Mongabay.co.id

Catatan Akhir Tahun: Pandemi Corona dan Hidup Damai dengan Alam [Bagian 1]

Ilustrasi. Virus corona

 

 

Muhamad Rizky Prabu [25 tahun], selalu ingat tanggal 15 Juni 2020. Hari itu, dia dinyatakan positif COVID-19, setelah melakukan tugas sebagai jurnalis foto, yaitu memotret prosesi penguburan pasien corona di Gandus, Kota Palembang, Sumatera Selatan.

“Tiga hari setelah pemotretan itu saya ikut tes swab: hasilnya dinyatakan positif COVID-19. Padahal, saya sudah menjalankan protokol kesehatan. Penularan virus banyak cara, pokoknya ada saja celah walau sudah disiplin,” kata Prabu, Rabu [16/12/2020].

Sejak itu Prabu melakukan isolasi mandiri di rumah, hingga 15 Juli 2020.

“Saya biasa aktif di lapangan, tiba-tiba tidak keluar rumah sama sekali, ke warung sebelah rumah pun enggan. Dari TV atau smartphone saya memantau perkembangan dunia luar dengan was-was. Apalagi, mendengar kabar virus semakin meluas, tak terbendung: rasa takut sekaligus marah muncul.”

Virus corona bagi Prabu, seakan menjadi rem yang membuat kita semua harus berjalan lambat. Mewaspadai hal-hal kecil di sekitar agar tetap aman.

“Kita tidak boleh lengah. Program vaksin yang nantinya dilaksanakan pemerintah, sudah semestinya disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia,” ujarnya.

Baca: Virus Corona, Mewabah di Wuhan Menyebar Cepat ke Penjuru Dunia

 

Virus corona yang mewabah dan menimbulkan kecemasan masyarakat dunia. Ilustrasi virus corona: Alissa Eckert & Dan Higgins/Centers for Disease Control and Prevention

 

Asal usul corona

Sejak teridentifikasi Desember 2019, COVID-19 menyebar cepat hingga berujung pandemi di seluruh dunia. Kini, virus corona mematikan ini telah bermutasi, sebagaimana yang terjadi di Inggris.

Wabah bermula pada 17 November 2019, sebagaimana dikutip dari South China Morning Post, ketika seorang pria berusia 55 tahun, penduduk Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Tiongkok, tiba-tiba demam tinggi. Penyebabnya tidak diketahui, tapi demam berlangsung dua minggu disertai gangguan pernapasan.

Pria itu adalah pedagang di pasar hewan liar di Wuhan. Dia diketahui terinfeksi virus corona, sekaligus disebut sebagai “orang pertama” yang menderita COVID-19. Dia tertular dari hewan liar, diduga kelelawar, yang diperdagangkan di pasar tempatnya berjualan.

Sejumlah peneliti kemudian menyimpulkan, virus baru ini timbul akibat zoonosis. Zoonosis adalah penyakit yang disebabkan oleh virus atau bakteri yang ditransmisikan dari hewan ke manusia.

Virus ini masih satu keluarga dengan virus corona yang pernah mewabah, yakni SARS pada 2003 dan MERS pada 2012.

WHO secara resmi menamakannya Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus [SARS-CoV-2], penyebab penyakit COVID-19.

Baca: Wabah Corona: Hindari Kontak Langsung dengan Satwa Liar

 

Pasar hewan di Wuhan, China, pada 5 Januari 2020. China telah mengeluarkan aturan larangan terhadap perdagangan satwa liar. Foto: Simon Song/South China Morning Post

 

Di Indonesia, kita ingat pada 2 Maret 2020, pengumuman oleh Presiden mengenai kasus pertama dan kedua positif corona. Ketika itu, Jokowi mengimbau masyarakat untuk menjaga kebersihan.

“Meminimalisir interaksi dengan orang lain jika tidak diperlukan, dan meningkatkan kekebalan [imunitas] tubuh, agar tidak terinfeksi,” terang Presiden.

Bagaimana perkembangannya saat ini? Berdasarkan data Kementerian Kesehatan per tanggal 28 Desember 2020 pukul 12.00 WIB, tercatat ada 718.219 kasus. Sebanyak 589.978 orang sembuh dan 21.452 jiwa meninggal.

Berdasarkan data Worlddometer 29 Desember 2020, Indonesia berada di peringkat 20 terkait jumlah kasus. Lima besar negara yang penduduknya banyak terinfeksi corona adalah Amerika, India, Brazil, Rusia, dan Perancis.

Tercatat, sebanyak 81.672.074 masyarakat dunia positif corona. Korban meninggal sekitar 1.781.505 dan dinyatakan sembuh sebanyak 57.798.263 orang.

Baca: Zoonosis, Virus Corona, dan Perburuan Satwa Liar di Sekitar Kita

 

Satwa liar yang diperdagangkan di pasar Asia. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Berharap vaksin

Vaksin menjadi harapan untuk mengakhiri pandemi. Mengutip Liputan6.com, Presiden Joko Widodo berjanji akan melaksanakan vaksinasi, awal tahun 2021.

