Mongabay.co.id

Cerita dari Gane: Saat Seteru Antar Warga dan Hama Merebak Pasca Kebun Sawit Datang

 

Senin 3 Juni 2013, sekitar pukul 17.00 WIT mungkin menjadi hari yang tidak bisa dilupakan oleh sebagian warga Gane Dalam. Hari itu serombongan polisi bersenjata laras panjang menggeruduk desa yang berada di Kecamatan Gane Barat, Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel), Provinsi Maluku Utara ini.

Polisi datang dari jalur laut dan jalur darat dari kota Kecamatan Saketa. Tujuh belas warga Gane pun dibawa ke Kantor Polres di Labuha, Ibukota Halsel, di Pulau Bacan.

Jika dirunut, cerita itu bermula beberapa hari sebelumnya, Sanusi Wahab (43), seorang warga mengabarkan kebunnya telah digusur perusahaan sawit PT Gelora Mandiri Membangun (PT GMM), anak usaha Korindo Grup.

“Pada waktu saya kaget ketika melihat lahan dan kebun saya telah digusur oleh alat berat milik perusahan untuk membuat tempat penampungan kayu,” kata Sanusi.

Empat hari kemudian, sekitar 70 orang warga Gane Dalam melakukan pemalangan kebun dari aktivitas perusahaan. Aksi itu sempat didatangi oleh polisi, namun warga tetap kukuh melanjutkan berjaga di kebun. Dalam aksi itu, Sanusi memegang kertas bertuliskan “Save Gane”.

Lanjutan kisahnya, beberapa waktu kemudian polisi mendatangi Gane, sekitar 50 orang diperiksa polisi secara maraton selama tiga hari. Namun 20 orang, termasuk Sanusi, belum diperiksa. Hingga pada akhirnya, -tak perlu menunggu lama, keluar surat dari Polres Labuha kepada dia dan sejumlah warga lainnya.

“Saya kaget ada surat panggilan dari polis, padahal kami tidak menghalangi kerja mereka, kami palang kebun kami sendiri agar perusahan  tidak serobot lahan kami,” ungkap Sanusi, pria lulusan Universitas Khairun Ternate ini.

Hingga hari Senin tanggal 3 Juni itu, Sanusi termasuk 17 warga yang dibawa ke Polres.

“Saat itu Kapolres bilang kami tidak mengindahkan mereka, karena panggilan pertama dan kedua yang dilayangkan tidak datang, sehingga kami terpaksa harus dijemput,” ucap Sanusi sambil menirukan pernyataan Kapolres saat itu.

Dari 17 yang ditangkap, 13 orang kemudian ditetapkan sebagai tersangka.

Sanusi Wahab, warga Gane Dalam yang sempat dipenjarakan, karena menolak masuknya perkebunan sawit di desanya. Foto: Christ Belseran

 

 

“Saya [Sanusi Wahab], Abdulah Rabi, A Gani Sadek, Lutfi Bote, Gani Karim, Harsoyo A. K. Daud, Alwi Abubakar, Jambrud Mahdi, Irham Nas, Irfan Mansur, Hafel Hi Kabir, Ade Toloa, Jalil Ome,” jelas Sanusi menuturkan nama-nama tersangka waktu itu.

Saat itu, kasus ini jadi perhatian di tingkat nasional. Komnas HAM menyerukan pada pihak Polda Maluku Utara agar dapat  “memulihkan hak-hak masyarakat yang diduga dilanggar” dan supaya PT GMM “dapat memastikan bahwa segala tindakan yang direncanakan dan dilakukan tidak akan membahayakan dan melanggar HAM.”

Selang dua bulan dipenjara, para tersangka dinyatakan bebas murni oleh pengadilan. Di dalam proses pengadilan, para tersangka baru tahu bahwa mereka ditangkap karena ada sembilan warga desa pendukung perusahaan yang melaporkan mereka.

“Nama-nama [pelapor] ini terungkap di pengadilan. Jadi bukan perusahaan yang melaporkan kami,” cerita Sanusi.

Penangkapan warga adalah puncak dari eskalasi konflik yang menyeret perusahaan, warga yang pro dan kontra sawit di Gane Dalam.

