- Pulau Madura, kaya fosfat, investor pun mulai melirik. Bahkan, Pemerintah Sumenep bakal mengubah rencana tata ruang wilayah (RTRW) demi bisa memperluas tambang fosfat di wilayah itu.
- Data Badan Geologi Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Timur, di Madura ada sumber fosfat di tiga kabupaten, yakni Sumenep sekitar 827.500 m3, Pamekasan sekitar 23.400 m3, dan Sampang sekitar 5.000.000 m.3
- Fosfat ada di kawasan kast. Eksploitasi kawasan karst bisa mengancam lingkungan hidup, termasuk sumber air. F. Trijambore Christanto, Direktur Ekskutif Walhi Jawa Timur, mengatakan, hampir 20% cadangan air tawar ada di kawasan karst. Kawasan karst, meskipun tampak gersang tetapi ekosistem penting, termasuk tempat menyimpan air.
- A Dardiri Zubairi, pegiat agraria dari Barisan Ajege Tana Na’ Poto (Batan), mengatakan, perluasan titik tambang fosfat ini merupakan ancaman perampasan lahan di wilayah pesisir.
Madura kaya sumber fosfat. Bahkan, Pemerintah Sumenep bakal mengubah rencana tata ruang wilayah (RTRW) demi bisa memperluas tambang fosfat di wilayah itu.
Dalam Peraturan Daerah Sumenep Nomor 12/2013 tentang RTRW Sumenep 2013–2033, ada delapan titik potensi tambang fosfat yaitu di Kecamatan Batuputih, Ganding, Manding, Lenteng, Guluk-guluk, Gapura, Bluto, dan Arjasa. Delapan titik ini akan bertambah dengan perubahan Perda RTRW Sumenep.
“Insya Allah, 18 kecamatan nanti yang berpotensi untuk penambangan fosfat. Memang segala yang kita punyai coba untuk potret,” kata Yayak Nur Wahyudi, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sumenep, seperti dalam saluran YouTube.
Berdasarkan Badan Geologi Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Timur, Sumenep satu dari tiga kabupaten di Madura yang mempunyai sumber fosfat: Sumenep sekitar 827.500 m3, Pamekasan sekitar 23.400 m3, dan Sampang sekitar 5.000.000 m3 .
Nur bilang, potensi fosfat ini nanti bisa dikembangkan secara tradisional maupun modern. Selama ini, katanya, sudah ada beberapa pengusaha yang diskusi terkait potensi fosfat di Sumenep.
Bappeda Sumenep lewat Perda RTRW, kata Nur, bertugas menyajikan semua potensi di Sumenep. Kemudian, mengurus tata ruang keseluruhan, per kecamatan hingga pergerakan usaha terarah. Implementasinya, di perizinan, pengurusan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) agar lingkungan tetap terjaga.
Sejauh ini, katanya, di Sumenep belum ada tambang fosfat skala besar. Ada penambangan tradisional di Kecamatan Saronggi tetapi tertutup. Akitivas tambang tertutup ini, menurut Nur, yang justru membahayakan. Dia ingin penambangan di Saronggi terbuka hingga memudahkan pemerintah buat pengawasan.
Fosfat ada di kawasan kast. Eksploitasi kawasan karst bisa mengancam lingkungan hidup, termasuk sumber air. F. Trijambore Christanto, Direktur Ekskutif Walhi Jawa Timur, mengatakan, hampir 20% cadangan air tawar ada di kawasan karst. Kawasan karst, meskipun tampak gersang tetapi ekosistem penting, termasuk tempat menyimpan air.
Kawasan lindung karst di Sumenep, berdasarkan Perda RTRW Sumenep, terdapat tiga zona. Pertama, zona karst kelas 1 meliputi bukit di Kecamatan Batuputih, deretan perbukitan di Kecamatan Ganding, dan Kecamatan Guluk-guluk.
Kedua, zona karst kelas 2 meliputi, Desa Pragaan Laok di Kecamatan Pragaan, Pulau Poteran terletak di bagian barat Kecamatan Talango, dan pantai utara di Kecamatan Batuputih.
