Mongabay.co.id

Sempulur, Pasar Pangan Lestari dari Pagerharjo

 

 

 

Namanya Pasar Sempulur. Sempulur berarti berkembang dan lestari, bisa juga berarti berkelanjutan. Pasar ini menerapkan konsep zero plastic, berbahan pangan lokal, dan mengangkat nilai adat serta inklusi sosial jadi pengejawantahan ekonomi hijau di Pagerharjo.

Pagerharjo sendiri, terletak di Kecamatan Samigaluh, Kulon Progo, Yogyakarta. Ia punya 20 dusun, berbatasan dengan Kabupaten Magelang sebelah utara, Purworejo di sebelah timur.

Sebagian besar wilayah di perbukitan Menoreh dengan pemandangan indah. Mata pencarian penduduk banyak sebagai petani, pekebun, dan pedagang.

Pasar ini ada setiap minggu, tetapi sejak pandemi setop kegiatan dulu. Lapak jualan yang ada diperuntukkan bagi dusun. Di pasar ini, setiap dusun punya perwakilan bagi produk usaha mikro kecil (UMK).

Ada sosok Ambrosius Ruwindrijarto, penerima penghargaan Ramon Magsaysay 2012 juga salah seorang pendiri Samdhana Institute, dalam pembentukan pasar ini.

Ruwi, panggilan akrabnya, selalu bersemangat saat membangun relasi antara pegiat organisasi sosial dan masyarakat lokal.

“Kalau saya targetnya bisa berinteraksi berkenalan dan membangun relasi dengan teman-teman ini. Dari situ mari kita lihat apa yang bisa dilakukan bersama,” katanya kepada Mongabay.

Ruwi, mengatakan, kegiatan di desa bisa jadi model dalam mengangkat berbagai potensi di desa, sekaligus mendekatkan pada penerima manfaat langsung.

“Saya juga ingin mempromosikan model kegiatan seperti ini.”

Pasar Sempulur ini jadi titik temu warga untuk saling belajar mengenai pertanian dan agroforestri, lewat produk-produk yang mereka jajakan, seperti umbi-umbian, kopi, teh, kakao, vanili, cengkih, rempah-rempah, dan hasil pertanian lain. Bersama-sama mereka mendiskusikan pengelolaan ruang hidup, budaya, seni, dan kedaulatan pangan untuk martabat serta kesejahteraan masyarakat adat dan lokal.

Pasar rintisan kolaborasi Kaoem Telapak, Yayasan Para Perintis, dan Samdhana Institute itu kini diserahkan pengelolaannya ke Pemerintah Desa Pagerharjo, Pokdarwis, dan karang taruna. Pasar Sempulur dibuka secara resmi 19 Oktober 2019, usai pertemuan mitra Samdhana.

Karang taruna, kelompok sadar wisata, dan pemerintah Desa Pagerharjo bekerja sama menyelenggarakan pasar yang menjual aneka makanan tradisional dan kerajinan ini. September 2020, pertemuan Samdhana kembali diadakan di sini.

Sebelumnya, juga ada Koperasi Wana Lestari Menoreh yang menerapkan prinsip-prinsip sama, terbentuk pada 2008. Koperasi ini beranggotakan kelompok tani hutan rakyat dengan lebih 1.000 orang. Mereka punya visi menumbuhkan ekonomi masyarakat dengan mengembangkan semangat kewirausahaan sosial dalam lingkungan hidup dan alam lestari dan berkelanjutan.

 

sayur mayur organik di Pagerharjo. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Pasar produk lokal

Heri Susanto, warga Pagerharjo, beberapa tahun ini mengembangkan kopi yang diberi merek Kopi Mbajing. Dia juga pemilik Kedai Kopiku. Mbajing berasal dari nama Dusun Geger Bajing di perbukitan Menoreh, Desa Pagerharjo.

Heri, satu dari sekian banyak usaha mikro kecil (UMK) yang buka lapak di Pasar Sempulur.

Dia mendapat dukungan dari Kaoem Telapak bersama petani pengelola hutan rakyat di Kecamatan Samigaluh, perbukitan Menoreh untuk meningkatkan mutu dengan proses pascapanen lebih baik. Selain petik ketika kopi sudah matang, Mbajing diproses alami, tanpa pengawet, untuk menghasilkan cita rasa terbaik.

“Kami sedang membangun rumah belajar kopi. Tempat berkumpul bersama belajar tentang kopi, dari tanam, petik, sampai seduh,” kata pria juga Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat ini.

Mereka juga menawarkan belajar tentang vanili, kerja sama dengan Kelompok Tani Ayem, Dusun Sinogo. Kelompok ini juga ingin ‘menularkan’ aksi ini ke dusun lain, sampai level desa atau kecamatan. Mereka membuka usaha di desa ini berkat dukungan Samdhana, Kaoem Telapak, dan ParaPerintis.

