat kabar lokal melaporkan kejadian itu, namun pemerintah Hindia Belanda abai. Burgerlijke Geneeskundige Dienst (BGD) atau Dinas Kesehatan Publik menyangkal penyakit zoonosis yang menular dari hewan ke manusia ini. “Pemerintah Hindia Belanda baru bergerak menangani wabah 27 Maret 1911.”

 

 

Malang Karantina

Dalam sebuah perkampungan, korban meninggal mencapai 300 orang. Bahkan ada desa yang penduduknya habis, meninggal dunia terinfeksi pes. Karena tak tahu jenis penyakit baru ini, masyarakat menganggap pandemi ini sebagai gangguan makhluk halus atau makhluk gaib. Penduduk menggambar dinding rumah dengan gambar buto atau raksasa untuk mengusir pagebluk.

Direktur BGD De Vogel memerintahkan Malang dikarantina. Penduduk Malang dilarang keluar dan masuk. “Jika ada yang keluar-masuk harus memiliki pas jalan, mirip dengan sekarang,” katanya.

Kalau ada yang nekat masuk tanpa izin bakal ditembak mati tentara. Setiap perbatasan dijaga tentara. “Ada catatan yang meninggal ditembak tentara. Meski begitu banyak yang berhasil kabur melalui jalan tikus,”

Sementara dokter Eropa takut turun ke Malang, mereka ketakutan dengan penyakit pes yang disebut black dead. Penyakit pes menyerang Eropa 1346-1350, merenggut nyawa sepertiga penduduk Eropa. Selain itu, juga tak ada alat pelindung diri yang memadai.

BGD mengeluarkan aturan calon dokter yang menempuh pendidikan di Stovia terutama mahasiswa semester akhir wajib turun langsung menangani pasien. Setelah kembali ke Batavia, para mahasiswa dinyatakan lulus.

BGD juga menyemprot kereta dengan sulfur sebagai disinfektan. Malang menjadi kawasan penting karena menjadi tujuan warga Eropa berlibur. Sulfur juga disemprotkan ke rumah dan pakaian. Bahkan pemerintah kolonial Hindia Belanda juga membakar sebagian rumah penduduk yang menjadi sarang tikus.

Pemerintah Hindia Belanda juga mengeluarkan sayembara mengumpulkan bangkai tikus untuk dimusnahkan. Jumlah tikus yang terkumpul sampai 1 juta ekoran. Pada 1912, status Malang sebagai kawasan karatina dibuka atas permintaaan perkebunan dengan alasan kepentingan perekonomian. Akibatnya, korban meningkat dan terjadi penularan lebih luas.

Banyak desa yang dikosongkan dan pindah ke barak. Aturan isolasi bagi pasien pes di barak khusus menimbulkan keresahan. Selama isolasi di barak keluarga tak bisa menjaga dan merawat, hingga banyak yang meninggal.

 

Perbaikan rumah melalui pengendalian hama di Malang. Foto: dokumen Syefri Luwis, penulis buku “Epidemi Penyakit Pes di Malang : 1911-1916”

 

Rumah penduduk sebagian besar berdinding gedek atau anyaman bambu, Pemerintah Hindia Belanda membangun rumah dengan tembok. Sedangkan rumah berdinding gedek dan atap rumbia dibakar. “Rumah dibangun kolonial, tapi ujungnya utang,” katanya.

Rumah warga desa banyak dibakar, karena banyak yang meninggal. Warga yang selamat pindah ke permukiman baru. Selama 1911-1914, dibangun 107.227 rumah berdinding tembok. Perbaikan rumah menghabiskan biaya 15-20 golden. Biaya pengasapan 18,7 golden. Upah penduduk bumiputra rata-rata 0,20-1,2 golden, sedangkan keturunan Tionghoa 0,3-2,5 golden.

“Utang warga makin banyak hingga menimbulkan gelombang protes,” katanya.

 

Sosialiasi pes

Sosialisasi penyakit pes dilakukan di sekolah dan rumah gadai. Sosialisasi, katanya, tak tepat sasaran. Termasuk memasang papan peringatan di sejumlah titik desa yang terinfeksi pes, saat itu tak banyak yang bisa membaca. “Hanya 10% bisa baca aksara Jawa (Hanacaraka).”

Selebihnya menguasai aksara Arab Melayu atau buta aksara. Papan peringatan aksara Jawa bertulis,”di desa ini sedang terjadi wabah penyakit pes. Jangan memasuki rumah di sekitar sini. Jangan menginap di kampung ini. Jangan megenakan pakaian apapun di desa ini,” kata Syefri.

Kepala desa kemudian mengumpulkan penduduk di bawah papan peringatan, lantas orang terpelajar membacakan keterangan di papan peringatan ke penduduk. “Apakah sosialisasi tercapai?” tanya Syefi.

Dia bilang, belum tentu warga bisa datang dan tingkat pendidikan berbeda, kemungkinan tak bisa memahami penjelasan itu.

 

Sumber: BNPB

 

BGD mendirikan Dienst der Prestbestrijding atau Dinas Pemberantasan Pes 1915, empat tahun setelah wabah pes berlangsung. Setelah itu, penderita pes menurun. BGD juga mencetak buku berjudul “Penyakit pes di tanah Jawa, daya dan upaya menolaknya” Sangat terlambat, ujar Syefri, buku cetak pada 1915, setelah empat tahun epidemi pes.