Baca juga: Setelah Kehadiran Sawit di Gane, Begini Nasib Warga dan Lingkungan

 

Protes warga atas masuknya perkebunan sawit di Gane Luar. Dok: Walhi Maluku Utara

 

 

Awal masuknya Sawit di Halmahera Selatan

Kecamatan Gane Barat Selatan, secara administratif luas wilayahnya 25.255 hektar, terbagi menjadi delapan desa, yaitu: Doworo, Sekely, Yamly, Gane Dalam, Jibubu, Awis, Palele, dan Tawa.

Berdasarkan data statistik BPS 2016, Desa Gane Dalam berpenduduk 1.315 jiwa, mayoritas warga menggantungkan hidup dari bekerja sebagai petani dan buruh.

Dengan modal izin lokasi perkebunan, PT Gelora Mandiri Membangun (PT GMM) anak usaha Korindo Group yang bergerak dalam usaha perkebunan sawit masuk di wilayah ini. Di tahun 2012 mereka mulai buka lahan.

PT GMM mengantongi izin dari Menteri Kehutanan saat itu, MS Kaban, melalui SK Menhut Nomor SK.22/Menhut-II/2009 tertanggal 29 Januari 2009 tentang lokasi pelepasan sebagian kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi.

Adapun pertimbangan pelepasan kawasan hutan itu berawal dari surat pemohonan PT GMM nomor 01/GMM/6/2007 untuk usaha budidaya perkebunan sawit.  Pertimbangan itu disesuaikan dengan Berita Acara Tata Batas Kawasan Hutan untuk Perkebunan Sawit pada 24 Juni 2008.

Hutan yang dapat dikonversi menjadi lahan perkebunan sawit di Halsel luasnya 11.003,9 hektar,  lokasinya selain di Desa Gane Dalam dan Yamli, juga berada di Desa Gane Luar, hingga perbatasan Desa Sawat, Sekli, Jibubu, Awis hingga Pasipalele, yang masuk di wilayah Kecamatan Gane Timur Selatan, Gane Barat Selatan, dan Kecamatan Kepulauan Joronga.

Korindo sendiri adalah sebuah perusahaan konglomerat swasta yang didirikan pada tahun 1969 oleh pengusaha asal Korea Selatan, Eun-Ho Seung. Bisnis utamanya yaitu pembalakan kayu, kayu lapis dan terakhir mereka mulai bermain di perkebunan sawit.

 

Perkebunan Sawit PT GMM di Gane Dalam. Foto: Christ Belseran

 

 

Walhi Maluku Utara dalam laporannya “Malapetaka Korindo: Perampasan Tanah, dan Bank” menyebut Korindo adalah konglomerat keluarga yang terkendali erat dengan entitas bisnis yang terdaftar setidaknya di tujuh negara. Adapun pembiayaan dan kepemilikannya terdaftar di British Virgin Islands (BVI).

“Saat ini, PT GMM/Korindo ingin menguatkan usaha investasinya di wilayah Gane dengan membangun pabrik kelapa sawit (PKS). Mereka memperluas wilayah usahanya dengan mengambil alih tanah pertanian masyarakat dan hutan alam,” jelas  Ahmad Rusydi Rasjid, Direktur Walhi Maluku Utara, (21/11/2020).

Terkait pembukaan lahan, Walhi dalam laporannya menyebut PT GMM/Korindo terlibat dalam pembakaran hutan tidak jauh dari Desa Gane Dalam dan Sekely pada tahun 2014-2015.

Warga menyatakan api berasal dari tumpukan kayu yang disusun oleh pekerja dan siap untuk dibakar. Walhi mengklaim mereka memiliki bukti-bukti citra satelit tentang lahan yang dibakar oleh PT GMM.

Menanggapi tudingan ini, Korindo melampirkan surat yang ditandatangani per tanggal 16 Februari 2016 dari Dinas Kehutanan yang menyatakan pembukaan lahan di area kerja PT GMM “dilakukan secara mekanis dengan menggunakan alat berat dan tidak ada pembukaan lahan yang dilakukan dengan api.”