Ketiga, zona karst kelas 3 meliputi, Kecamatan Pragaan, Kecamatan Bluto, Kecamatan Guluk-guluk, Kecamatan Lenteng, Kecamatan Ambunten dan Kecamatan Dasuk.
Mengingat begitu penting ekosistem karst, katanya, eksploitasi tambang kawasan ini harus dihindari. Kalau tambang masuk, apalagi skala besar maka ekosistem rawan rusak. Karst, katanya, terbentuk selama ribuan tahun kalau sudah rusak sulit kembali.
Warga terancam
A Dardiri Zubairi, pegiat agraria dari Barisan Ajege Tana Na’ Poto (Batan), mengatakan, perluasan titik tambang fosfat ini merupakan ancaman perampasan lahan di wilayah pesisir.
Menurut dia, perampasan lahan oleh investor menggunakan strategi makan bubur, makan dari pinggir. Penguasaan tanah, katanya, mulai dari wilayah pesisir lalu merangsek ke tengah.
“Nah, pinggir sekarang sudah dikuasai, sudah dialihfungsikan dalam banyak pembuatan tambak. Sekarang, sudah merangsek ke tengah dalam bentuk pertambangan fosfat,” katanya, baru-baru ini.
Di Madura, katanya, saat kemarau beberapa wilayah alami kekeringan. Kalau tambang fosfat masuk, katanya, bakal jadi lebih parah karena bebatuan karst–ibarat tandon air–rusak.
Setiap tahun, di beberapa daerah di Sumenep selalu mengalami kekeringan. Bagi Dardiri, dalam jangka panjang, Madura akan benar-benar krisis air kalau ada pertambangan.
”Rencana tata ruang yang berubah itu kan tidak tiba-tiba. Ada proses komunikasi, ada proses negosiasi antara pengusaha dan pengambil kebijakan. Kemudian, kepentingan-kepentingan pengusaha atau investor itu diakomodasi dalam peraturan daerah.”
Selain itu, berkaca pada tempat-tempat penambangan fosfat, seperti di Nauru, kesuburan tanah sebagai sumber hidup para petani di Sumenep akan hilang, petani tidak bisa menanam apa-apa lagi.
Penambahan titik penambangan fosfat yang terakomodir lewat Perda RTRW, menurut Wakil Ketua PCNU Sumenep itu, sejatinya tak hanya akan merusak alam, juga tatanan sosial, terutama masyarakat pedesaan.
Dia contohkan, jika ada tokoh atau kepala desa tak setuju tambang masuk, bisa saja akan dikriminalisasi, seperti Kades Longos, Kecamatan Gapura, harus berhadapan dengan pengusaha di meja hijau karena membela rakyat dan kepentingan desa. Sebelum ada investasi masuk pedesaan, kasus-kasus seperti itu tak ada.
Begitu juga ketika ada tokoh atau kades mendukung investor, maka akan memasok berbagai kebutuhan si pemodal. Bahkan, katanya, bisa jadi keperluan pemilihan kades periode selanjutnya.
Demikian juga kalau petani berusaha mempertahankan lahan, kata Dardiri, mereka akan berhadapan dengan kekuatan pemodal. Baginya, tambang hanya menguntungkan para investor dan elit, bukan rakyat.
Petani, katanya, tak akan memiliki apa-apa lagi kecuali tenaga. Tenaga ini bisa saja nanti diperas sebagai buruh tambang.
“Justru, akan merugikan, akan tercipta kantong-kantong kemiskinan baru, karena itu terkait langsung dengan basis mata pencaharian penduduk pedesaan. Tanah sebagai alat produksi.”
Pengasuh Pondok Pesantren Nasy’atul Muta’allimin, Gapura ini bilang Perda RTRW ini menyangkut hajat hidup masyarakat, seharusnya dokumen terbuka buat publik agar mereka bisa memberikan masukan.
“Saya pikir, persoalan ini harus kembali kepada rakyat. Kalau rakyat tidak merapikan barisan, konsolidasi untuk kepentingan mempertahankan tanah, menurut saya, ya ludes, perampasan terjadi di mana-mana.”
