Mongabay.co.id

Catatan Akhir 2020 dari Sulsel: Ruang Hidup Rawan Terampas, Warga Rentan Kriminalisasi

Foto: Wahyu Chandra

 

 

 

 

Santuwo, warga Dusun Rammang-rammang, ini berang, karena pemerintah akan mengambil paksa lahan pertanian yang ditanamin padi, dengan harga murah. Tim penilai tanah menaksir hanya sekitar Rp85.000 per meter lahan di Desa Salenrang, Kecamatan Bontoa, Maros, Sulawesi Selatan itu.

Uang ganti kerugian sudah dititipkan di Pengadilan Negeri Maros. Kelak, apakah Santuwo setuju atau tidak, pemerintah dinyatakan berhak pakai dan mengalihfungsikan lahan pertanian bagi kepentingan publik. Lahan itu untuk proyek strategis nasional (PSN), yakni, jalur rel kereta api Makassar – Parepare.

Warga Salenreng, menggunakan jasa pengacara swasta untuk pendampingan hukum. Putusan pengadilan mengabulkan permintaan pemohon pada 3 Februari 2020, warga kalah.

Kisruh lahan ini antara lain model ini, kata Asfinawati, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) Indonesia, banyak terjadi di berbagai pelosok nusantara. “Tidak hanya di Sulawesi. Kepingan itu melengkapi data fakta lapangan,” katanya.

Dia menyampaikan pendapat ketika menjadi penanggap dalam rilis Catatan Akhir Tahun 2020 Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, 29 Desember lalu. “Kita tidak heran, ini perintah terpusat. Buktinya apa, surat telegram (kapolri) pada Oktober 2020tentang pelarangan aksi unjuk rasa dan protes karena alasan COVID-19 – jadi karena itu sebetulnya kepolisian khususnya telah jadi alat pemerintah,” katanya dalam acara daring itu.

Padahal, katanya, konstitusi Pasal 30, ayat 4 UU Dasar 1945, menyatakan, kepolisian adalah alat negara. “Ini ciri-ciri negara kekuasan, ketika aparat penegak hukum jadi alat pemerintah, bukan lagi alat negara.”

Catatan LBH Makassar sepanjang 2020, menemukan kalau kasus kriminalisasi sektor lingkungan hidup masih terjadi. Tiga petani di Kabupaten Soppeng, satu contoh.

Penegak hukum gunakan UU Nomor 18 /2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengerusakan Hutan (UU P3H) menjerat Natu, anak dan ponakannya.

Kasus ini, katanya, jadi penanda upaya kriminalisasi petani tradisional yang tinggal dalam atau sekitar kawasan hutan terus berlangsung. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dengan klaim kawasan hutan mengabaikan keberadaan masyarakat yang bermukim turun temurun. “Kriminalisasi ini oleh Institusi Kehutanan melalui UPT KPH Wallanae bersama Kepolisian Polres Soppeng.”

Kasus petani Soppeng, katanya, adalah masyarakat yang tinggal di kawasan hutan lindung Laposo Nenek Conang. Ada sekitar 3.950 keluarga dan 23.428 jiwa dengan areal garapan turun temurun sekitar 7.803,06 hektar.

“Kalau Natu diputus bersalah (putusan Pengadilan pertengahan Januari 2021) ada sekitar 23.000 jiwa bisa saja mengalami kriminalisasi,” kata Ady Anugrah Pratama, pengacara LBH Makassar.

 

La Natu, 75 tahun, yang terjerat hukum perusak hutan saat tebang pohon di kebun yang dia tanam sendiri. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Dia bilang, sengketa lahan di perkotaan pun sama saja dan masih terus berlangsung. Salah satunya, kasus Bara-Barayya melawan mafia tanah yang diduga bekerja sama dengan TNI.

Pintu masuk kriminalisasi bagi petani dan masyarakat beragam. Di kasus lingkungan hidup, sengketa tanah antar keluarga bahkan perampasan lahan karena bukti kepemilikan atas tanah minim dan akses terhadap pengurusan peningkatan hak kepemilikan.

Kasus lain, yang menyedot perhatian publik adalah tambang pasir laut untuk menimbun PSN Makassar New Port (MNF) dengan warga Pulau Kodingareng. Penolakan warga terhadap pengerukan pasir karena mengganggu ruang hidup dan pencaharian nelayan.

Ketika warga pulau aksi penolakan, LBH mencatat, sekitar 32 nelayan mengalami kriminalisasi.