“Kami tidak pernah melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar hutan. Kami juga tak pernah gusur lahan warga, yang kami kerjakan adalah lahan yang sudah dijual warga Gane Dalam dan sekitarnya,” jelas Mizwar Mustafa, Humas Lapangan PT GMM saat dikonfirmasi pertengahan November lalu.

 

Ahmad Rusydi Rasjid, Direktur Walhi Maluku Utara. Foto Christ Belseran

 

 

Sawit Masuk, Persaudaraan Warga Terkoyak

Semenjak perkebunan sawit masuk di Gane Dalam, dampaknya secara sosial mulai meruncing.  Warga terpecah menjadi dua kubu, pro dan kontra sawit. Hubungan persaudaraan yang berjalan baik selama ini, tiba-tiba renggang dan bermusuhan.

Warga yang kontra ada 42 keluarga, sedangkan yang pro investasi sekitar 412 keluarga,. Mereka yang pro sebagian besar telah menyerahkan lahan kelola yang berisi kelapa, cengkih maupun lahan kosong (jorame) biasa untuk tanaman bulanan.

“Tak hanya dapat intimidasi dari aparat, tapi juga harus berhadapan antar sesama warga. Gara-gara sawit ini, hubungan keluarga hingga urusan keagamaan jadi ikut renggang,” kata Sanusi.

Singkat cerita, bendera perang terpasang. Tak hanya dengan aparat kemanan, warga yang menolak pun harus berhadapan dengan sesama warga Gane Dalam.

“Kehidupan kami tak seperti dulu lagi. Bayangkan, kakak beradik  atau sepupu bisa saling adu ke polisi,” sebut Sanusi.

Konflik sosial, antar warga ini berimbas sampai pada urusan silaturahmi. Semisal tahlilan,  keluarga yang meninggal tak lagi saling mengunjungi. Saat momen Idul Fitri dan Idul Adha, antar saudara yang berseteru tak lagi saling berkunjung.

Seakan memperkuat rasa perseteruan, di Desa Gane Dalam ada dua mesjid dari dua kubu yang berbeda.

Satu mesjid, Masjid Tahtil Arsi adalah mesjid yang digunakan warga pro sawit, mesjid kedua, Mesjid Perjuangan adalah mesjid dari para penolak kebun sawit, yang dibangun setelah 13 warga dinyatakan bebas dari tahanan.

“Kami bangun mesjid perjuangan itu setelah kami bebas. Ada 42  keluarga penentang perusahaan yang bersepakat membangun mesjid sendiri.”

Tak hanya ibadah dan masjid, sengketa antar warga gara-gara kehadiran sawit, juga berimbas pada proyek listrik PLN masuk Desa Gane Dalam. Proyek ini secara sepihak ditolak warga pro perusahaan.

Penolakan pemancangan tiang listrik akibat Umar Hanafi, -ketua tim penolakan perkebunan sawit, ditunjuk pihak PLN untuk mengakomodir warga Gane Dalam untuk pemasangan listrik. Warga pro sawit tak terima dengan penunjukan ini. Beruntung setelah serangkaian sosialisasi, warga akhirnya  bisa menerima.

Dalam kurun hampir delapan tahun ini, kerenggangan hubungan di masyarakat terasa antara pihak kontra dan pro. Meskipun, kini tensi konflik mulai reda.

“Mungkin setelah gempa melanda desa kami, semuanya sudah sadar bahwa orang lain tidak bisa menolong kami. Hanya kami sendiri sesama saudara,” jelas Sanusi. Dia menyebut peristiwa alam yang terjadi di tahun 2019 lalu.

Gane Dalam merupakan salah satu desa terparah yang dilanda gempa magnitude 7,2 SR. Selain menghancurkan puluhan rumah warga, seorang warga meninggal akibat tertimpa bangunan rumah.

Baca juga: Saat Warga Samo Ingin Wujudkan Halmahera Selatan Mandiri Pangan

 

Coretan penolakan kebun sawit oleh warga Gane di dinding bangunan. Dok: Walhi Maluku Utara

 

 

Saat Hama Merebak, Sungai pun Tercemar

Umar Hanafi (60), ketua tim penolakan perkebunan sawit mengatakan sejak PT GMM masuk di Gane, alih-alih membawa kesejahteraan dan bikin nasib warga tambah baik, kehadirannya malah datang membawa nestapa.

