Mongabay.co.id

Agama Dorong Pertanian Berkelanjutan, Caranya?

Tomat hail tanam organik. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

Tomat hasil tanam organik. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Beberapa komunitas keagamaan di Indonesia menjadi pionir dan penggerak model pertanian berkelanjutan. Mereka antara lain, Bumi Langit Institute di Yogyakarta, Pesantren Ekologi Ath Thaariq di Garut, dan Gubug Lazaris di Kediri. Dari pengalaman beberapa kisah sukses ini, agama atau sistem kepercayaan apapun terbukti mampu memberi dasar pijakan bagi praktik pertanian berkelanjutan.

Begitu bahasan dalam diskusi dan semi talkshow seri keempat Indonesia Denmark Alumni Network bertema Faith and Farming, belum lama ini.

“Kami melihat yang namanya pertanian itu harus mulai dari bagaimana tanggung jawab kita mampu menghidupkan tanah. Mendudukkan hak dari mikroorganisme seperti virus, bakteri, jamur, yang menjadi dasar dari kesuburan yang akan timbul di permukaan tanah,” kata Iskandar Waworuntu, pendiri Bumi Langit Institute.

Bisuk Abraham Sisungkunon, Koordinator Indonesia Denmark Alumni Network mengatakan, kegiatan itu bertujuan meningkatkan partisipasi dan kesadaran umat beragama dalam menjaga lingkungan. Juga, untuk melihat sejauh mana nilai-nilai keagamaan bisa untuk mendorong praktik pertanian berkelanjutan.

“Kita ingin melihat dan menginvestigasi, bagaimana komunitas agama di Indonesia berperan dalam program pertanian berkelanjutan, dan produksi, konsumsi berkelanjutan,” kata Bisuk, juga dosen Fakultas Ekonomi Bisnis UI sebagai moderator diskusi.

 

Terhubung dengan alam

Iskandar Waworuntu membangun Bumi Langit Institute selepas kepindahaan dari Bali ke Yogyakarta pada 2001. Di Bali, Iskandar merintis pertanian organik sejak 1987. Dia lalu lakukan hal sama di Imogiri, melalui model pertanian permakultur.

“Tempat ini kering sekali, tidak ada air. Kebun lebih banyak batu daripada tanah. Ya perjalanan cukup berat. Cuma saya memilih tempat ini karena saya mencintai,” katanya mengenang saat menggarap lahan di perbukitan kapur Imogiri.

 

Iskandar Waworuntu dan biodigester untuk mengubah kotoran ternak menjadi biogas. Foto: Bumi Langit Institute

 

Dalam diskusi lewat daring, Iskandar bercerita kepindahan kala itu terkait perjalanan keimanannya.

“Latar belakang saya orang yang mencintai kehidupan tradisional dan Islam sebagai keimanan. Warna perjalanan saya kental dengan nilai-nilai tradisonal dan tradisi Islam,” katanya.

Menurut Iskandar, Bumi Langit Institute merupakan tempat untuk kembali menegakkan akhlak yang benar, berkaitan dengan tanggung jawab manusia kepada alam.

“Menurut saya, sumber krisis kemanusiaan justru terjadi karena hilangnya akhlak yang benar terkait hubungan manusia dengan alam. Baik alam eksternal tempat kita hidup ini maupun alam internal yakni tubuh kita sendiri, dengan 50 triliun sel.”

“ Ini bagian amat erat dengan hak dari alam itu sendiri, yang sedang kita dzolimi, atau hianati.“

Untuk itu, katanya, yang harus dilakukan, pertama, mengembalikan tanah sebagai tempat tumbuh aneka tanaman dengan pengelolaan yang tepat.

“Tanah jadi titik pijak untuk membangun sebuah kehidupan, atau membangun sebuah dunia yang penuh keberkahan. Semua aspek kehidupan harus kita pertanggung jawabkan dengan benar dan jadi bagian dari keseharian kita. Termasuk akhlak sosial, akhlak kepada angin, air, matahari, tanaman, binatang. Semuanya, itu lebih kepada menempatkan sesuatu pada ukurannya.”

Problem umat manusia saat ini termasuk persoalan lingkungan berakar dari perilaku manusia yang cenderung berlebih.

“Probem dari kehidupan ini kita menjadi satu-satunya makhluk yang berlebih. Yang keluar dari keseimbangan, yang memakai sesuatu, mengambil sesuatu dari alam bukan hak kita, atau melebihi dari yang menjadi hak kita.”

Pendekatan berlebih inilah, katanya, yang menjadi awal kehancuran bumi, diwakili oleh kehancuran manusia. “Ketika alam dibiarkan sendiri tanpa peran manusia sebenarnya alam selalu memperbaiki dirinya.”

Di Bumi Langit, diajarkan bagaimana mengembalikan peran alam dan keberkahan alam dalam keseharian. Dia contohkan, bagaimana memasak, menanam, memelihara ternak, mengembangkan teknologi, juga berinteraksi sosial secara benar.