Kopi, di Pagerharjo, ada sejak zaman Belanda. Kini warga juga menanam vanila, cengkih, dan sengon dan teh.

PT Pagilarang, perusahaan milik Universitas Gadjah Mada (UGM) menyerap teh Menoreh kategori premium. Kawasan teh Menoreh berkembang jadi destinasi wisata.

“Rumah belajar itu untuk siapa saja. Yang lebih penting kami ingin menumbuhkan kembali semangat teman-teman petani. Mereka paling merisaukan harga pas panen raya, rendah,” katanya.

Aksi itu, kata Heri, sebenarnya satu solusi, membuat kelompok, sampai membuat rumah belajar bahkan sampai pengolahan. “Dengan begitu, menumbuhkan kesadaran. Oh ternyata kalau ada kelompok bisa menstandarkan harga. Kalau pas panen raya harga bisa bagus. Syukur naik karena kita bisa mengolah sendiri.”

 

 

Saling berbagi

Pada pertemuan Samdhana juga di lokasi Pasar Sempulur itu membahas  mengenai rencana strategi pengembangan daratan dan pesisir di Tambrauw, Papua Barat. Sekitar 20 orang dari kota di Papua dan Nusa Tenggara Timur, juga mahasiswa dan pelajar di Yogyakarta terlibat dalam pertemuan itu.

Kaoem Telapak sebagai pelaksana kegiatan, mengumpulkan data, mengevaluasi, dan menilai potensi maupun model bisnis paling tepat untuk dua bentang alam baik di pesisir maupun hutan teresterial.

Hadir antara lain dari Sekolah Bisnis Papua (SBP) berisi pelajar dan mahasiswa yang belajar di Yogyakarta. Mereka mempunyai ketertarikan dengan kewirausahaan, dan bercita-cita bisa menerapkan keterampilan itu di Papua.

Di pertemuan ini mereka memaparkan apa yang sudah dilakukan dan menawarkan membuat kelas bisnis di Tambrauw, Jayapura, dan Merauke.

Harapannya, program ini bisa meningkatkan kapasitas warga membangun bisnis rintisan yang mendukung ruang hidup masyarakat. Juga perlu wadah bagi masyarakat terutama antarmarga atau keluarga untuk berbagi pengalaman dan bertukar informasi terkait pengelolaan sumber daya yang mendukung ruang hidup. Wadah itu berupa kelembagaan maupun tempat berkumpul.

Keresahan nilai-nilai adat coba dijawab dengan program pendidikan adat usia dini (PAUD). Satu inspirasi dari pendidikan adat ala masyarakat Wuon, Tambrauw, Papua Barat. Anak laki-laki yang memasuki fase dewasa akan dididik dalam tradisi Wuon, yaitu mengasingkan mereka ke hutan atau pedalaman. Mereka akan diajari meracik obat, berburu, dan hidup di alam bebas. Perlu ada revitalisasi tradisi sarat nilai kearifan atas alam ini yang makin pudar.

Ada juga membahas soal posisi tawar petani lemah dalam menjual produk, seperti dialami petani kakao di Maumere. Alfonso Hery, pegiat LSM Sandi Florata atau Yayasan Kasih Mandiri Flores Alor Lembata cerita soal ini.

Dia cerita mengenai petani kakao Maumere yang kerap dipermainkan tengkulak terutama soal harga produk pertanian.

“Petani satu tahun penuh bekerja, di saat memanen ada orang lain datang hanya sehari bisa yang mengatur harga. Kita coba memikirkan bagaimana setidaknya secara ekonomi posisi tawar petani kuat. Agar harga tidak dimainkan tengkulak,” katanya.

Selama ini, Sandi Florata juga aktif mendampingi kelompok perhutanan sosial.

Di Kabupaten Sikka, saat ini ada 23 kelompok sudah mendapatkan izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan, antara lain, mempunyai produk unggulan berupa kacang mete (dua kelompok), coklat atau kakao (1 kelompok), dan madu hutan (satu kelompok). Keempat kelompok itu beranggotakan sekitar 500 keluarga.

“Petani juga produsen. Selama ini, mereka terjebak pola konsumtif sebagai konsumen. Potensi di sekitar mereka perlahan-lahan justru ditinggalkan. Ini harus dibalik,” katanya.

Serupa di Pagerharjo, beberapa contoh jasa dan produk yang sejalan dengan prinsip ekonomi berkelanjutan yang sudah dikembangkan di Papua dan NTT antara lain ekowisata, minyak kelapa murni, cokelat, madu hutan, dan kacang mete.

 

 

Suasana kebun teh Menoreh di Nglinggo, Samigaluh, Kulon Progo. Teh yang ditanam dengan memperhatikan aspek berkelanjutan ini juga jadi salah satu produk yang dijual di Pasar Sempulur. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version