Mongabay.co.id

Jawa Timur Masih Tujuan Utama Penyelundupan Satwa Liar

 

 

Jawa Timur, sepanjang tahun 2020, tercatat sebagai wilayah di Indonesia yang tinggi kasus kejahatan satwa liarnya. Ada 9 kasus penyelundupan satwa liar, terutama melalui Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, yang berhasil digagalkan.

Total, sebanyak 1.733 ekor satwa liar, diamankan. Dari jumlah itu, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam [BBKSDA] Jawa Timur sudah melepasliarkan satwa sebanyak 825 ekor dan 150 masih berada di kandang transit. Sementara, 758 ekor mati saat pengangkutan dan sampai tujuan.

“Paling banyak jenis burung yang berasal dari wilayah timur Indonesia,” terang Wiratno, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem [KSDAE] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK], ditemui di Surabaya, pertengahan Desember 2020.

Wiratno menerangkan, dari 9 kasus itu, sebagian telah berketetapan hukum [inkracht], P21, penyidikan, dan proses pelimpahan. Ini merupakan hasil sinergi lintas instansi penegak hukum, terutama BBKSDA Jawa Timur, Balai Besar Karantina Pertanian Surabaya, serta jajaran Kepolisian di Jawa Timur.

“Kerja sama ini sangat efektif dalam upaya penanggulangan peredaran tumbuhan dan satwa liar [TSL] ilegal. Semoga dapat lebih baik lagi dan dapat melibatkan peran aktif masyarakat,” katanya.

Wiratono juga mengingatkan pegawai di KLHK untuk tidak memelihara satwa liar dilindungi, termasuk jenis burung. Ini berkaitan dengan etika aparat penegak hukum dan perlindungan satwa liar.

“Harus dihindari.”

Pihaknya, kata Wiratno, telah membuat surat edaran ke BBKSDA yang wilayahnya merupakan asal satwa, untuk membiayai pemulangan satwa yang gagal diselundupkan tersebut. Hal ini sebagai salah satu cara agar setiap daerah berusaha melakukan pencegahan lepasnya satwa dari kawasan yang dinaunginya.

“Perintah saya, kalau burungnya dari Ambon, BBKSDA Ambon harus ambil dengan biaya sendiri, sehingga tidak menjadi beban biaya BBKSDA Jawa Timur, karena di sini hanya menerima. Dengan kebijakan itu, penjagaan keamanan di sejumlah pelabuhan akan maksimal.”

Baca: Satwa Liar Sitaan Itu Milik Negara, Bagaimana Penanganannya?

 

Anakan komodo di kandang sementara BBKSDA Jawa Timur, sebelum dilepasliarkan ke habitat asal. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Modus perdagangan berkembang

Penyelundupan dan perdagangan satwa liar menurut Kasubdit IV Tipiter Ditreskrimsus Polda Jawa Timur, AKBP Jimmy Tana, mengalami perkembangan. Seperti jaringan narkoba, pemberantasannya memerlukan kerja sama lintas instansi dan pemanfaatan teknologi.

“Penyelundupannya sangat rapi. Transaksi juga dilakukan lewat media sosial, ini yang harus disidik oleh teman-teman siber, dan butuh alat khusus untuk memonitor.”

Penegakan UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menjadi sangat penting untuk melindungi keanekaragaman hayati Indonesia. “Masyarakat perlu diingatkan aturan ini, agar tidak terlibat kejahatan,” ujar Jimmy.

Meski UU Nomor 5 Tahun 1990 banyak dikritik karena kurang memberi efek jera bagi pelaku kejahatan satwa, Wiratno menambahkan, aturan tersebut telah melahirkan 27,14 juta hektar kawasan konservasi. Untuk mengantisipasi kelemahannya, telah dilakukan penerbitan Peraturan Pemerintah [PP] serta peraturan perundangan turunan yang lebih spesifik.

“Undang-undang ini banyak jasanya.”

Wiratno menuturkan, KLHK baru-baru ini memulangkan 9 individu orangutan dari Malaysia dan 2 dari Thailand. Selain itu, juga melepasliarkan harimau sumatera bernama Corina yang terkena jerat. “Langkah-langkah ini, bentuk keseriusan pemerintah dalam menjaga dan melestarikan satwa liar Indonesia.”