Sedikitnya Iskandar bersama tim sudah menyelenggarakan pelatihan permakultur 13 angkatan, dengan setiap angkatan ada 25 peserta. Mereka berasal dari berbagai kelompok, kalangan, juga agama.

Iskandar percaya, manusia harus menjaga ketentuan-ketentuan alam berjalan sebagaimana mestinya. Misal, dalam kitab suci disebutkan, tidak ada yang tercipta sia-sia. Ketika terdapat sisa dari suatu produksi atau sebuah aktivitas, itu karena manusia mengambil dan menggunakan sesuatu terlalu banyak.

“Saat kita berlebih akan ada residu. Residu adalah kesia-siaan. Kalau kita tidak berlebih tidak ada sampah. Kalau kita sak madya (secukupnya), kita tidak akan meninggalkan beban kepada lingkungan. Beban bagi kehidupan kita sekarang, beban bagi kehidupan kita nanti.”

 

Romo Jauhari Atmoko, CM, bersama ibu-ibu yang datang untuk membeli produk sayuran organik di Gubug Lazaris, Kediri. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Ibang Lukmanurdin, pendiri dan pengasuh pesantren ekologi Ath Thaariq, menceritakan pesantren yang didirikan 2008 bersama istrinya, Nissa Wargadipura itu ingin menjaga kemandirian pesantren. Sejak dulu, katanya, pesantren bersifat mandiri, tanpa bergantung kepada penguasa, terutama soal sumber daya.

“Di pesantren Ath Thaariq, santri belajar apa yang disebut dengan pertanian agroekologi, yaitu satu sistem pertanian yang memperbaiki hubungan manusia dengan ekologi. Tujuannya, keseimbangan ekosistem.”

Di pesantren Ath Thaariq, katanya, mulai mencari dan mengumpulkan benih-benih lokal. Salah satu yang menyebakan pertanian hancur itu karena revolusi hijau. Benih-benih lokal yang sudah disediakan oleh alam, itu hilang.”

Dia meyakini, manusia adalah makhluk ekologis. Terlebih, seperti yang dikisahkan dalam kitab suci, manusia diciptakan Tuhan dari tanah. Sebagai makhluk ekologis, katanya, ada tuntunan manusia menjalin hubungan dengan alam. Tidak dengan cara mengeksploitasi sampai menghalalkan segala cara, kata Ibang, tetapi mengambil hak dari alam secara wajar.

“Etika pengelolaan ekologis dalam Islam, ada tiga hal yang tidak boleh diprivatisasi atau dijual. Pertama, air. Kedua, pertambangan. Ketiga, adalah hutan.”

Menurut dia, Islam sebenarnya agama yang mengajarkan ekonomi hijau. Ekonomi yang memegang prinsip keseimbangan atau al mizan, yang menerapkan unsur-unsur noneksploitatif.

“Dalam sebuah ayat dinyatakan, gunung sebagai pasak. Jika ada eksploitasi di daerah itu berbagai bencana akan terjadi. Sekarang, kita rasakan banjir dan longsor. Itu tentu akibat dari ketidakadilan ekologis.”

Kerusakan terjadi karena orang mendudukkan alam sebagai obyek, bukan subyek. Dalam Islam, katanya, dunia harus menjadi tempat pengabdian.

“Dalam Islam, barang siapa menanam, selama tanaman itu tumbuh maka pahala akan terus ada meski orang itu sudah meninggal. Di Ath Thaariq, kita ingin mengimplementasikan teks itu.

Romo Hardo Iswanto, yang sudah 13 tahun menekuni pertanian organik menuturkan alasan mengapa terjun ke dunia itu.

“Kenapa saya menekuni pertanian organik karena bagi saya itu bagian dari kegiatan gerakan ekologi. Mulai 2007, saya belajar menjadi petani, di tempat yang awalnya itu anorganik.”

Menurut dia, alam dalam konsep Katolik disebut sakramen, sesuatu yang ditinggikan. Jadi, selayaknya manusia memberi penghormatan dan menjaganya.

“Bumi itu sakramen. Sakramen itu artinya sakral, suci. Kalau sesuatu disebut suci maka di situ ada kehadiran sang Ilahi.”

“Tuhan, berinkarnasi jadi pribadi manusia di tengah bumi, kami harus bisa merasakan itu melalui alam, lingkungan, ekologi. Kami bersama dengan Tuhan, berelasi dengan Tuhan. Ini menjadi dasar saya melakukan kegiatan.”

 

Nissa Wargadipura, pendiri Pesantern Ekologi Ath-Thaariq, saat panen jambu dari pekarangan pesantren. Foto: dari akun Facebook Nissa Wargadipura

 

Hardo menamakan tempatnya bertani di Desa Sambirejo, Pare, Kediri sebagai Gubug Lazaris. Meski dia kemudian pindah tugas ke Surabaya, namun tempat itu masih dikelola oleh rekan-rekannya.

“Saya namakan Gubug Lazaris karena gubuk itu identik dengan rumah tempat istirahatnya petani. Lazaris karena saya berasal dari komunitas romo-romo Lazaris.”

