Mongabay.co.id

Kala Pantai di Banten Hilang Berganti Pembangkit Listrik Batubara

Ma'mun bin Seliman, warga Desa Pengoreng duduk di tepian lahan hasil reklamasi di kawasan yang sebelumnya merupakan Pantai Pulorida, di Kota Cilegon, Banten, Selasa (1/12/2020). [Eka Nickmatulhuda 2020]

 

 

 

 

Ma’mun, warga Kampung Pengoreng, Banten, mengenang masa kecil. Bersama keluarga, dia rela menapaki jalanan berbukit dari Kampung Pengoreng, usai Subuh menuju Pantai Pulorida. Jarak kampung ke pantai sekitar delapan kilometer, sekitar dua jam berjalan kaki. Biasa pada Sabtu dan Minggu atau usai Lebaran, sekitar 70-an.

“Kesenangan warga hanya di laut,” katanya.

Kala itu, keluarga besarnya merencanakan matang rekreasi mereka di Pantai Pulorida. Ibunya, menyiapkan masakan untuk bekal sehari sebelum berangkat.

“Mandi-mandi, masak dari rumah, gelar tikar, ketawa-ketawa, hati senang…”

Ma’mun pernah jadi Kepala Desa Mangunreja, Kabupaten Serang pada 1998. Masa itu, Cilegon masih bagian Serang. Serang pemekaran dan Cilegon jadi kotamadya. Sejak 1999, Desa Suralaya resmi jadi pembatas administratif kota industri ini dengan Serang.

Baca juga: Jawa Terus Bangun PLTU, Tersandera Pembangkit Batubara?

Ketika saya mengetik pada kolom pencarian Google, “Wisata Cilegon Banten, yang muncul di 10 tautan teratas hasil pencarian adalah “12 Destinasi Obyek Wisata di Cilegon Terbaik & Terbaru.” Begitu judul artikel dari Traveloka, tertanggal 12 Februari 2020. Traveloka, satu aplikasi travel terpopuler di Indonesia.

Kelapa Tujuh dan Pulorida, dua pantai yang disebut dalam artikel itu. “Setiap kali berlibur ke Pantai Kelapa Tujuh biasa para keluarga menyiapkan berbagai perlengkapan piknik dan rekreasi seperti membawa bekal dan baju ganti”. Begitu tertulis dalam keterangan yang menyertai foto.

Pantai Pulorida, berjarak 4 km dari Pelabuhan Merak tertera sebagai alternatif pilihan wisata di Cilegon yang tak kalah menarik. Deskripsinya, “terkenal akan ombak yang tenang hingga cocok untuk kamu kunjungi bersama anak-anak.”

Pantai -pantai ini masuk dalam kawasan pembangkit listrik bersumber batubara, PLTU Suralaya.

Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Cilegon 2010-2030, Pantai Pulorida sebagai kawasan wisata.

Pada sub-bab Rencana Pola Ruang Kawasan Budidaya menyebutkan, “Kawasan wisata yang terdapat di wilayah Cilegon adalah wisata bahari, wisata bangunan bersejarah, wisata industri dan wana wisata. Kawasan wisata bahari antara lain Pantai Pulorida, termasuk pulau-pulau di sekitar.”

 

PLTU Suralaya unit pembangkit 5-7 di belakang tembok yang membatasi penglihatan pengguna jalan ke arah laut, di Suralaya, Banten, Minggu (13/09/20). Foto: Eka Nickmatulhuda

 

Pamor Pantai Pulorida yang kerap disangka aksen lokal untuk Florida, sudah santer sejak 50an.

Majalah mingguan Star Weekly yang pernah digawangi P. K. Oyong sebagai kepala editor bahkan mengulas khusus dalam edisi no. 388, terbit 6 Juni 1953. Judul laporan khusus dengan ejaan lama, “Banten Menarik Pelantjongan.”

Saking ingin mengekspresikan keindahan pantai ini, kalimat pengandaian pun dibubuhkan, “Seorang ahli sadjak mungkin menampak banjak poëzi disepandjang djalan mulai dari Merak sehingga Florida Bay, jakni beberapa KM djauhnja.”

“Disebelah kiri, njiur me-lambai2, ombak men-dampar2 pantai, sedang samudera luas nampak ber-kilau2 dalam warna ke-biru2an dikedjauhan.”

Itu cerita Pulorida, dulu. Kini, sisi kiri yang sekarang bernama Jalan Nasional 19 ini hanya ada pagar-pagar bergembok.

Satu pagar yang menghalangi pandangan ke laut ini, terpasang tepat berseberangan dengan satu gang kecil bergapura dengan papan nama Temposo, nama asli Pulorida di peta navigasi. Masyarakat lokal lebih mengenal sebutan Pulorida.

