Mongabay.co.id

Sumberklampok, Bara Konflik Agraria di Bali Utara [Bagian 1]

 

Setelah hampir 60 tahun dalam ketidakpastian, warga Desa Sumberklampok di Bali bagian barat merasa mulai ada titik terang perihal status lahan yang selama ini mereka kelola dan tinggali. Pada 26 November 2020 lalu, Tim Sembilan sebagai perwakilan warga Desa Sumberklampok dan Gubernur Bali Wayan Koster menandatangani Kesepakatan Bersama tentang Penyelesaian Tanah Eks HGU Nomor 1, 2, dan 3 di Desa Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng.

Dalam Surat Kesepakatan Bersama (SKB) itu kedua belah pihak menyepakati empat poin penyelesaian sengketa agraria yang sudah terjadi sejak 1960-an. Pertama, para pihak sepakat bahwa keseluruhan lahan eks Hak Guna Usaha (HGU) Nomor 1, 2, dan 3 di Desa Sumberklampok luasnya mencapai 612,9 ha. Setelah dikurangi lahan tempat tinggal (dalam bahasa Bali disebut pekarangan), fasilitas sosial dan fasilitas umum, serta jalan dan sungai, total lahannya seluas 514,02 ha.

Kedua, dari lahan seluas 514,02 ha, kedua belah pihak sepakat membagi 70 persen untuk warga dan 30 persen menjadi hak Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali. Artinya, warga akan mendapatkan sekitar 359,8 ha lahan sedangkan Pemprov Bali berhak atas 154,2 ha.

Ketiga, Pemprov Bali menjamin hak warga Sumberklampok untuk mendapatkan hak atas tanah pemukiman dan garapan melalui program Reforma Agraria. Untuk itu warga akan mendapatkan Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah sebagai dasar permohonan penerbitan sertifikat hak milik kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Keempat, jika pemerintah akan memanfaatkan lahan hak warga, maka pemerintah harus mengganti rugi sesuai dengan undang-undang.

Dari pihak Pemprov Bali, Gubernur Bali Wayan Koster langsung mewakili untuk menandatangani Surat Kesepakatan itu. Adapun dari warga Sumberklampok hadir seluruh anggota Tim Sembilan yang dipimpin ketuanya, Putu Artana. Kepala Kantor Wilayah BPN Bali Rudi Rubijaya dan Kepala Desa Sumberklampok I Wayan Sawitra Yasa juga ikut menandatangani Surat Kesepakatan setebal tiga halaman itu.

baca : Riuhnya Serikat Petani Perempuan Jawa Bali Rapat Akbar Daring Menolak Omnibus Law

 

Gubernur Bali Wayan Koster dan Tim Sembilan perwakilan warga Sumberklampok setelah menandatangani Surat Kesepakatan Bersama pada November 2020 di Denpasar. Foto : Humas Pemprov Bali.

 

Dalam siaran persnya, Gubernur Bali Wayan Koster mengatakan penyelesaian sengketa agraria di Sumberklampok merupakan wujud komitmennya untuk menyelesaikan konflik agraria di desa yang berada di Bali bagian barat ini. “Ini wujud komitmen saya sejak lama untuk menyelesaikannya agar kedua belah pihak baik Pemprov Bali maupun warga mendapatkan kepastian hukum,” kata Koster.

Menurut Koster skema pembagian 70:30 merupakan solusi terbaik untuk kedua belah pihak, warga dan pemerintah. “Menurut saya ini sudah yang terbaik, win win solutions bagi kedua belah pihak, dan tetap lebih mengutamakan kepentingan masyarakat. Untuk itu mari jaga baik-baik kesepakatan ini,” lanjut Koster yang juga Ketua DPD PDI Perjuangan Bali ini.

Ketua Tim Sembilan Putu Artana juga mengapresiasi kesepakatan tersebut. “Berarti Pemprov serius mau menyelesaikan masalah di Sumberklampok. Masalah ini jadi tidak terus menerus (berlanjut),” kata Artana yang juga mantan Kepala Desa Sumberklampok ini.