Edy Kurniawan, Wakil Direktur LBH Makassar, mengatakan, fakta lapangan 2020 dengan beragam kasus hukum didampingi LBH Makassar, menunjukkan, peningkatan korban. Secara keseluruhan lembaga ini mendampingi 174 kasus.

Rinciannya, 114 kasus berdimensi struktural atau terdapat relasi kuasa timpang antara korban dan pelaku. Korban pun tidak main-main, ada 361 orang alami kekerasan aparat hukum, naik tujuh kali lipat dari 2019 hanya 46 korban.

Bahkan, lima orang diduga mengalami penyiksaan. Sebagian besar peristiwa kekerasan itu terjadi saat aksi demonstrasi menolak pengesahan UU Cipta Kerja.

 

Mencari keadilan

Ketika seluruh dunia kelabakan menghadapi wabah COVID-19, elemen sosial dan ekonomi ikut terguncang. Salah satu yang abai dalam perbincangan adalah para pencari keadilan.

“Pandemi COVID-19 membuat proses advokasi berjalan tidak maksimal. Pembatasan sosial dan fisik membuat proses advokasi runyam,” kata Ady.

Korban kriminalisasi atau orang yang bersengketa hukum, tak dapat bertemu langsung dengan pendamping. Jadi, katanya, pandemi tak membawa perubahaan pada praktik-praktik pelanggaran HAM bahkan makin membuat buruk.

Kriminalisasi, katanya, termasuk penyiksaan bahkan pembunuhan terjadi di luar. Padahal, menghalangi pengacara bertemu klien adalah sebuah pelanggaran HAM serius. Sidang kemudian, secara online, sebenarnya membuat hambatan dalam proses komunikasi.

YLBHI menyatakan, pada 2019 terdapat 57 kasus kriminalisasi di lima provinsi dan penggusuran masyarakat adat maupun petani. Asfinawati bilang, akhir April 2020, Presiden Joko Widodo, menyatakan Indonesia terjadi defisit pangan.

Ada kekurangan untuk setok beras di tujuh provinsi dan setok jagung di 11 provinsi. Stok cabai merah di 23 provinsi, cabai rawit di 19 provinsi. Juga stok telur ayam pada 22 provinsi, gula pasir di 30 provinsi, dan bawang putih diperkirakan defisit di 33 provinsi.

“Jadi data-data ini, serius, karena, yang seperti saya sebutkan tadi adalah bahan pokok,” kata Asfinawati.

“Di sisi lain, negara (juga) terus menggusur termasuk petani yang sebetulnya punya andil besar dalam penyediaan pangan.”

Sektor lain, perlindungan bagi buruh juga makin parah. “Kementerian Tenaga Kerja, nyaris tidak berbuat apa-apa selain mengeluarkan surat edaran yang malah meligitimasi, berbagai pelanggaran hak buruh itu. Karena semua diserahkan pada tripartit,”

Jadi, katanya, tidak ada kekuatan sama sekali, terutama bagi buruh, untuk menolak skema-skema (yang merugikan), apalagi dalam masa pandemik, (terjadi) perumahaan (PHK) tanpa upah.”

 

Suasana di kawasan wisata Rammang-rammang di Maros, Sulsel pada Senin (7/8/17). Rammang rammang merupakan kawasan wisata unggulan Pemkab Maros yang makin sering dikunjungi wisatawan. Foto : M Ambari/Mongabay Indonesia

 

Perkiraan 2021

Awal Oktober tahun ini, UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, disahkan. Ini seperti palu besar yang menghantam jantung. Gelombang penolakan sejak awal seperti tak berpengaruh. Puluhan, bahkan ratusan orang ditangkap dan mendapatkan kekerasan.

“Undang-undang itu seperti lonceng peringatan besar. Ujung tombaknya adalah kemudahan investasi,” kata Edy Kurniawan.

Asfinawati juga mengatakan, tidak perlu jadi peramal atau cenayang hebat untuk mengetahui yang akan terjadi kira-kira tahun depan. “Kita cukup melihat pasal-pasal ribuan itu di dalam UU 11 tahun 2020.”

Dia bilang, mengenai PSN, akan mengurangi bahkan menghilangkan lahan budidaya pertanian.

“Kenapa begitu, di dalam klaster pertanian Pasal 19 dikatakan, kalau untuk kepentingan umum dan garis miring (/) atau lahan budidaya pertanian dapat dialih fungsikan.”

Meski demikian, untuk mengalhfungsikan lahan perlu syarat dan ketentuan perundang-undangan. Ada empat syarat mutlak dalam pasal itu.