“Paling penting pemerintah akan memberikan vaksin gratis kepada masyarakat. Dengan begitu, pemulihan ekonomi lebih cepat, konsumsi kembali normal dan naik, serta investasi meningkat,” kata Jokowi.

Vaksin yang akan diberikan awal tahun baru itu bermerek Sinovac, sebanyak 1,2 juta dosis, tiba di Indonesia pada 6 Desember 2020. Vaksin selanjutnya, akan menyusul sebanyak 1,8 juta dosis, awal Januari 2021.

Selain itu, akan tiba 45 juta dosis bahan baku curah untuk pembuatan vaksin COVID-19, dalam dua gelombang. Gelombang pertama sebanyak 15 juta dosis dan gelombang kedua 30 juta dosis.

Dalam rilis Kementerian Kesehatan, dijelaskan bahwa pemerintah menargetkan cakupan vaksinasi COVID-19 sebanyak 67% atau 107 juta penduduk dari 160 juta dengan rentang usia 18-59 tahun. Diperkirakan, kebutuhan vaksin adalah 246 juta dosis.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, usai dilantik Presiden pada Rabu pagi [23/12/2020] mengatakan, tugasnya adalah melaksanakan program vaksinasi COVID-19, guna memutus rantai penularan virus.

”Target jangka pendek, segera melakukan vaksinasi.”

Budi menekankan, rencana tersebut harus dilakukan dengan mengedepankan prinsip kehati-hatiaan serta persiapan matang. Hal penting yang harus diperhatikan adalah ketersediaan vaksin, kesiapan sarana prasarana, petugas, strategi distribusi, serta proses vaksinasi.

Baca juga: Refleksi Pandemi Corona: Virus Menyerang Akibat Manusia Merusak Lingkungan

 

Kelelawar sengaja ditangkap untuk dijual dan dikonsumsi. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19, Prof. Wiku Adisasmito sebelumnya telah mengingatkan masyarakat luas agar disiplin menerapkan 3 M [menggunakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak]. Pastikan juga, istirahat yang cukup, mekan makanan bergizi, dan rutin olahraga.

“Ingat, kunci keberhasilan kita menjalankan protokol kesehatan. Pandemi ini, akan lebih mudah ditangani apabila masyarakat dan pemerintah sepakat, bahu membahu menjalankan perannya masing-masing,” papar Wiku, Selasa [3/11/2020].

 

Jahe merah yang mempunyai khasiat luar biasa untuk kesehatan tubuh kita sekaligus potensial penangkal virus corona. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

Berdamai dengan alam

Terkait virus mematikan di dunia, menurut The National Center for Biotechnology Information, Amerika Serikat, sekitar 60 persen penyakit menular disebabkan zoonosis. Hampir 16 persen dari semua kematian di seluruh dunia dapat dikaitkan dengan penyakit menular tersebut.

Zoonosis dapat ditularkan dalam berbagai cara, mulai dari gigitan binatang dan serangga, mengkonsumsi daging yang kurang matang, atau susu yang tidak dipasteurisasi, hingga air yang terkontaminasi.

Dari sana, jenis-jenis patogen dapat ditularkan oleh hewan ke manusia, termasuk bakteri, parasit, jamur, dan virus.

Beberapa penyakit zoonosis relatif tidak berbahaya. Namun, ada juga yang mematikan sebagaimana COVID-19, yang menyebabkan kepanikan masyarakat global.

 

Laut, karang, dan hutan yang indah di Pulau Maratua, Kalimantan Timur. Alam yang lestari akan membuat mental dan kehidupan manusia lebih sehat. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Peneliti Mikrobiologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI], Sugiyono Saputra menegaskan, penyakit menular yang pernah melanda dunia disebabkan oleh patogen atau mikroorganisme pembawa penyakit. Sumber atau penyebarannya melalui hewan.

Hewan yang potensial menjadi mikroorganisme pembawa penyakit adalah kelelawar, tikus, monyet, serta satwa lainnya.

“Interaksi antara manusia dengan satwa liar merupakan salah satu cara penyebaran virus, termasuk corona ini,” terangnya kepada Mongabay Indonesia, Kamis [24/12/2020].

Selain itu, proses transmisi lainnya bisa terjadi saat melakukan perburuan dan pengolahan hewan liar.

Sugiyono menegaskan, wabah virus corona merupakan peringatan bagi kita untuk menjaga interaksi dengan satwa liar. Paling penting adalah berdamai dengan alam, dengan menjaga kelestariannya.

“Salah satu dampak yang mungkin timbul dari kerusakan alam, ditambah perburuan hingga mengkonsumsi satwa liar, adalah timbulnya penyakit-penyakit baru,” tutur dia.

“Masyarakat luas harus tahu, penyakit ini muncul di dunia karena kita tidak menjaga keseimbangan ekosistem.”

Jika alam dirusak, hewan-hewan liar diburu dan dikosumsi, atau diperjualbelikan dalam kondisi hidup atau mati di pasar-pasar basah, maka virus-virus yang mungkin ada di dalam tubuh hewan itu akan muncul.

“Virus bisa keluar melalui kotoran atau ketika hewan tersebut dibunuh,” tegasnya.

 

 

Exit mobile version