Sanikam, mantan Ketua RT 001/RW 001, Kelurahan Lebak Gede 90an sampai 2000 bercerita, kalau Temposo merupakan nama resmi Pulau Rida.

“Terkenalnya sih Pulorida, karena orang di sini senang rekreasi di pulau itu, jadi pulau itu dinamakan Rida,” katanya. Rida dalam bahasa lokal berarti suka atau senang hati.

Sanikam pernah menggantungkan hidup sebagai nelayan di pantai-pantai yang kini hilang. Pulorida, lokasi dekat dengan rumahnya di Lebak Gede. “Sejak bisa usaha sudah usaha perahu.

Dia bilang, banyak orang di sini hidup dari pantai. “Dulu mah, nggak ada pantai mah nggak kebeli beras!”

Sanikam cerita yang terjadi pada Pantai Pulorida. “Tahun 93 pembuangan (PLTU) Suralaya unit 3,4,5 (digunakan) untuk uruk Pulorida.”

Dia ingat jelas, karena vendor PLTU yang mengurus reklamasi itu meminta izin pada Sanikam, kala itu Ketua RT.

“Pertama 50 meter, tambah lagi 50 meter, sampai semua 150 meter dari bibir pantai,” katanya tentang proses reklamasi yang berlangsung selama setahun itu.

Untuk panjang reklamasi sendiri, dia memperkirakan sampai setengah kilometer. Sanikam tak menyangka, pembuangan material pembangunan itu mengorbankan Pantai Pulorida, yang jadi sumber pencahariannya.

Indonesia Power menyanggah Sanikam dengan pernyataan tertulis. “Tidak ada data/informasi formal legal yang kami miliki terkait penggunaan disposal proyek PLTU Suralaya 1-7 sebagai reklamasi Pantai Pulorida.”

Serupa juga nasib  Pantai Kelapa Tujuh. Pantai ini masuk kawasan proyek perluasan PLTU Suralaya unit 9&10.

Igan Subawa Putra, Sekretaris Indonesia Power mengatakan, Pantai Kelapa Tujuh bagian dari lahan obyek vital PLTU Suralaya untuk perumahan pegawai.

 

Seorang nelayan dengan kaos bertuliskan HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia) Kota Cilegon 2019 di Pangkalan Nelayan Suralaya, Cilegon, Banten, Sabtu (28/11/20).  Foto: Eka Nickmatulhuda

 

Keluhan nelayan

PLTU Suralaya, terletak sekitar tiga kilometer ke arah timur laut. Sebelum sampai di obyek vital nasional itu, tepat di samping Direktorat Kepolisian Perairan (Ditpolair) Polda Banten, ada gerbang jalan masuk bertuliskan “Pangkalan Nelayan Suralaya: Dimiliki dan Dibina oleh PT Indonesia Power.”

Lebih 50 jukung kosong berjejer rapi di dermaga baru yang menyempil antara area milik Ditpolair dan Indonesia Power. Jalan setapak yang bersebelahan dengan tembok tinggi di sisi yang akan menjadi lokasi pembangunan pembangkit unit 9&10, berujung ke jetty yang menghadap laut.

Ombak sesekali pecah oleh tumpukan batuan besar. Kapal tongkang yang memuat batubara nampak di kejauhan.

Jasbiri, nelayan Kampung Suralaya mengeluhkan hasil tangkapan berkurang. Saat itu, faktor cuaca cukup dominan. Hampir tak ada nelayan bernyali melaut pada November karena khawatir keganasan angin barat.

Kondisi jadi lebih berat bagi Jasbiri karena tangkap ikan sulit di laut sekitar pantai.

“Sudah jarang ikan di sekitar satu kilometer ke arah laut. Kalau kita nggak berani ke tengah, nggak dapat tangkapan yang lumayan,” katanya. Tengah laut yang dia maksud jarak 14-24 kilometer dari tempat dia menyandarkan perahu.

Jasbiri sudah sekitar 10 tahunan jadi nelayan. Dulu, dia biasa menyandarkan kapal di Pantai Kelapa Tujuh.

“Dulu kan luas, karena digusur dan dibikin proyek 9-10 ini, kita dikasih tempat di sini sama Indonesia Power,” katanya.

Dia menunjuk ke lokasi pembangunan di balik tembok tinggi. “Sebelah situ kan dulu pantai, kalau diurug kan nggak mungkin kita di situ,” katanya.

Tinggi menjulang dari balik tembok yang hanya berlapis semen seadanya, cerobong-cerobong PLTU 1-7 dan unit 8 PLTU Suralaya terlihat di kejauhan.

Kelapa Tujuh adalah pantai rekreasi terakhir yang pernah ada di Kota Cilegon. “Kecil pantainya, kalah dengan Selira,” kenang Ma’mun. Selira yang dia maksud adalah Pantai Salira Indah, juga ditutup buat PLTU.