Pertama, menggunakan kajian strategis dan syarat terakhir menyediakan lahan pengganti terhadap lahan budidaya pertanian yang akan digunakan. Syarat ketiga, jika sudah dilakukan pembebasan kepemilikan haknya, dan pemilik.

“Jadi kalau PSN mau mengambil lahan budidaya pertanian, dan sudah membebaskan kepemilikan lahan itu, maka wajib lagi menyediakan lahan pengganti lahan pertanian. Karena UU mengatakan; dan / atau,” kata Asfinawati.

Yang paling berisiko, kata Asfinawati, kalau PSN sudah mendapatkan tempat rawan bencana, maka bisa mencari lahan pengganti baru tanpa harus melakukan kajian kelayakan strategis dan syarat alih fungsi lahan.

“Artinya, akan terjadi bencana baru di lahan pengganti infrastruktur itu. Artinya keselamatan warga tidak terlalu penting. Yang terpenting adalah infrastruktur berjalan.”

PSN juga jadi ancaman serius terhadap tutupan kawasan hutan. Kalau sebelumnya, ada aturan yang menjelaskan untuk menjaga kawasan hutan minimal 30%, di Omnibus Law ini menjadi hilang. Tapi kemudian diatur dalam Peraturan Pemerintah. “Jadi bisa menjadi 20 persen, 10 persen, 5 persen, bahkan dibuat 1 persen pun tidak akan salah. Karena tidak ada dalam UU.”

Sementara penggantian lahan untuk alih fungsi, menitikberatkan pada ganti kerugian, bukan ganti keuntungan. Kenapa, karena pengadaan tanah untuk PSN mempertimbangkan prinsip kemampuan negara dan kesinambungan beban fiskal. Bukan pada kemampuan rakyat untuk membeli tanah pengganti lagi.

Aturan lain pun menyebutkan, jika kepentingan umum menggunakan lahan kurang dari 5 hektar, bisa dilakukan langsung tanpa harus persyaratan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). “Jadi hilangnya AMDAL bukan hoax. Tapi memang tidak untuk seluruhnya, melainkan dbawah 5 hektar,” kata Asfinawati.

Bagaimana dengan Sulawesi? Dari data YLBHI, Peraturan Presiden No 109 tahun 2020, tentang perubahaan ketiga atas peraturan presiden Nomor 3 tahun 2016 tentang percepatan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, menyebutkan pada tahun 2021 ada puluhan proyek yang akan dibangun di pulau ini. Diantaranya, Jalan Tol Maminasata (Makassar – Maros – Sungguminasa – Takalar). Kelanjutan pembangunan Makassar New Port (MNP). Pengembangan pelabuhan Teluk Palu Sulawesi Tengah. Kereta Api Makassar-Parepare (tahap pertama jalur lintas). Kawasan Industri Bantaeng di Sulawesi Selatan. Kawasan industri Morowali di Sulawesi Tengah. Kawasan Industri Konawe di Sulawesi Tenggara.

Bendungan Karalloe, Passoloreng, dan Pamukkulu di Sulawesi Selatan. Bendungan Ladonge di Sulawesi Tenggara. Juga pembangunan bendungan dan daerah irigasi Baliase di Sulawesi Selatan. Dan tentu saja proyek-proyek ini bersisihan dengan ruang hidup masyarakat di sekitar.

Dalam catatan akhir tahun YLBHI-LBH Makassar ini, petani di Dusun Rammang-rammang, Maros. Baginya, bertahan dengan sawah miliknya hal wajib. Dia tak bisa membayangkan kalau sawah itu dilibas jalur rel kereta api. “Tahun 2019, kecamatan undang kami (petani) diskusi. Dia menjelaskan kalau ini bukan ganti rugi, tapi sekarang ganti untung, saya semangat,” katanya.

Belakangan, katanya, orang-orang paksa kami menyetujui harga Rp85.000 per meter. “Kalau saya terima, dimana saya bisa makan. Uang itu pelan-pelan ddigunakan sedikit-sedikit untuk beli beras. Tidak sampai setahun sudah habis,”

“Mungkin pemerintah, ajari kita untuk mencuri. Ya kan. Karena dia kasi kita jalan ambil tempat kerja. Ambil tempat hidup.”

 

 

 

********Keterangan foto utama: Kawasan wisata Rammang-rammang, Maros, kini menjadi kawasan wisata alam populer di Sulsel. Berada di tengah pegunungan karst yang sebelumnya bakal dijadikan kawasan tambang marmer. Kini ada upaya melindungi kawasan ini melalui Perda Perlindungan Karst. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

Exit mobile version