Umar resah karena sejumlah tanaman di kebunnya rusak. Dia menuding ratusan tanaman kelapanya mati akibat hama serangga yang berasal dari perkebunan sawit.

Hama serangga yang dia maksud adalah Sexava sp. sejenis belalang yang sering menyerang kelapa. Awalnya serangga ini memakan daun tua, daun muda hingga buah muda. Walhasil jika seluruh bagian tanaman ini habis, buah-buah pun berguguran.

“Kelapa itu mati seperti tiang listrik, ujungnya buntung karena di makan hama,” kata Umar.

Cerita Umar pun mirip dengan apa yang disampaikan Bakir Abdul Hair (71). Saat dijumpai dia terlihat lemas, langkahnya perlahan saat hendak memegang kursi dekat tempat tidurnya.

Pria beranak lima ini memang telah lama sakit, sehari-harinya kebanyakan dia habiskan dengan berbaring, sesekali duduk di teras rumahnya.

Semenjak perkebunan sawit membuka lahan, tanaman kebunnya diserang hama, dan itu terus terjadi selama bertahun-tahun.

 

Bakir Abdul Hair (71), warga Gane Dalam, salah seorang yang menyebutkan tanaman di kebunnya banyak terserang hama setelah lahan dibuka untuk perkebunan sawit. Foto: Christ Belseran.

 

 

“Pendapatan saya berkurang, sebagian tanaman saya mati karena hama sawit. Di awal pohon pala besar 25 pohon dan tanaman kelapa mati. Yang kedua ini cengkih, langsa, duku, coklat, nangka habis semua,” cerita Bakir, matanya berkaca menahan tangis.

Klaim tentang merebaknya hama juga disampaikan Yani (60). Dia bilang sebelum sawit dibuka, tak pernah dijumpai hama dalam jumlah banyak menyerang tanaman warga. Selain serangga, jenis-jenis ular berukuran besar dan tikus jadi sering muncul.

“Ada hama, dia makan kita pe kelapa. Kita juga tidak bisa berkebun dan tidak bisa bertanam karena banyak tikus.”

Selain serangan hama, warga juga mengeluhkan bentuk terasering lahan perkebunan sawit yang disebut warga rawan longsor di saat musim penghujan. Sedimennya kerap masuk menutupi perkebunan warga melalui sungai.

Sawit masuk, dia pe tutup kita pe kali yang besar itu sehingga kali tidak ada lagi karena sudah kering. Terus dia pe air itu, sudah masuk di kita pe tanaman kelapa dan tanaman pala. Sawit ini kasih mati kita pe tanaman. Dari 100 persen, tinggal 25 persen saja.”

[“Perkebunan sawit buat sungai yang besar itu tertutup dan kering. Air sungai itu tidak lagi berada pada jalurnya sehingga menerobos masuk ke kebun kelapa dan juga tanaman pala. Sawit ini mematikan tanaman kita. Dari 100 persen sisa 25 persen saja,”] tutur Bakir.

Bakir sebut, sebelum perusahan datang ada beberapa sungai besar yang mengaliri tanah Gane. Sungai-sungai [Waya] ini jadi andalan konsumsi masyarakat tatkala mereka ada di kebun.

Namun sekarang kondisinya tak lagi sama dengan dulu. Waya Bakusili sudah tak lagi mengalir karena aliran sungai ditutup perusahan, Waya Wali yang merupakan sungai besar juga tak terlihat lagi, hilang tertutup timbunan tanah.

Kondisi serupa juga terjadi pada Waya Marsogili. Masih ada air yang mengalir namun sudah keruh bercampur sedimentasi tanah bawaan hasil land clearing. Padahal dulu sungai ini jernih, banyak udang dan ikan air tawar.

“Dulu torang biasa tar bawa air kalau pigi kobong, karena biasa ambe di kali ini. Tapi sekarang su tara bisa. Air su warna coklat baru su jadi tampa karyawan cuci dong pe alat-alat pupuk,” ucap Bakir.

