Mongabay.co.id

Rayuan Tanaman Sayur Pengganti Kopi di Hutan Desa Cahaya Alam

 

 

Akses jalan menuju Desa Cahaya Alam, Kecamatan Semende Darat Ulu, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, hanya bisa dilalui satu kendaraan roda empat. Bila ada yang berpapasan, salah satunya harus menepi.

Di kedua sisi jalannya, membentang perkebunan kopi seluas mata memandang. Pegununan Bukit Barisan di batas cakrawala menjadi akhir penampakan kebun kopi yang dikelola masyarakat sejak 70 tahun lalu.

Batas terendah Desa Cahaya Alam berada di ketinggian 900 meter di atas permukaan laut [mdpl], sementara yang tertinggi masuk skema hutan desa [program Perhutanan Sosial] di elevasi 1.600 mdpl. Ketinggian yang sangat ideal untuk membudidayakan kopi berkualitas.

Namun saat ini, tanaman kopi sudah diselang oleh hortikultura. Ada kentang, kol, brokoli, tomat, dan cabai.

Masyarakat Cahaya Alam yang mayoritas petani kopi mulai kesulitan finansial bila mengandalkan biji yang bisa dipanen setahun sekali tersebut. Dengan menanam sayuran, petani masih punya napas lebih panjang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Baca: Puyang Sure, Hutan Adat Berkonsep Wisata Pertama di Sumatera Selatan

 

Petani memetik kopi selang yang berbuah merah, bukan di bulan panen. Pada ketinggian di bawah 1.000 mdpl, kebun kopi memasuki musim panen pada Mei-Juni. Sedangkan kebun di ketinggian 1.000-1.600 mdpl panen pada Agustus-September. Foto: Hafidz Trijatnika Januar

 

Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa [LPHD] Cahaya Alam, Monika mengatakan, kebiasaan budidaya hortikultura sudah masuk sejak 15 tahun lalu. Saat itu, ada pendatang dari Jawa Barat yang berhasil membujuk petani kopi untuk menanam selang sayuran. Skema bagi hasil menjadi kesepakatan.

Alhasil, panen sayuran melimpah, dengan harga bisa diandalkan. Sejak saat itu, kebun sayur menjadi penyelang tanaman kopi di Cahaya Alam.

Keberhasilan ini menarik pendatang untuk mencari peruntungan di Cahaya Alam. Bahkan, sebagian diantaranya menetap dan menikahi pribumi.

Budaya tunggu tubang yang secara matrilinear menurunkan harta warisan berupa rumah dan lahan pertanian kepada anak perempuan pertama Suku Semende, membuat para pendatang yang mayoritas laki-laki bisa menggarap lahan pertanian di sana.

Secara kasat mata, para petani yang membudidayakan sayuran lebih sukses ketimbang yang hanya menggarap kopi.

“Ada yang sudah bisa beli mobil, dua mobilnya, dan bisa bangun rumah bagus. Kelihatannya, memang lebih sukses daripada yang hanya menanam kopi,” ujar Monika, akhir Desember 2020.

Baca: Peran Media Dibutuhkan untuk Perkembangan Perhutanan Sosial

 

Potret dangau, pondokan milik petani kopi di Desa Cahaya Alam dengan latar Bukit Jambul, bagian pegunungan Bukit Barisan. Foto: Hafidz Trijatnika Januar

 

Hutan desa

Hutan Desa Cahaya Alam yang masuk skema Perhutanan Sosial, mendapatkan legalitas dari pemerintah berupa SK Nomor 326/Menhut-II/2014 pada 27 Maret 2014. Luasnya, 900 hektar.

Dari jumlah tersebut, 75 persen atau 675 hektar sudah digarap oleh 400 kepala keluarga [KK]. Sementara, 225 hektar masih berupa hutan, semak belukar, dan lahan tidur. Dari 675 hektar itu, 20 persennya atau sekitar 135 hektar ditanami sayur.

Monika mengakui, petani yang menanam sayur semakin banyak yang tentunya dapat mengurangi tanaman kopi yang ada. Dampak buruk terhadap lingkungan akan terjadi. Longsor bisa mulai menghantui kawasan di bawah Cahaya Alam, bila tanaman kopi yang berfungsi untuk menahan turunnya lahan dan air dari hulu ke hilir jumlahnya semakin sedikit.

 

Bibit lokal tanaman kopi arabika berusia satu tahun yang ditanam masyarakat. Tahun kedua, tanaman mulai berbuah dan siap panen pada tahun ketiga. Foto: Hafidz Trijatnika Januar

 

Memang, saat ini, Monika dan masyarakat Cahaya Alam masih jauh dari bayang kekhawatiran itu. Dia berujar, luas kebun kopi bakal berkurang bila sudah tidak ada lagi lahan tidur.

LPHD sebagai lembaga resmi yang mendapatkan mandat dari pemerintah tetap mengingatkan masyarakat agar mengikuti aturan, dengan cara berkebun di hutan desa dengan tetap melestarikan lingkungan. Setiap masyarakat yang hendak menanam sayur, pihak LPHD Cahaya Alam mewajibkannya menyelang dengan bibit kopi jenis arabika.

“Untuk sekarang sudah ada program menanam bibit kopi arabika, persiapan tahap kedua pengelolaan hutan desa. Jadi, warga yang mau tanam sayur, harus tanam arabika juga. Juga, pepohonan lain bila ada program dari pemerintah dan donor,” ungkap dia.