Sri Sultan Hamengkubuwono VIII datang ke Malang memberi bantuan untuk penanganan penyakit pes. Pemerintah Hindia Belanda membentuk pemerintahan kotapraja atau Gemeente Malang 1914. Sebelumnya Malang merupakan Afedling di bawah Karesidenan Pasuruan. Tujuannya agar penyakit pes ditangani sendiri oleh Pemerintah Kotapraja Malang, dan pemerintah pusat tak perlu turun langsung.

 

Dokter Bumiputera

Sejarawan dan peneliti Center for Culture and Frontier Studies Universitas Brawijaya FX Domini BB Hera menjelaskan, dokter Eropa yang menangani pasien pes cenderung rasis. Mereka menolak melayani dan merawat pasien bumiputera.

“Wabah pes ini menggerakkan para dokter bumiputera. Dokter Tjipto Mangunkusumo dan dokter Soetomo, turun tangan,” kata Domini dalam Sarasehan Pancasila yang diselenggarakan Universitas Negeri Malang pertengahan November lalu.

Dari kesaksian Tjipto, kalau diketahui ada yang terinfeksi penyakit pes dilarang melintas di kampung, juga tak boleh masuk rumah. Tjipto menyaksikan pasien yang akhirnya duduk di bawah pohon kamboja dan mengembuskan napas terakhir.

Keduanya menjadi relawan sekaligus mengobati penduduk yang terserang pes. Saat itu, dokter Soetomo memberi pelayanan gratis bagi penduduk bumiputera, Tjipto menggratiskan biaya khusus bagi masyarakat miskin. Sedangkan orang kulit putih dari bangsa Eropa dibebani biaya berkali lipat.

Tjipto blusukan dari ke kampung ke kampung. Saat mengunjungi desa di Kepanjen, dia mendengar suara bayi menangis di dalam rumah. Bayi tergeletak di antara jenazah kedua orangtua yang terserang pes. Hartinya tergerak, Tjipto menggendong bayi dan mengangkat sebagai anak dan diberi nama Pesjati (Pesyati).

Kampung itu diasapi belerang, bahkan ada yang dibakar dan warga relokasi karena sekampung terjangkit pes. Saat menangani pes, Tjipto berhati-hati dan memperhatikan keselamatan sesuai pengetahuan medis. Kala itu, dia tak menggunakan alat pelindung diri.

Langkah teknis di lapangan ini dipelajarai di Kampus Stovia.

 

Gubernur Jenderal D. Fock (kiri) di pusat pengendalian hama di Pasar Malam di Klaten. Foto: dokumen Syefri Luwis, penulis buku “Epidemi Penyakit Pes di Malang : 1911-1916”

 

Domini bilang, telah membaca 200-an jurnal arkeologi, hanya empat jurnal yang membahas penyakit atau wabah masa lalu. Dia bilang, tak banyak peneliti konsen di Paleo Epidemologi atau Paleo Antropologi. Sejauh ini, katanya, tak ada penelitian forensik tulang atau sisa hayat masa lalu.

Paleo Antropologi biasa ahli anatomi yang meneliti berdasar sisa hayat. Infrastuktur riset tentang penyakit menular juga terbatas. Di Indonesia,  peneliti Paleo Antropologi kurang dari lima orang. Ilmu ini, katanya, belum berkembang.

Padahal, kata Domini, penelitian itu penting guna mempelajari penyakit masa lalu jadi bisa mitigasi wabah. Apalagi wabah ini tak terlihat dan sulit terdeteksi, seperti COVID-19.

Vaksin pes ditemukan 1930, lantas disuntikkan ke pasien. Ternyata vaksinasi juga menyebabkan kematian pasien hingga menimbulkan gelombang protes.

 

Penanganan COVID-19

Yordan Khaedir, dosen Imunologi Program Magister Ilmu Biomedik Universitas Indonesia, menulis di jurnal Maarif Institut Vol. 15, No. 1 — Juni 2020 kalau case fatality rate (CFR) COVID-19 di Indonesia sebesar 8% termasuk tinggi di dunia, bahkan di ASEAN. CFR tinggi salah satu karena tak memiliki fasilitas kesehatan cukup termasuk persediaan obat standar dan peralatan kesehatan standar untuk perawatan pasien COVID-19.

“Dokter, perawat dan tenaga medis lain tak seimbang dengan jumlah kasus. Minim alat pelindung diri untuk merawat pasien COVID-19,” tulis Yordan.

Selain itu, pemerintah secara umum melakukan kekeliruan dalam skala prioritas, yakni terkait melindungi stabilitas ekonomi yang menyebabkan prioritas penanganan COVID-19 terkesan tak totalitas. Cakupan tes diagnosis warga negara Indonesia masih rendah.

Dia merekomendasi, memutus rantai penularan dengan strategi yang mengedepankan precautionary principle. Meliputi disiplin isolasi mandiri, pemberlakuan karantina wilayah dengan aturan ketat, penerapan jarak secara sosial (social distancing) dan jarak fisik (physical distancing). Tujuannya, mengurangi interaksi antara manusia dalam skala besar.

Selanjutnya, perlu respon cepat dalam mendeteksi COVID-19. seperti Taiwan dan Singapura. Tujuannya sebagai strategi mitigasi penularan corona dan terbukti berhasil menekan kasus maupun angka kematian.

 

 

 

 

 

***** Keterangan foto utama: Barak isolasi wabah di Songgoriti Malang. Foto: dokumen dari Syefri Luwis, penulis buku “Epidemi Penyakit Pes di Malang

Exit mobile version