Mongabay.co.id

Bukit Gatan, Ekowisata Andalan Hutan Desa Sukorejo yang Hadapi Persoalan Sampah

 

 

Selama sepekan, 15-21 Desember 2020, Mongabay Indonesia melakukan perjalanan ke tiga kabupaten di Sumatera Selatan yaitu Musi Banyuasin, Musi Rawas, dan Musi Rawas Utara, untuk melihat langsung lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat. Tidak hanya persoalan sosial, liputan ini juga mengangkat bagaimana perkembangan program perhutanan sosial, perkebunan rempah tersisa, hingga kondisi lanskap Ulu Rawas yang berbatasan dengan TNKS. Artikel ini merupakan yang kedua dari lima tulisan. [Redaksi]

Baca sebelumnya: Remis dan Keseriusan Masyarakat Sukorejo Merawat Sungai Megang

**

 

Bukit Gatan yang luasnya sekitar 567 hektar adalah satu dari tiga bukit di lanskap Bukit Cogong, Kecamatan Suku Tengah Lakitan Ulu [STL] Terawas, Kabupaten Musirawas, Sumatera Selatan. Bukit yang ketinggiannya sekitar 400-an meter, kini menjadi salah satu tujuan para pendaki. Mampukah pesona ini menjadi sumber ekonomi berkelanjutan masyarakat?

Luas lanskap Bukit Cogong yakni 1.842 hektar, terdiri dari Bukit Botak [53 hektar], Bukit Besar [1.222 hektar] dan Bukit Gatan [567 hektar].

Sejak tahun 1960-an awal, dataran rendah di bawah Bukit Gatan, menjadi tujuan masyarakat, baik lokal maupun pendatang dari Jawa dan daerah lain di Sumatera Selatan, untuk mengembangkan pertanian, khususnya persawahan. Mereka hidup dalam sejumlah dusun.

Dalam perkembangannya, permukiman ini menjadi Desa Sukorejo yang luasnya 1.261,01 hektar, terdiri lima dusun. Saat ini sekitar 2.703 jiwa menetap di Sukorejo.

Sementara dataran tingginya, di kawasan Hutan Lindung [HL] Bukit Gatan yang merupakan DAS [Daerah Aliran Sungai] Megang, dijadikan masyarakat sebagai lokasi perkebunan karet, kopi, serta buah seperti durian. Namun, akibat aktivitas yang ramai, membuat semua kawasan hutan di Bukit Gatan terakses masyarakat, termasuk puncak Bukit Gatan.

Kondisi tersebut mengancam Sungai Megang, anak Sungai Lakitan, yang merupakan anak dari Sungai Musi. Selain itu, sekitar 10 mata air di Bukit Gatan merupakan sumber air bersih masyarakat Desa Sukorejo yang berada di bawahnya. Air dari mata air ini disalurkan ke setiap rumah warga melalui pipa.

 

Menikmati hamparan awan yang menutupi lanskap Bukit Cogong dari atas Bukit Gatan. Foto: Yudi Semai

 

Ada empat ranting [anak Sungai Megang] yang mengalir di Bukit Gatan yakni Gatan Luluk, Gatan Batu, Napal, dan Kedundung Gadis.

Ancaman lainnya tentu saja banjir dan longsor jika Bukit Gatan menjadi terbuka.

“Beranjak dari kekhawatiran tersebut, kami mengajukan Perhutanan Sosial [PS] kepada pemerintah. Akhirnya, kami mendapatkan izin pengelolaan Hutan Desa [HD] pada 2018 lalu,” kata Ujang Saharudin, Ketua LPHD [Lembaga Pengelolaan Hutan Desa] Sukorejo, kepada Mongabay Indonesia, 17 Desember 2020.

Saat ini, sekitar 250 kepala keluarga dari 591 kepala keluarga di Desa Sukorejo tergabung dengan LPHD Sukorejo yang diberi hak mengelola lahan [Hutan Desa] seluas 403 hektar di Bukit Gatan.

Legalitas Hutan Desa [HD] Sukorejo berdasarkan SK.6496/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/10/2018 tertanggal 2 Oktober 2018.

 

Suasana yang damai di Bukit Gatan. Foto: Yudi Semai

 

Dibagi tiga zona

Hutan Desa [HD] Sukorejo dibagi tiga zona atau blok, yakni wilayah konservasi, blok lindung, serta zona pemanfaatan.

Berdasarkan kajian HaKI [Hutan Kita Institut] selaku lembaga pendamping KPHD Sukorejo, ada beberapa usaha yang dapat dilakukan di hutan desa ini.

Yakni, pengembangan usaha hasil hutan kayu dan pemanfaatan jasa lingkungan, serta ekowisata pada zona konservasi seluas 100 hektar. Lokasi ini memiliki karakter berupa tutupan hutan dengan kerapatan rendah, belukar, bekas terbakar, padang pakir, dan semak.

Khusus perencanaan penanaman, akan dilakukan di areal konservasi seluas 25 hektar seperti durian, petai, dan lainnya. Tanaman pokok ini ditanam di sela pohon pelindung. Sementara potensi hasil hutan bukan kayu [HHBK] yang dapat dikembangkan antara lain karet, kopi, bambu, lebah madu, dan lainnya.

Terkait zona pemanfaatan seluas 392 hektar, LPHD Sukorejo akan mengembangkan kopi, alpukat, cengkih, sahang, jeruk manis, nangka, serta karet.