Monika tidak memungkiri, setiap tahun petani yang mulai menanam sayuran semakin banyak. Secara kuantitas, pihaknya tidak bisa menghitung total produksi sayur per tahun, karena tidak ada koperasi yang menaungi. Namun rata-rata, setiap petani bisa memanen 500-1.000 kilogram sayuran per hektar dengan masa panen empat kali setahun.

Untuk kopi, berdasarkan perkiraan umum, Cahaya Alam konsisten memproduksi kopi tidak kurang dari 1.000 ton per tahun. Sebanyak 50 persen petani di sini sudah mulai membiasakan dengan petik merah, seiring permintaan kopi premium yang semakin meningkat. Sisanya, masih panen asalan dengan sistem pascapanen semibasah.

 

Lokasi pembibitan yang dilakukan masyarakat di Demplot milik HaKI, Desa Cahaya Alam. Foto: Hafidz Trijatnika Januar

 

Sayur jangka pendek, kopi untuk tabungan

Keresahan untuk menyejahterakan keluarga petani kopi dirasakan Alidi, petani di Desa Cahaya Alam. Ketua Kelompok Usaha Perhutanan Sosial [KUPS] Luang Gado Agroforestry Desa Cahaya Alam ini berujar, dirinya sejak lima tahun lalu sudah menanam hortikultura di lahan garapannya. Harga kopi yang fluktuatif dan masa panen yang setahun sekali membuat dirinya kesulitan mencukupi kebutuhan harian dan biaya pendidikan anak.

Sejak menanam sayur, Alidi mengaku lebih terbantu dan bisa lebih baik merencanakan keuangan keluarga.

“Hasil panen sayur untuk keseharian. Panen kopi setahun sekali, bisa untuk tabungan anak sekolah dan lainnya. Dulu warga di sini paling tinggi SLTA, itu pun sedikit. Kebanyakan lulusan SMP. Semenjak jualan sayur, sudah banyak yang sarjana,” ujar Alidi.

Dengan menanam sayur, dirinya bisa menyekolahkan anak sulungnya hingga ke jenjang strata dua di salah satu kampus di Jawa Timur. Sementara, anak bungsunya masuk pesantren sederajat SMA di provinsi yang sama. Meski perekonomian keluarganya terbantu, namun Alidi tidak mau mengganti seluruh kebun kopi miliknya dengan sayuran.

Meskipun secara legalitas tidak dilarang, menanam kopi menurutnya, menjadi investasi jangka. Alasannya, penampung kopi masih lebih banyak dan saingan tidak sebanyak berjualan sayur.

Harga kopi fluktuatif namun cenderung sama dengan harga di kawasan lain Semende. Sehingga, dirinya tidak perlu bersaing secara kualitas dengan daerah lain.

“Utamanya kopi, sayur hanya sampingan sambil menunggu kopi panen. Kalau dihitung hasilnya sebanding. Cuma beda di masa panen, serta lebih cepat dapat uang kalau jual sayur,” kata Alidi.

 

Cabai rawit organik yang ditanam petani. Mereka menanam cabai dan sayuran selagi menunggu kopi yang hanya dipanen setahun sekali. Foto: Hafidz Trijatnika Januar

 

Pengembangan perhutanan sosial

Status Hutan Desa Cahaya berlaku hingga tahun 2050 dengan monitoring evaluasi [monev] setiap 10 tahun sekali. Pada 2025 mendatang, statusnya dievaluasi apakah masyarakat berhasil mengelola dengan baik atau tidak. Pada tahapan kedua setelah monev, LPHD Cahaya Alam berencana untuk mengembangkan kopi arabika dan agroforestry di empat KUPS yang ada sekarang.

Pendamping dari LSM Lingkungan Hutan Kita Institute [HaKI], Bejoe Dewangga berujar, pihaknya telah membangun demonstration plot [demplot] di lahan seluas 6,4 hektar. Di lokasi itu, HaKI bekerja sama dengan masyarakat setempat menanam kopi dan sayuran organik. Demplot pun berfungsi sebagai sekolah lapangan para petani agar bisa mendapatkan pelatihan teknik pertanian modeern guna meningkatkan hasil panen.

“Program penanaman bibit kopi arabika kami lakukan, sebagai percontohan. Secara nilai ekonomi, kopi arabika dihargai lebih mahal sehingga petani bisa meningkatkan penghasilannya. Kalau berhasil di demplot, petani sekitar pun bisa mengikuti cara-cara penanamannya,” ujar Bejoe.

 

Tanaman selang seperti cabai dipercaya bisa mempengaruhi cita rasa kopi, khususnya jenis arabika yang diproses pascapanen. Foto: Hafidz Trijatnika Januar

 

Meski tanaman sayur di Desa Cahaya Alam menjamur, pihak HaKI tidak akan menyarankan petani untuk mengganti kebun kopi. Kopi masih menjadi komoditas utama masyarakat Semende dan berkontribusi besar untuk pasokan kopi di seluruh Indonesia.

“Sayuran bisa menjadi stimulan petani agar tidak terlalu bergantung dengan harga kopi. Apabila sudah banyak kopi arabika dan berhasil dijual, petani pasti akan kembali bersemangat menanam. Sayur untuk sampingan saja karena kopi hanya dipanen setahun sekali,” ungkap dia.

 

* Hafidz Trijatnika Januar, jurnalis CNN Indonesia [Kontributor Palembang]. Artikel ini didukung Mongabay Indonesia.

 

 

Exit mobile version