Mongabay.co.id

Menikmati Jeda di Kampung Naga

 

Warga Kampung Naga Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat tumbuh bersama dongeng. Lewat cerita ringan yang melekat dengan petuah-petuah itu menjadikan warga Naga kukuh pada titah nenek moyang. Dari dongeng, agaknya, dapat diketahui pula mengapa mereka memilih hidup sederhana tanpa listrik dan tanpa kompor gas hingga zaman kiwari (sekarang).

Kemajuan peradaban, diketahui telah merampas waktu tidur manusia modern akibat teknologi lampu dan listrik membuat malam tetap terang. Kehadiran lampu itu pula menjadi salah satu penyebab manusia berubah memandang waktu.

Menurut buku Why We Sleep yang dikutip dari Tempo, Matthew Walker menunjukkan bahwa kurang tidur membikin manusia hidup tak sehat. Lampu membuat jam kerja manusia modern, terutama di perkotaan, menjadi lebih panjang. Dampaknya adalah tidur mereka berkurang satu-setengah jam dibanding manusia purba yang terlelap 7 hingga 6 jam.

Walker, meneliti urusan tidur ini selama lebih dari 20 tahun. Ia mengamati keadaan otak manusia yang tidur di bawah 4 jam, atau 4-6 jam, dan mereka yang tidur rata-rata 8 jam semalam. Data-data penelitiannya itu ia hubungkan dengan banyak hal seperti tingkat kecerdasan, kecelakaan hingga kesehatan.

Karena tidur begitu penting dalam siklus hidup manusia, Walker menyarankan pemerintah di negara mana pun memperhatikan kebutuhan tidur warga negaranya. Kemajuan ekonomi, yang membuat penduduk kota lebih banyak melek akibat kesibukan dan kemacetan, adalah malapetaka bagi umat manusia.

baca : Kampung Naga, Oase Tradisi di Tengah Derap Kehidupan Modern

 

Potret tata ruang di Kampung Naga, Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Di Kampung Naga, agaknya, kiasan begadang tiada artinya, begitu diresapi. Bukan karena Rhoma Irama menyanyikan itu. Tetapi kata Iin (49) warga Naga Dalam, tidur lebih awal dan bangun lebih cepat sudah menjadi sebuah etos kerja.

“Karena dulu sering dikasih dongeng agar tidur cepat, kini sudah tua pun senantiasa teratur begitu,” katanya yang ditemui pada Juni 2020.

Di kampung yang dihuni 300-an jiwa ini memang mudah sekali menjumpai orang-orang tua segar-bugar. Bisa jadi, karena terbiasa tidur yang cukup. Namun, Iin tak sepenuhnya yakin. “Mungkin ada faktor lain,” tuturnya.

Bapak tiga anak itu lalu mengajak berkeliling kampung. Sepintas suasana khas kampung menunjukan warga seperti menikmati kehidupan tradisional yang serasi dengan keaslian alam di perbukitan dan hulu sungai. Mereka patuh terhadap batas-batas yang sudah ditentukan oleh leluhur baik itu batas alam maupun batas buatan.

Penataan ruang dengan kontur lembah di pinggiran Sungai Ciwulan yang mata airnya bersumber dari Gunung Cikuray begitu rapi ditata. Ruang kampung dibagi menjadi tiga zonasi : suci, bersih dan kotor.

Kawasan “suci” itu berada di hutan sebelah barat pemukiman yang disebut Bukit Naga serta areal hutan lindung (leuweung larangan) persis di tikungan tapal kuda di timur dan barat Sungai Ciwulan. Di area bersih, terdapat 120 rumah dan beberapa bangunan adat. Sedang kawasan kotor diberi sekat bambu sebagai tempat kegiatan warga sehari-hari.

“Pembagian itu wujud bahwa kami tinggal bersama alam bukan hidup di alam,” ujar Iin. Untuk itu, Warga Kampung Naga tak pernah kebanjiran meski tinggal di pinggir sungai. Dan tak pernah mengalami longsor walau tinggal di lereng bukit.

baca juga : Hutan Kampung yang Menyelamatkan Kuta

 

Sejumlah anak memainkan permainan tradisional di Kampung Naga, Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Selain itu, Kampung Naga tak boleh meluas atau melebar sekalipun masyarakatnya berkembang biak, kata Iin. Maka terpaksa sebagian mereka harus pindah keluar. Sekalipun begitu, warga yang berada di luar maupun di dalam kampung, mereka sebut Sa Naga, artinya, sekampung Naga, seadat Naga. Dan orang-orang Sa Naga terkenal sangat patuh memegang tradisi.

Mekanisme mempertahankan adat leluhur diperoleh dari cerita lisan dan mitos atau pamali (larangan/tabu). Bentuk rumah pamali menyentuh tanah dan diharuskan panggung. Hal itu sejalan dengan pola keseimbangan hidup masyarakat Sunda. Dimana tersirat tuntunan harus selarasnya antara hubungan vertikal (interaksi diri dengan Tuhan) dengan hubungan horizontal (interaksi diri dengan sesama makhluk dan alam).