Baca: Melawan Kejahatan Satwa Liar Tidak Bisa Sendirian

 

Sejumlah burung paruh bengkok berada di kandang sementara milik BBKSDA Jawa Timur. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Balai Besar Karantina Pertanian Surabaya juga berperan penting mencegah terjadinya penyelundupan tumbuhan dan satwa liar dilindungi. Akhir November 2020, penyelundupan sebanyak 715 ekor burung tanpa dokumen, menggunakan truk dari Makassar ke Surabaya, digagalkan. Jenis burung itu adalah kolibri, manyar, gagak, pleci, gelatik, belong, jalak tunggir merah, nuri hitam, betet kelapa, elang buteo, dan kepodang.

“Penyelundupan melalui Pelabuhan Tanjung Perak masih marak. Ini melanggar UU Nomor 21 Tahun 2019 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan,” kata Kepala Balai Besar Karantina Pertanian Surabaya, Musyafak Fauzi.

Musyafak mengatakan, penjagaan dan pencegahan peredaran tumbuhan dan satwa liar penting dilakukan, untuk mengantisipasi penularan berbagai penyakit. Sedikitnya, terdapat 105 jenis penyakit dari luar negeri yang dapat ditularkan melalui hewan, dan 600 lebih penyakit yang ditularkan melalui tumbuhan.

“Sepanjang melewati pintu-pintu karantina, dan sesuai prosedur, semua akan terjaga. Kalau diselundupkan, kami tidak bisa menduga akibatnya.”

Baca juga: Jalan Panjang Berantas Penyelundupan Satwa Liar Dilindungi

 

Kandang karantina burung kakatua jambul kuning di Maharani Zoo. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Hutan sunyi

Imam Taufiqurrahman, salah seorang penyusun buku Atlas Burung Indonesia mengatakan, saat ini tren memiliki burung berkicau mengalami peningkatan. Kondisi yang menyebabkan semua jenis burung menjadi bernilai untuk diperdagangkan.

“Permintaan pasar membuat jenis tertentu diburu di alam,” ujarnya kepada Mongabay.

Saat ini, fenomena hutan sunyi atau silent forest menjadi ancaman yang mengiringi kepunahan berbagai jenis burung di Indonesia. Burung yang diburu berdampak pada melonjaknya populasi jenis serangga tertentu, yang menyebabkan keseimbangan ekosistem terganggu.

Imam mencontohkan spesies burung yang mulai jarang terlihat di alam akibat perburuan. Di Sulawesi, nasib jalak tumbir merah mulai terancam akibat banyaknya permintaan, sedangkan di Jawa justru terjadi lonjakan.

“Di Jawa meledak karena banyak yang lepas atau dilepasliarkan. Ini kemudian menjadi spesies alien dan menginvasi burung lokal.”

Hal lain yang menjadi tantangan pelestarian adalah belum adanya data dasar populasi jenis-jenis burung di Indonesia yang jumlahnya hampir 1.800 jenis.

Misalnya jenis kucica hutan atau biasa disebut murai. Laporan publikasi ilmiah terkait studi burung diperdagangkan, menunjukkan ada 11.000 lebih di pasar burung, sedangkan temuan masyarakat di alam hanya 13 individu. Begitu juga jalak suren, sekitar 1.700 di pasar burung, sedangkan hasil kompilasi publikasi ilmiah hanya 3 individu yang ditemukan masyarakat di alam.

“Pada 2019, hasil survei menunjukkan sudah sekitar 2 juta ekor burung dipelihara di rumah-rumah. Berdasarkan laporan masyarakat, selama 3,5 tahun jumlah burung di alam pindah ke pasar dan sangkar.”

Meski ada undang-undang yang mengatur dengan sejumlah produk hukum turunan, Imam menyebut, implementasinya di lapangan belum maksimal.

“Penegakan hukum harus menjadi prioritas penerapan peraturan perundangan yang ada,” pungkasnya.

 

 

Exit mobile version