Petani, katanya, selama ini dianggap pekerjaan remeh. Untuk memuliakan petani, Hardo harus hidup di tengah-tengah mereka. “Kami mengelola lahan sebagai tempat percontohan.”

Di tempat itu, para petani bisa belajar pertanian organik. Gubug Lazaris yang resmi berdiri 27 Agustus 2010 itu juga memanfaatkan sumber energi ramah lingkungan dalam mendukung kegiatan pertanian dan kegiatan sehari-hari. Ada panel surya untuk menghidupkan pompa dan lampu, dan biogas dari kotoran sapi untuk keperluan memasak.

Sebagai seorang romo yang juga aktivis lingkungan, dia melihat banyak dari mereka yang punya kepedulian lingkungan tidak punya dengan apa yang disebut tempat praktik.

“Saya tidak ingin jatuh menjadi aktivis lingkungan yang sekadar ikut kegiatan kepedulian. Saya ingin punya tempat untuk melaksanakan apa yang saya ketahui.”

 

Kurikulum ekologis

Bagaimana kalau komunitas atau organisasi keagamaan mendesakkan kurikulum ekologis masuk dalam kurikulum pendidikan di Indonesia? Iskandar melihatnya sebagai tantangan berat.

“Saya kebetulan selalu berada di luar dunia formal. Yang paling dekat dengan saya, dalam pengamatan 20 tahun terakhir, adalah dunia pesantren. Bagaimana kurikulum ekologis ini masuk ke pesantren, ada tantangan amat berat. Pesantren ini makin hari menjadi fenomena urban,” katanya.

Pesantren banyak dibangun di kota-kota, dengan pendekatan amat bertentangan dengan kedaulatan atau kemandirian bahkan punya kebergantungan dengan finansial sistem. Dia contohkan, ukuran keberhasilan dari jumlah beton yang dipakai untuk membangun pondok, atau berapa banyak jumlah santri. Padahal bukan itu ukuran sukses pondok pesantren.

“Sebenarnya kalau kiai mau mengubah pola hidup, pola makan, pola konsumsi terkait dengan gaya hidup modern, saya yakin santri mengikuti.”

Sekarang, katanya, ada keterjebakan di umat Islam untuk terlalu bergumul dan menganggap semua persoalan bisa selesai di kota.

“Setahu saya, pesantren itu justru kuatnya karena independen, karena selalu membuat jarak dengan kekuasaan. Bukan dalam pengertian pemerintah, tapi gaya hidup. Hedonistik, duniawi. Itu yang menjadi musuh kita bersama. Saya tidak anti dengan produk industri, tapi saya menanggapinya dengan amat kritis.”

Dia mencontohkan, gerakan anak-anak muda di luar negeri yang tidak mau mengonsumsi atau memakai produk-produk industri yang menimbulkan banyak kerusakan.

Gerakan itu, katanya, menjadi bagian dari sikap kritis terhadap produk yang bermasalah secara lingkungan hidup.

“Bagaimana anak-anak muda itu menerapkan gaya hidup environmental sound. Kita saat ini tidak lagi berinduk semang dengan produk-produk yang mulia atau yang baik.”

 

 

Perihal kurikulum pendidikan, Ibang menilai sulit dipungkiri proses pendidikan di Indonesia juga membangun generasi konsumtif, materialis, hedonis, dan sekuler. Pendidikan cenderung mendorong urbanisasi, tidak berhasil membangun generasi rahmatan lil alamin.

“Jadi, apakah bisa kurikulum ekologis itu dimasukkan? Sebenarnya senderhana. Ada tidak sih keinginan yang baik, yang benar, ideologis dari pemimpin kita akan cerita ekologi bukan sebagai proposal tapi sebagai ideologi, sebagai pengabdian. Sebagai amal sholeh, rahmatan lil alamin.”

Menurut dia, krisis yang dihadapi sekarang antara lain krisis ketauladanan. Banyak pemimpin yang melupakan hidup tidak hanya untuk hari ini, juga esok. Kalau manusia hanya mengejar materi, katanya, akan terjadi kerusakan.

“Dalam teologi Islam, bertani maqomnya istimewa. Mengapa petani menjadi tidak luar biasa, karena mazab kapitalisme menggeser cerita itu. Petani yang mulanya punya tempat istimewa, digeser dengan uang. Sebenarnya, dunia itu bukan tempat memanen, tapi tempat menanam.”

Terkait kurikulum ekologis, Hardo mengusulkan untuk mendesak para politisi punya kepedulian terhadap muatan kurikulum yang berkelanjutan.

“Mumpung musim pemilihan, jika mereka datang, titiplah pesan supaya kurikulum apapun pelajarannya harus ramah lingkungan. Kalau tidak, kita tolak. Perlu kampanyekan terus pertanian menjadi sarana edukasi, jangan hanya sebagai mata pencaharian.”

 

 

***** Keterangan foto utama: Tomat hail tanam organik. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version