Kini dia hanya bisa parah dengan kondisi yang terjadi.  “Mau apa lagi, torang ini tar bisa biking apa-apa.”

 

Kebun kelapa warga di Gane, Halmahera Selatan, Maluku Utara, yang terserang hama. Kelapa ini mati dan tak menghasilkan lagi Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

 

Warga lain, Ama pun mengaku bingung, meski jelas-jelas banyak aturan lingkungan yang dilanggar oleh perusahaan, tapi pemerintah tampaknya tidak ambil tindakan.

“Kita sebagai warga bingung karena dalam SK Bupati disebut tanaman sawit harus ada jarak 200 sampai 500 meter dari tepi sungai. Yang kami heran itu, sungai sudah tertutup oleh tanah karena tertimbun dan juga kayu,” paparnya.

“Kalau hujan air meluap, air juga berubah jadi coklat akibat pembukaan lahan di daerah hulu yang berdampak sampai ke daerah hilir.”

Selain warga yang kebunnya rusak, ada juga yang terpaksa jual kebunnya. Misalnya Arifin warga Desa Yomen, dia memilih angkat kaki dari kampung. Sekarang dia pindah ke Kota Tidore.

Arifin menjual kebun miliknya seluas 10 hektar, padahal sudah ada ribuan batang kelapa dan pala di dalamnya. Kebunnya dia jual seharga Rp185 juta kepada salah satu warga Desa Gane Dalam, Arifin menolak menjual kebun ke pihak perusahaan.

“Dia tak punya pilihan lain, kecuali menjual,” kata Ruslan Mahmud, Ketua BPD Desa Sekeli, kawan Arifin.

Rusaknya kebun-kebun warga akibat hama juga berdampak pada para pedagang hasil bumi, salah satunya Abubakar Ali, seorang pengepul kopra, coklat, cengkeh dan pala. Dia menyebut hasil kebun warga Gane Dalam semakin berkurang sejak masuknya perkebunan sawit.

“Sebelum perusahaan masuk wilayah Gane, hasil komoditi kopra warga itu bisa mencapai 1-2 ton sekali panen, namun setelah perusahan masuk rata-rata hasil komoditas warga seperti kopra hanya mencapai 200-300 kg sekali panen,” sesalnya.

Kegiatan perusahaan juga turut menghancurkan kegiatan ekonomi masyarakat yang ada dan meninggalkan dampak permanen terhadap sosial dan lingkungan.

“Kasus seperti hama serangga menjadi salah satu contoh akibat salah satu mata rantai ekosistem yang hilang. Sehingga organisme-organisme yang biasa hidup di dalam hutan itu akhirnya keluar menyerang tanaman pertanian warga,” sebut Ahmad Rusydi, Direktur Walhi Maluku Utara

Subhan Kasuba, Kabid Perkebunan Dinas Pertanian Kabupaten Halmahera Selatan saat dijumpai menyebut belum ada data terinci tentang kerusakan tanaman akibat hama  Sexava sp.

“Tahun 2019, kami sudah mencoba bantu warga untuk membasmi hama pohon kelapa. Kami dari dinas langsung turun ke lapangan,” jelasnya (20/11/2020).

Subhan mengakui, hama yang menyerang tanaman pangan terutama kelapa di Desa Gane Dalam terjadi akibat penebangan hutan untuk jadi lahan baru.

“Jadi secara ilmiah, hama itu terjadi bila ada pembongkaran untuk mencari tempat yang baru agar lebih aman,” katanya.

“[Tapi] berdasarkan pengalaman saya di daerah lain tanaman yang berdekatan dengan sawit biasanya subur dan sehat,” kata Dosen Sekolah Tinggi Pertanian (STP) Kabupaten Halmahera Selatan ini.

 

Pembersihan lahan oleh perusahaan. sawit PT GMM. Dok: Walhi Maluku Utara

 

Saat dihubungi terpisah Guru Besar Kehutanan Universitas Pattimura, Prof Dr Agus Kastanya (56) memiliki pandangan sendiri tentang merebaknya hama kelapa ini. Dia melihat ada rantai ekosistem yang hilang di Halsel.