 

Ubah RTRW

Pantai Pulorida tutup duluan, disusul Pantai Salira, terakhir Pantai Kelapa Tujuh.

“Kota Cilegon habis semua pantainya,” kata Ketua Pansus Perda RTRW DPRD Cilegon, Erick Rebi’in dalam pesan WhatsApp.

Meski Erick menyayangkan kehilangan pantai dari bumi Cilegon, panitia khusus yang dia pimpin tetap menyetujui Perda revisi RTRW Kota Cilegon tahun 2020-2040 pada 24 Februari 2020.

Saat konferensi pers, dia hanya meminta masyarakat coba memahami soal perda itu secara komprehensif.

Anggota DPRD Cilegon Kota asli Suralaya itu tak menjawab ketika ditanya lokasi 117 hektar pantai dalam RTRW Kota Cilegon 2020-2040. Dia hanya mengirim dua emoticon tepuk jidat.

Sepanjang Jalan Nasional 19 ke arah Pulo Merak dihiasi tembok putih panjang. Beberapa bagian pagar besi bergembok penuh dengan tanaman liar. Meski terhalang, sekilas ada pemandangan laut, namun tidak ada akses ke pantai untuk masyarakat umum. Untuk nelayan pun terbatas.

 

Mantan Lurah Suralaya, sekaligus Ketua Kadin Kota CIlegon, Sahruji, di Eco Park Suralaya, Cilegon, Banten, Sabtu (28/11/20). Foto: Eka Nickmatulhuda

 

Sejumlah pekerja tampak membangun pagar setinggi dua meter untuk membatasi pandangan pengguna jalan raya ke arah konstruksi di dalamnya. Ia menambah deretan tembok bercat biru telur asin yang sebelumnya sudah ada sepanjang lebih satu kilometer. Itulah lokasi pembangunan PLTU Suralaya unit 9-10.

“Masih tahap awal konstruksi, rencana operasi pada tahun 2024,” kata Subawa.

Sahruji, Kepala Desa Suralaya periode 2000-2004, cerita seputar PLTU. Dia bilang, PLTU Suralaya 1-7 berdiri di lokasi yang dulu bernama Gunung Kahal. Nama gunung yang disebut-sebut keramat itu diambil dari tokoh legenda lokal yang dianggap nenek moyang warga Desa Suralaya, Kecamatan Pulo Merak, Kota Cilegon.

Gunung ini dibobol, diratakan agar PLTU Suralaya dan Jalan Nasional 19 bisa dibangun.  “Saya tahu bahwa pantai diuruk karena ada buangan tanah dari pembangunan Suralaya juga, bongkar gunung, batunya banyak, dibuang di situ jadi reklamasi pantai.”

Indonesia Power membantah lagi. Subawa berdalih tak ada gunung di Suralaya. “Memang konturnya berbukit-bukit saja.”

Saat ini, Sahruji adalah Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kota Cilegon. Dia beranggapan “PLTU Suralaya membutuhkan pantai”.

Dia menerangkan, alasan PLTU mesti dibangun di tepi pantai hingga harus mengorbankan pantai rekreasi. Pertama, pembangkit listrik tenaga uap, perlu air untuk pendingin boiler”. Kedua, faktor transportasi batubara dalam jumlah besar. Bahan bakar PLTU itu hanya bisa diantar oleh kapal tongkang.

Saya menemui Sahruji saat berolahraga di Eco Park.  “Sekarang dibangun Eco Park, sebagai pengganti Kelapa Tujuh,” kata tokoh Suralaya itu bangga.

Indonesia Power UP Suralaya membangun taman lebih satu hektar tepat di seberang lokasi pembangkit mereka. “Jogging track-nya ada semua dan hijau, tumbuh pohon-pohon,” pamernya lagi.

Sahruji tidak berhenti memuji taman yang dilengkapi fasilitas sejumlah lapangan olahraga seperti basket dan voli. “Kalau ditanya cukup atau nggak untuk mengganti pantai, ya namanya manusia nggak pernah cukup.”

Pantai-pantai itu telah hilang, berganti bangunan bercerobong dengan asap abu-abu kadang hitam pekat. Alih-alih nyiur melambai, yang terlihat sejumlah pembangkit dengan belang merah putih pudar di puncak yang menjulang dari balik tembok. Delapan unit pembangkit milik Indonesia Power yang mencakar langit Cilegon ini kini jadi ikon Suralaya.

Kini, Ma’mun maupun warga lain tak bisa lagi menikmati pantai nan indah, dengan pasir dan nyiur melambai.

 

Kawasan pantai yang sudah diberi pembatas dan pagar bergembok dengan tulisan “Dilarang Masuk Yg Tidak Berkepentingan” di kawasan Pulo Merak, Kota Cilegon, Banten, Minggu (29/11/20). Foto: Eka Nickmatulhuda

 

Exit mobile version