Mongabay.co.id

Warga Rammang-rammang Gundah Lahan Tani Terkena Proyek Rel Kereta Api

Proses pembangunan rel kereta api di Sulawesi Selatan. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Santuwo, tampak gusar. Warga Dusun Rammang-rammang, Desa Salenrang, Kecamatan Bontoa, Maros, meletakkan kartu domino, berpindah tempat, lalu duduk di kursi plastik. Pria 55 tahun ini tengah memikirkan lahan pertaniannya yang bakal terkena proyek pembangunan rel kereta Sulawesi Selatan.

“Kalau sawah itu diambil paksa, terus pemerintah ganti rugi, kami mau makan dimana lagi?” katanya, akhir Desember lalu.

“Mereka (pemerintah) bayar dengan murah. Uang itu buat apa? Mau beli sawah yang baru dengan luas sama tidak bisa. Mana cukup.”

Baca juga: Cerita Rammang-rammang di Masa Pandemi

Dia menunjukkan komplek perumahan di depan kami. “Coba perhatikan itu. Hanya sekitar 2,5 are – 2.500 meter persegi – satu meter dibayar Rp500.000.”

“Sawah saya ada 16 are lebih. Kereta api mau ambil 11 are lebih, sisanya mereka tidak akan bayar. Terus bayar Rp85.000 per meter. Masuk akal tidak itu?”

Sulawesi Selatan, punya hamparan sawah luas. Pada 2018, wilayah ini memiliki 1.152.702 hektar sawah, dengan produksi beras 3.313.944 ton.

Baca juga: Mongabay Travel: Beginilah Kawasan Wisata Rammang-rammang, Bentuk Perlawanan Warga terhadap Tambang

Maros, jantung pangan terdekat dari Makassar– kota utama provinsi ini, berjarak sekitar 30 km. Tahun 2018, wilayah ini punya 47.940 hektar lahan padi, dengan hasil 127. 102 ton beras. Beras-beras itu buat konsumsi masyarakat sendiri maupun jual ke berbagai tempat.

 

Proyek rel kereta api yang melalui sawah warga Rammang-rammang. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Sore itu, di jalan utama Desa Salenrang, puluhan petani berada di petak sawah mereka. Ada yang membersihkan pematang dari rumput, menabur pupuk, atau memeriksa tanaman. Hamparan hijau berumur antara 15-20 hari. Akar sudah cukup kuat, dan berdiri tegak. Selama 70 hari ke depan, padi siap panen.

Bangau putih besar terbang di dekat petani, jadi pemandangan sore yang menakjubkan. Saat cahaya senja, gerombolan burung hinggap di pucuk-pucuk tebing batuan karst.

“Sekarang bangau sudah kembali banyak lagi. Dulu berkurang, karena selalu ditembak dan ditangkap,” kata Ikhwan, pemuda desa.

Dengan bangau kembali, kata Ikhwan, jadi harapan besar bagi warga. Orang-orang mulai menyadari, bagaimana burung dan simpul ekosistem harus terus terjaga. “Kami terus berusaha. Terus belajar.”

Beberapa tahun belakangan, Salenrang, terutama Rammang-rammang berbenah diri menjadi kampung wisata. Orang-orang saban hari berlalu lalang mengunjungi tempat itu.

Mereka berperahu menikmati liukan sungai karst, melihat kelelawar keluar dari mulut goa ketika malam, dan memoloti lukisan dinding di goa purbakala.

Sejak 2019, sebagian penduduk gelisah. Pembangunan rel kereta api, akan membelah sisi kampung mereka. Ia akan menghantam lahan persawahan dan empang produktif warga.

Pengerjaan rel sudah mulai. Gundukan tanah berwarna merah seperti bukit di tengah hamparan sawah sudah terlihat. Beberapa alat berat dan truk lalu lalang.

Pembangunan rel kereta api di Sulawesi Selatan, mulai sejak 2015. Ia masuk program strategis nasional dan peresmian pada November 2015 oleh Presiden Joko Widodo.

Rel ini akan membentang sepanjang 144 kilometer dari Makassar menuju Parepare. Secara keseluruhan disebut sebagai proyek perkeretaapian Trans Sulawesi dengan target mencapai 2.000 kilometer dari Makassar ke Manado.

Pada fase pertama pembangunan, di Kabupaten Barru, menuju Pangkep dan Maros, hingga menembus Makassar. Proyek pengembangan ini pakai anggaran negara Rp9 triliuan. Selama lima tahun pembangunan, rel kereta yang terpasang sekitar 42 kilometer.