“Kalau burung di situ banyak, dia akan makan sexava, tapi karena sudah tidak ada pohon dan ada pembukaan lahan, burung pun berkurang,” jelas Agus.

“Dampak penyemprotan [pestisida dan insektisda] juga dapat berujung mematikan satwa lainnya seperti burung, sehingga keseimbangan juga rusak, sehingga suatu waktu populasi hama ini dapat meledak.”

Pihak PT GMM tidak memungkiri jika hama kelapa menyerang tanaman warga yang diduga sebagai akibat pembukaan lahan sawit. Namun mereka bilang faktor alam juga turut mendukung.

“Terkait keluhan warga pada tahun 2015 terkait dengan hama, kami dari PT GMM sudah punya tim pemantau lingkungan. Cuaca di tahun 2015 itu memang ekstrim, curah hujan minim. Hama ini tidak suka panas, jadi sembunyi di kelapa,” jelas Mizwar saat dijumpai.

Lalu apa upaya perusahaan?

“Kita taruh ada satu alat antara kebun sawit dengan kebun masyarakat, jadi ketika serangga mencium itu akan masuk ke [alat] situ,” ungkapnya

Baca juga: Laporan Terbaru Ungkap Pelanggaran Perusahaan Sawit Korindo di Gane

 

“Mesjid Perjuangan” warga penolak sawit di Gane Dalam. Dok: Walhi Maluku Utara

 

 

Tudingan Pelanggaran PT GMM

Terkait dengan permasalahan yang timbul di tingkat masyarakat saat ini, Walhi Maluku Utara mencurigai PT GMM sejak awal telah melakukan pelanggaran, dengan tidak menjalankan semua tahap proses perizinan.

“Jadi setelah AMDAL disetujui oleh komisi teknis, perusahaan perkebunan baru bisa mengajukan Izin Usaha Perkebunan (IUP). Setelah IUP diterbitkan, maka dalam jangka waktu paling lambat dua tahun pihak pemegang izin harus memiliki tanah melalui penerbitan Hak Guna Usaha (HGU),” jelas Ahmad Rusydi.

“Fakta hukumnya, PT GMM telah memiliki IUP tahun 2006 tanpa melakukan AMDAL terlebih dahulu ataupun pelibatan masyarakat Gane yang terkena dampak dari rencana pembangunan perkebunan,” sambungnya.

Walhi Maluku Utara dalam laporannya mensinyalir, adanya pemalsuan dokumen AMDAL yang dilakukan  oleh perusahan PT GMM/Korindo. Dokumen tersebut kemudian digunakan perusahaan untuk memanipulasi klaim dukungan masyarakat terhadap proyek perkebunan sebagai bagian dari pengajuan AMDAL perusahaan.

Walhi sendiri, menurut Ahmad beberapa kali mendampingi warga terdampak di Gane untuk melaporkan dugaan penyalagunaan tanda tangan untuk perizinan itu.

“Walaupun korban terduga penyalahgunaan tanda tangan sudah lapor kepada polisi, sampai saat ini belum ada penyidikan,” sebutnya.

Walhi juga menyoroti tentang legalitas lahan HGU PT GMM.  Berulangkali saat diminta, perusahaan menolak untuk memberi informasi yang jelas.

 

Seorang ibu di Desa Gane Dalam yang sedang mengeringkan biji pala. Foto Christ Belseran

 

 

“Walau HGU adalah dokumen publik, Korindo menolak mengklarifikasi apakah HGU sudah diterbitkan dan kapan diterbitkan. Analisis satelit menunjukkan PT GMM telah membuka wilayah di luar batas usulan HGU-nya, termasuk diantaranya tanah seluas 231 hektar dekat Desa Sekely pada tahun 2015,” papar Ahmad Rusydi.

Saat dilakukan konfirmasi, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Halmahera Selatan menjelaskan luas lahan milik PT GMM di tahun 2016 adalah 6.124 hektar.

“Itu izin baru sebagian, mungkin seluruhnya luasannya 9000-an hektar lebih. Termasuk pelabuhan, dan juga [calon lokasi] pabrik perusahan,” kata Machfud Efendy, Kepala BPN Halsel.