Penandatanganan Surat Kesepakatan antara Tim Sembilan dan Gubernur Bali ini menjadi babak baru dalam sengketa agraria yang berlangsung di Sumberklampok selama lebih dari 60 tahun. Jika mengacu pada sejarah terbentuknya desa ini, sengketa agraria itu bahkan sudah berlangsung selama hampir seratus tahun lalu ketika Pemerintah Kolonial Belanda masih berkuasa.

baca juga : Sentra Daun Pisang di Pusaran Konflik Agraria [2]

 

Putu Artana Ketua Serikat Petani Sumberklampok menunjukkan lahannya yang masuk kawasan sengketa agraria. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Warisan Sengketa

Sumberklampok berlokasi di perbatasan Kabupaten Buleleng di sisi timur dan Kabupaten Jembrana di sisi barat. Desa ini dilewati jalan raya provinsi antara Gilimanuk dan Singaraja. Gilimanuk adalah pintu masuk Bali dari Jawa sedangkan Singaraja bekas ibu kota Provinsi Sunda Kecil yang dulunya meliputi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Sejarah desa ini tak lepas dari usaha perkebunan pada zaman Belanda. Pada 1922, Pemerintah Kolonial Belanda mendatangkan buruh kebun dari Jawa dan Madura untuk membuka lahan yang saat itu masih berupa hutan. Menurut sejarah Desa Sumberklampok, setidaknya ada tiga warga Belanda yang membuka usaha perkebunan saat itu. Mereka menanam kelapa, pisang, tanaman rempah, dan kapuk. Mereka mendapatkan izin perkebunan pada 1930 dari pemerintah kolonial pada saat itu.

Setelah Indonesia merdeka, warga tetap mengerjakan kebun di sini dan hidup secara turun temurun. Namun, pada 1958, Presiden Soekarno mengesahkan Undang-Undang (UU) Nomor 86 tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda. UU yang disahkan pada 27 Desember 1958 ini menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan milik Belanda di wilayah Indonesia menjadi milik penuh pemerintah Indonesia.

Berdasarkan UU itu, tiga tahun kemudian Menteri Agraria menyerahkan HGU 2 dan HGU 3 kepada Pemerintah Daerah Bali melalui Surat Keputusan (SK) Nomor 197/Ka tanggal 15 September 1961. Sebelumnya, Pemerintah Bali malah sudah menyerahkan dua HGU itu kepada Yayasan Kebaktian Pejuang (YKP) sesuai Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor 715/A.3/2/31 tertanggal 16 Juni 1961.

YKP, organisasi para mantan pejuang di Bali, membentuk NV Margarana untuk mengelola HGU 2 dan HGU 3. Jangka waktu pengelolaan kedua HGU itu berlaku hingga 31 Desember 1993. Warga masih dipekerjakan di perkebunan tersebut. Seiring waktu, penduduk yang tinggal dan mengelola lahan perkebunan di Sumberklampok juga semakin banyak, termasuk dari Bali sendiri.

perlu dibaca : Aksi Petani Pisang Mempertahankan Lahan Garapannya [1]

 

Warga menunjukka -pembagian lahan yang telah disepakati sesama warga Sumberklampok berdasarkan lama tinggal-di desa tersebut. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Meskipun belum menjadi desa tersendiri, warga Sumberklampok yang pada saat itu masih menjadi bagian dari Desa Sumberkima pernah mengajukan permohonan hak milik atas tanah yang mereka kelola. “Ada arsip bahwa pada tahun 1969 para tetua kami sudah melakukan permohonan meskipun saat itu desa kami masih dalam desa persiapan,” kata Artana.

Desa Sumberklampok pun semakin berkembang termasuk dengan penambahan fasilitas umum, seperti pura, masjid, sekolah, balai banjar, dan lain-lain. Namun, pada 1991, warga justru mendapat imbauan dari Gubernur Bali saat itu, Ida Bagus Oka, untuk mengosongkan kawasan pemukiman maupun perkebunan. Pemerintah akan melaksanakan bedol desa, semua warga akan dipindahkan keluar pulau alias transmigrasi. Lahan perkebunan akan dihutankan kembali. Warga pun menolak. Inilah titik awal mereka mulai melakukan perlawanan terhadap pemerintah sekaligus perjuangan untuk mendapatkan hak milik atas lahan yang mereka kelola dan tempati.

 

Menuntut Hak

Dalam kurun waktu itu, warga juga aktif menuntut ke pemerintah, mulai dari tingkat kecamatan hingga pusat, agar mereka mendapatkan haknya. Pada 1980, misalnya, Perbekel Sumberklampok saat itu, Putu Arka, berkirim surat kepada Camat Gerokgak agar mereka diberikan hak mengelola lahan seluas 60 ha yang akan digunakan sebagai perumahan dan pembangunan fasilitas umum.

Setelah mendapatkan surat dari Gubernur Bali untuk mengosongkan lahan, empat orang perwakilan warga mendatangi DPR di Senayan untuk meminta perlindungan. Mereka tidak mau dipindahkan. Wakil Ketua DPR R. Soekardi merespon permohonan itu dengan mengirim surat ke Gubernur Bali pada 26 Maret 1992. Isinya, penyelesaian konflik agraria di Desa Sumberklampok merupakan kewenangan Gubernur Bali sehingga DPR menyerahkan sepenuhnya urusan tersebut pada Gubernur Bali.