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumenep, kata Dardiri, harus berpihak kepada rakyat, bukan hanya pada elit politik atau korporat. Kalau berpihak kepada rakyat, katanya, harus buka draf RTRW ke publik, terutama kepada orang-orang yang menaruh perhatian kepada persoalan agraria.
Ubah cara pandang
Eko Cahyono, peneliti Sajogjo Institut mengatakan, mengubah RTRW daerah demi memperluas peluang tambang itu sesat pikir dan sesat tindakan.
Dia bilang, yang terjadi di Sumenep juga terjadi di berbagai daerah lain seperti Banyuwangi, Jember, dan Rembang (Kendeng) dan lain-lain.
“Kalau ketemu sumber daya alam, seperti tambang atau lain-lain, bawaannya bagaimana mau eksploitasi, gimana diekstraksi,” kata dosen Institut Pertanian Bogor ini.
Pertambangan makin lebih mengkhawatirkan kalau dilakukan di daerah kepulauan. Secara geologis, Sumenep terdiri dari puluhan pulau. Pulau-pulau kecil ini, kata Eko, memiliki kerentanan ekosistem paling tinggi. Aspek-aspek pemulihan di pulau-pulau kecil lambat karena tidak mendapat dukungan dari ekosistem sekitar.
Dia mencontohkan, Pulau Gee di Halmahera, Maluku Utara, setelah ada tambang nikel jadi rusah parah, penuh lubang tambang, bahkan potensi tenggelam.
Di Sumenep, Kecamatan Arjasa, pulau masuk dalam daftar tambang fosfat di Perda RTRW.
Ketika melihat Sumenep sebagai bagian dari kepulauan, katanya, pertimbangan utama dalam membangun daerah itu dengan melihat daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Secara aspek sosial-budaya, katanya, tambang masuk akan mengubah kehidupan masyarakat sekitar.
Kehadiran tambang, katanya, akan mengubah mata pencaharian masyarakat, yang biasa bertani atau melaut, jadi buruh tambang.
Selama ini, Eko, tak pernah menemukan industri keruk yang baik hingga sulit dipercaya pertambangan mempunyai dimensi mempertimbangkan banyak hal. Sebaliknya, justru konflik terjadi di wilayah pertambangan.
Hal itu, kata Eko, karena terjadi politik repsentatif. Konflik makin eskalatif kala ada keterlibatan aparat keamanan (TNI, Polri), atau para orang bayaran.
Lawan stigma
Pemerintah atau pengusaha biasa membangun stigma kalau tanah gersang dan masyarakat miskin di wilayah itu. Stigma seperti ini, katanya, harus dilawan.
“Gersang menurut siapa? Untuk kesejahteraan? Sejahtera menurut siapa?”
Belum lagi ada aspek kebahagiaan yang tak pernah masuk sebagai pertimbangan. Ketika warga jadi petani, mereka biasa bekerja di ladang setengah hari, selebihnya bisa melakukan berbagai hal, baik kegiatan sosial maupun dengan keluarga.
Dardiri mengamini. Kalau jadi buruh tambang akan bekerja bak robot, dari pagi sampai sore. Bila bertani, ada banyak hal bisa dilakukan, yang tak bisa terjadi saat jadi buruh tambang.
Menurut Dardiri, kalau pemerintah benar-benar ingin meningkatkan kesejateraan masyarakat, bukan lantas membangun tambang. “Datang ke wilayah itu, gali apa yang bisa dilakukan, semisal tumbuhan apa yang bagus ditanam, lalu difasilitasi.”
Pemerintah, katanya, tak bisa langsung mengambil kesimpulan karena ada potensi fosfat, lalu bangun tambang. Dia bilang, ada banyak aspek perlu jadi pertimbangan. Kalaupun, mau bangun pertambangan, masyarakat harus tahu atau mendapat informasi penuh dari awal termasuk berbagai dampak yang kemungkinan terjadi.
***** Keterangan foto utama: Bukit kars membentang dari Kabupaten Pamekasan sampai Sumenep. Foto: Moh. Tamimi/Mongabay Indonesia