Sementara ekowisata, yang dikelola KUPS [Kelompok Usaha Perhutanan Sosial] Bukit Gatan di areal zona lindung Bukit Gatan, luasnya 20 hektar.

 

Persoalan sampah di Bukit Gatan yang harus diselesaikan. Foto Yudi Semai

 

Ekowisata

Berdasarkan pantauan Mongabay Indonesia di Bukit Gatan, yang tampak antusias dilakukan LPHD Sukorejo adalah pengembangan ekowisata.

Misalnya di Dusun Suku Cinta, yang akan dikembangkan wisata permainan keluarga berupa flaying fox dan sepeda gantung, objek wisata air terjun, serta jalur pendaki ke puncak Bukit Gatan. Objek wisata ini seluas 32 hektar, yang menggunakan zona pemanfaatan dan zona lindung.

Sebelumnya sudah ada jalur pendaki di Dusun 3, yang rute ini digunakan para pendaki ke puncak Bukit Gatan. Jalur pendek pendakian [sekitar 400 meter] menjadi populer mulai Juni 2020 ketika sejumlah pendaki membagikan video yang menggambarkan “negeri di atas awan” dari Bukit Gatan.

“Mungkin Januari 2021 objek wisata di Dusun Suka Cinta baru bisa dibuka untuk umum,” kata Ujang.

Sebab selain masih dalam tahapan pembangunan, harus ada persiapan teknis yang harus dilakukan, seperti menyusun aturan berwisata ke Bukit Gatan.

Misalnya terkait sampah. Masih banyak wisatawan yang berkunjung dalam setengah tahun terakhir meninggalkan sampah. Di jalur pendakian di Dusun 3, sampah plastik masih bertaburan di puncak bukit dan sepanjang jalur pendakian.

“Jelas ini sangat mengancam Bukit Gatan jika tidak segera diatasi. Apalagi Bukit Gatan merupakan lokasi sumber mata air yang digunakan masyarakat di Desa Sukorejo,” ujar Ujang.

Terkait hal ini, mungkin setiap pengunjung dilarang membawa sampah plastik atau diberi kantong sampah, yang setiap kali turun akan diperiksa sesuai data sebelum mereka masuk. “Jika ada sampah tertinggal mereka disuruh kembali ke lokasi atau didenda cukup besar.”

“Tapi aturan ini harus dirapatkan dulu, sehingga semua anggota KPHD Sukorejo turut memantau.”

 

Sulwasi, Kades Sukorejo, berencana mengeluarkan Perdes yang menata ekowisata Bukit Gatan. Foto: Yudi Semai

 

Selain itu, karena pendakian Bukit Gatan dapat dilakukan sepanjang hari [pagi-hingga malam] perlu juga diatur etika atau aturan berwisata. Misalnya dilarang mengonsumsi minuman keras, narkoba, hingga tindakan asusila. “Ini bukan hanya imbauan juga pengawasan langsung oleh pengurus ekowisata,” katanya.

Jangan sampai pengembangan wisata ini justru merusak Bukit Gatan dan mengubah kondisi sosial masyarakat Desa Sukorejo menjadi buruk. “Kita targetkan untuk wisata keluarga dan para pencinta lingkungan,” ujar Ujang.

Sulwasi, Kepala Desa Sukorejo, kepada Mongabay Indonesia mengatakan dampak negatif dari ekowisata di Bukit Gatan yang harus diantisipasi. Dia berencana mengeluarkan perdes [peraturan desa].

“Saya berharap ekowisata ini membuat lingkungan terjaga, dan masyarakat hidup sejahtera. Bukan sebaliknya. Oleh karena itu, saya bersama pemerintah desa akan mengeluarkan perdes terkait aturan penyelenggaraan wisata seperti penataan sampah, keamanan, dan peluang ekonomi bagi masyarakat seperti kuliner sehat,” ujarnya.

 

Lokasi ekowisata yang tengah ditata di Dusun Suka Cinta, Desa Sukorejo. Foto: Yudi Semai

 

Potensi wisata lainnya

Selain Bukit Gatan, potensi lainnya di Desa Sukorejo yakni keberadaan Sungai Megang.

“Aktivitas mencari remis memang dilakukan setiap hari, tapi hanya sejumlah orang. Saat musim kemarau, hampir setiap warga mencari remis. Nah, mungkin banyak wisatawan yang tertarik untuk ikut mencari setiap musim kemarau. Ini yang akan kami tawarkan,” kata Ardy Gumay, pengurus KUPS Bukit Gatan.

 

 

 

Selain itu banyak kuliner di Desa Sukorejo yang khas, yang bahannya didapatkan dari lingkungan sekitar. Sebut saja masakan remis, rebung bambu, keong, serta minuman sehat dari bahan tanaman seperti daun sungkai, serai, dan lainnya.

“Harapannya berwisata ke Bukit Gatan atau Desa Sukorejo benar-benar menjadi wisata sehat,” kata Ardy.

Terhadap pengembangan wisata di Desa Sukorejo, sebagian warga menyambut baik. “Tapi ya, sebaiknya wisata ini tidak merusak Bukit Gatan, khususnya mata air sebagai sumber air minum dan mandi kami, serta tidak menimbulkan perubahan perilaku generasi muda di sini,” ucap seorang warga di Dusun 3 Desa Sukorejo.

 

 

Exit mobile version