Namun, surat dari DPR itu tak berarti banyak. Pemprov Bali tidak juga menentukan status lahan di Sumberklampok sebagai milik warga. Warga pun masih mendiami dan menggunakan lahan tanpa ada kepastian status kepemilikan.

Pada 5 Juli 2010, YKP mengembalikan pengelolaan HGU 1, HGU 2 dan HGU 3 kepada Pemprov Bali melalui surat yang ditandatangani Ketua Pengurus YKP IGN Gede Yudana serta Wakil Ketua Dewan Pengawas YKP dan Ketua DPD Legiun Veteran RI Provinsi Bali. Pada tahun yang sama, warga kembali mengajukan status hak milik lahan ke Gubernur Bali.

perlu dibaca : Keadilan Agraria dan Krisis Regenerasi Petani: Dua Tantangan Besar di Hari Tani

 

Petani di Sumberklampok, Bali bagian barat hingga saat ini belum mendapatkan status hak milik atas lahan yang mereka garap dan tempati sejak tahun 1922. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Menurut Putu Artana, warga menggunakan beberapa dasar hukum untuk mengklaim lahan tersebut. Misalnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 224 tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Dasar lain adalah PP Nomor 11 tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar. Pada 14 Juli 2011, Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Bali saat itu, I Gusti Kompyang Arimbawa mengirim surat kepada Perbekel Desa Sumberklampok dengan isi surat menyatakan bahwa tanah di Sumberklampok terindikasi sebagai tanah telantar sesuai dengan PP Nomor 11 tahun 2010 dan Perkaban Nomor 4 tahun 2010.

Meskipun Gubernur Bali sudah silih berganti, warga Sumberklampok tak juga mendapatkan hak milik atas tanah sebagaimana tuntutan mereka. Pada zaman Gubernur Bali I Made Mangku Pastika, mereka bahkan sempat melakukan unjuk rasa ke kantor Gubernur Bali dan DPRD Bali menuntut hak tersebut.

Toh, mereka justru merasa dipingpong. Meski sudah mendatangi Kantor Gubernur Bali di Denpasar yang berjarak sekitar 150 km dari Sumberklampok, warga tetap tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Maka, warga pun sampai memblokir jalan raya penghubung Gilimanuk dan Singaraja selama dua hari pada 2013.

“Kalau menurut saya seakan-akan ada pembiaran (terhadap nasib kami),” kata Misnawi, salah satu warga yang juga anggota Tim Sembilan.

Penutupan jalan raya sebagai bentuk protes warga pada 2013 itu hanya salah satu cara warga untuk menuntut hak milik atas lahan yang sudah mereka lakukan sejak 1922. Selain itu, tiap 7 November warga juga menggelar doa bersama di Pura Perjuangan. Warga Sumberklampok dari beragam latar belakang agama terutama Hindu dan Islam berdoa bersama di pura. Begitu pula pada tahun ini.

“Pura itu memang tempat bersejarah. Tempat kami berkomunikasi, berkoordinasi, dan menguatkan kelompok,” ujar Misnawi.

penting dibaca : Para Pakar Agraria sampai Organisasi Masyarakat Sipil Kritik RUU Pertanahan

 

Sebagian petani penggarap yang mengerjakan lahan di Sumberklampok, Gerokgak, Buleleng, Bali, tanpa kejelasan status kepemilikan hingga saat ini. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Setelah hampir seratus tahun sejak membabat lahan pertama kali pada 1922, usaha dan doa warga itu pun mendapatkan titik terang pada zaman Gubernur Bali I Wayan Koster. Sejak 2018, mereka mulai mendapat titik terang setelah diundang berdiskusi secara langsung oleh Koster. Terakhir, kesepakatan hitam di atas putih pada 26 November 2020 pun menjadi acuan bahwa warga akhirnya akan mendapatkan haknya, 70 persen dari HGU 2 dan HGU 3 yang dulu dibuka oleh kakek nenek mereka.

Sebulan berlalu setelah penandatanganan itu, sebagian warga Sumberklampok kini sudah mendapat Surat Pernyataan Penguasaan Fisik. Namun, hingga akhir Desember 2020 masih ada dua banjar lagi, dari tiga banjar, yang belum mendapatkan. “Surat Penguasaan Fisik itu nantinya akan menjadi dasar pengurusan SHM (sertifikat hak milik),” kata Misnawi.

Namun, ketika bukti kepemilikan lahan masih dalam pengurusan, warga kini mendapatkan kabar yang tak pernah mereka duga sebelumnya. Pemerintah berencana membangun bandara baru di atas lahan yang masih dalam sengketa itu. Titik terang yang diberikan Koster mendadak berubah jadi cahaya temaram. Bara sengketa agraria di Bali utara belum sepenuhnya padam. [Bersambung]

 

Exit mobile version