Manifestasi ini begitu nampak pada bangunan rumah. Menggambarkan betapa masyarakat Sunda sederhana dan mudah beradaptasi. Dan, ternyata, bentuk rumah panggung berdinding bambu itu secara rasional menyehatkan karena kolong antara permukaan tanah dan lantai itu berfungsi mengatur suhu dan kelembaban udara. Selain memang miliki fungsi sebagai penahan getaran gempa.

Atap terbuat dari ijuk karena genteng tidak diperbolehkan oleh karuhun Naga. Ukuran semua rumah sama, yakni 5 x 8 meter, menghadap dua arah, ke selatan dan utara. Bentuk atap semuanya dua arah, tidak boleh ada yang tiga arah. Ini merupakan salah satu sisi kehidupan warga Naga dalam menjalankan titah karuhun, yakni ulah pagirang-girang tampian.

“Jadi kesederhanaan membuatkan warga di sini tentram tidak ada persaingan hidup dan saling membantu,” kata Iin.

perlu dibaca : Konsep Lestarikan Alam dalam Adat Kampung Kuta

 

Warga menjemur pangan lokal di Kampung Naga, Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Nilai dari kepatuhan

Apa yang terkandung dalam aturan karuhun sebenarnya merupakan nilai-nilai ajek menyangkut tuntunan kehidupan yang lestari dan seimbang. Hal itu dibuktikan kala pandemi memukul kehidupan, kepatuhan pada adat lah yang menyelamatkan warga Sa Naga.

Pandemi COVID-19 telah menunjukkan ketika kesehatan terancam dalam skala global, aktivitas ekonomi dan kehidupan manusia turut terpukul. Krisis global seperti ini juga bisa terjadi akibat perubahan iklim, namun banyak yang tidak menyadari karena prosesnya perlahan.

Laporan jurnal ilmiah terkemuka The Lancet bertajuk “Kesehatan dan Perubahan Iklim” yang dirilis pada Kamis (3/12/2020) menegaskan, perubahan iklim dan pemicunya, yaitu rusaknya lingkungan karena urbanisasi, pertanian intensif dan sistem pangan yang tidak berkelanjutan, perjalanan udara dan pariwisata, perdagangan, dan gaya hidup yang didukung bahan bakar fosil, pada gilirannya bakal menciptakan kondisi yang mendorong terjadinya penyakit zoonosis (penyakit ditularkan dari hewan ke manusia).

“Pandemi COVID-19 telah menunjukkan kepada kita bahwa ketika kesehatan terancam dalam skala global, ekonomi dan cara hidup kita dapat terhenti,” kata Ian Hamilton, Direktur Eksekutif Lancet Countdown seperti dikutip Kompas.id.

baca juga : Kearifan Lokal dan Mitigasi Bencana ala Kampung Cikondang

 

Sejumlah warga masih menggunakan lisung untuk memenuhi kebutuhan padi di Kampung Naga, Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Pandemi memang menguji daya lenting manusia. Dan Kampung Naga mengingatkan, manusia sedang kehilangan masa depan jika tak berhenti mengkonsumsi energi yang mengotori udara, terus membabat hutan untuk nafsu ekonomi, dan tak segera melakukan apa yang seharusnya kita lakukan dalam mencegah suhu bumi yang terus naik akibat polusi aktivitas manusia.

Ditengah ketidaktahuannya tentang pandemi ini, Iin memalingkan pandangan ke arah leuweung Naga seluas dua hektare. Nenek moyang, katanya, lewat dongeng menitip pesan agar hutan agar terus dilestarikan. Jika dirusak, angkara bakal datang menimpa.

Ketika dunia masih terkena sindrom tua-muda, kaya-raya, kecil-besar. Warga Sa Naga menerabas itu. Mereka tahu bumi yang sekarat akan menyerang siapa saja tak peduli predikatnya. Untuk itu, mereka setia pada titah luhur. Sebuah ilmu adiluhung yang menyelamatkan banyak nyawa.

Kendati masih mempertahankan adat, sepintas kondisi sosial ekonomi di Kampung Naga seakan lebih rendah dibandingkan dengan penduduk kampung sekitarnya. Padahal, kalau dilihat dari sisi lain, penduduk Naga hidup mandiri, kreatif, dan pantang meminta-minta. Selain pertanian, untuk penghidupan, mereka membuat berbagai kerajinan dari bambu, mulai dari topi anyaman bambu hingga seruling.

Dongeng-dongeng yang hidup di kalangan orang-orang Kampung Naga ibarat tuntunan yang menapak jalan benar di era baru. Karena bisa jadi, pandemi tidak datang sekali ini saja. Ironisnya, atau mujurnya, meski dongeng mudah hilang dilibas waktu, toh petuah dari orang terdahulu adalah modal menuju peradaban yang lebih baik.

 

Warga menyelesaikan anyaman bambu di Kampung Naga, Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version