Sejak tahun 2019 Korindo memang merencanakan untuk membangun pabrik pengolah sawit untuk memproses produksi kebun sawit mereka. Namun hingga kini rencana ini belum terlaksana.

Jika merujuk pada data Forest Watch Indonesia (FWI)  maka di Kabupaten Halmahera Selatan hanya ada satu izin perkebunan sawit, yaitu PT GMM pada lahan seluas 10.500 hektar.

FWI mencatat, adanya peningkatan laju deforestasi di area konsesi perkebunan sawit di Halsel dari tahun 2000 hingga 2017 yang mencapai 8.351 hektar

 

Mizwar Mustafa, Humas Lapangan PT GMM saat diwawancarai di Kantor Perwakilan Korindo Group, Desa Hidayat, Pulau Bacan, (21/11/2020). Foto: Christ Belseran.

 

Mizwar Mustafa, membenarkan bahwa perusahaan telah membuka lahan secara masif pada periode 2012-2017, tapi membantah telah merusak alam. Dia sebut lahan yang saat ini sudah dikerjakan adalah 5.500 hektar.

“Kalau izin yang kita punya sesuai HGU itu adalah 8.400 hektar. Kalau soal penambahan lahan kita kembali ke pemerintah pusat karena ada moratorium pembebasan lahan.,” kata Mizwar.

Dia menegaskan, konflik antar warga dan kerusakan ekosistem yang terjadi bukan karena aktivitas penyerobotan lahan warga dan hutan alam menjadi perkebunan sawit.

“Lahan hutan yang dibuka berdasarkan lokasi yang berada dalam areal HGU. Artinya daerah itu milik kita dan sudah punya izin, sehingga wajib kita melaksanakan kegiatan land clearing sesuai dengan prosedur.”

Terhadap kebun warga, selagi tidak masuk dalam areal perkebunan sawit maka perusahaan tidak akan menggusur kebun warga.

“Kita bekerja sesuai dengan HGU. Jika ada lahan yang berdampingan dengan kebun warga, tidak mungkin kita ganggu. [Terkait potensi konflik lahan] lebih baik kita menghindar dari pada jadi masalah,” ujarnya.

Dia juga klaim bahwa pasca kejadian gempa di tahun 2019, perusahaan fokus pada bantuan pemberdayaan masyarakat terdampak bencana di 9 desa.

“Sudah Rp5 milyar kita keluarkan untuk bangun infrastruktur 5 desa di Gane Barat Selatan dan Gane Timur Selatan, seperti sekolah, masjid dan mushola, air bersih, dan jalan,” jelas Mizwar.

Dia pun menambahkan bahwa keberadaan perusahaan memberi dampak positif bagi penciptaan lapangan pekerjaan di Halsel. Dari total seribu karyarwan, -yang meliputi tenaga tetap, kontrak dan harian, 800 orang berasal dari warga setempat.

 

Subhan Kasuba, Kabid Perkebunan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Halmahera Selatan. Foto: Christ Belseran

 

 

Saat dihubungi, Subhan Kasuba, Kabid Perkebunan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Halmahera Selatan berjanji akan mengawal proses perkembangan perkebunan sawit.

Dia menjelaskan, dampak dari investasi sesuai undang-undang wajib diberikan kepada masyarakat yang terdampak.

“Kita lihat juga secara undang-undang bahwa setiap luasan perkebunan itu wajib diberikan 20 persen plasma bagi masyarakat. Jadi kita tetap mengawal hak masyarakat yang harus diberikan. Jadi 20 persen dari luas lahan yang dimiliki oleh perusahan harus diberikan oleh perusahan untuk diberdayakan,” pungkasnya.

 

* Christ Belsera, penulis adalah pewarta di Tabaos.id, berdomisili di Ambon, Maluku. Artikel ini didukung oleh Forest Watch Indonesia (FWI), Universitas Pattimura dan Mongabay Indonesia.

 

***

Foto utama: Sanusi Wahab, warga Gane Dalam menunjuk sebagian lahan kebunnya yang telah menjadi perkebunan sawit. Foto: Christ Belseran.

Exit mobile version