 

Santuwo (55 tahun) berdiri didepan petak sawah seluas 5 are, sebagai petak terakhir yang dimilikinya. Pemerintah akan mengambil sawah seluas 11 are yang akan dilalui rel kereta api. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Jumardi, Kepala Teknik Perkeretaapian Wilayah Jawa Bagian Timur, Ditjen Perkeretaapian, Kementerian Perhubungan, mengatakan, kalau serapan anggaran proyek rel kereta di Sulsel ini sudah Rp6 triliun.

Kemudian, katanya, saat kunjungan ke Sulsel Oktober 2020, kalau lintasan rel untuk Pangkep dan Maros, dalam tahap negosiasi pembebasan lahan.

Skema pengembangan ini, dengan dua sumber keuangan, katanya, pemerintah pusat menanggung semua beban infrastruktur. Untuk pembebasan lahan oleh Pemerintah Sulsel yang hingga kini belum selesai.

Pada fase pembangunan rel Pangkep–Maros, dengan jarak 59,6 kilometer, akan dibangun tujuh stasiun persinggahan yakni, Mandai, Maros, Rammang-rammang, Pangkajene, Labakkang, Ma’rang dan Mandalle dengan target selesai 2021.

Banyak warga mengaitkan, pembangunan rel kereta ini akan mempercepat lalu lintas orang dan barang, dari Makassar menuju Parepare, dan sebaliknya. Kalau jarak tempuh wilayah ini pakai kendaraan roda empat sampai lima jam, dengan kereta api tak sampai dua jam.

“Benarkah kereta itu memang untuk penumpang orang?” kata Kossa, warga Kampung Rammang-rammang.

 

Nasib petani

“Saya sudah pagar sawahku. Kau lihat di sana tadi kan? Kalau ada yang rusak, saya tuntut,” kata Santuwo.

“Saya ini sudah tua. Bertani itu kerjaan dan hobi saya mi. Tidak bisa bekerja keras yang lain. Sawah itu hasilnya, saya jual sebagian, saya pakai makan sama keluarga. Karena ada sawah itu, saya tidak beli beras lagi.”

Santuwo, tak habis pikir soal kepedulian pemerintah terhadap warganya padahal mereka sering bicara kemakmuran maupun kesejahteraan. “Kalau sawah diambil. Coba apa bisa sejahtera? Ayo coba jawab?”

Selain sawah 16 are itu, Santuwo masih ada petakan sawah sekitar lima are di samping rumah hanya cukup makan sekitar sebulan. “Sebelas bulan mau pake apa?”

Di Rammang-rammang, ada sekitar 20 orang masih menolak sawah mereka dilalui jalur kereta. “Kami senang kalau ada kereta. Senang. Tapi kan kalau orang senang, kami sengsara, bagaimana juga bisa?” kata Kossa.

Sawah milik Santuwo dilengkapi sertifikat hak milik. Atas dasar itulah dia bersama beberapa petani menolak pembayaran. Tim pengadaan tanah mengajukan kisruh ini melalui Pengadilan Negeri Maros. Warga tetap menolak dan tak ingin menerima uang ganti kerugian.

Sidang bergulir. Pada 3 Februari 2020, PN Maros memutuskan, kalau sengketa tetap pada kesepakatan awal yakni, memerintahkan Panitera PN Maros Kelas I B untuk penyimpanan uang ganti kerugian Rp108.848.000 sebagai pembayaran ganti kerugian atas tanah 1.153 meter persegi, atas nama Santuwo.

Putusan inilah yang tidak dimengerti bebarapa warga. Kalau pengadaan tanah untuk kepentingan umum, setelah musyawarah dalam penetapan harga pada 10 Januari 2020, maka tengat waktu untuk upaya gugatan adalah 14 hari setelah itu.

Santuwo memperlihatkan salinan putusan PN Maros itu.

“Kalah di pengadilan. Tapi saya masih merasa benar dan menang. Kenapa mereka mau ambil tanah saya, padahal saya tidak terima uangnya,” kata Santuwo.

 

 

Pembangunan rel kereta api melalui Dusun Rammang-rammang, Desa Salenrang, Kecamatan Bontoa, Maros. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

********Keterangan foto utama: Proses pembangunan rel kereta api di Sulawesi Selatan. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version